T H E Y O U T H C R I ME
12
SENAM BERSAMA jadi rutinitas warga SMANJA yang kerap dilakukan di hari Sabtu.
Pendidikan jasmani atau biasa disingkat penjas bisa dikategorikan sebagai mata pelajaran yang mengutamakan praktik ketimbang teori sebab olahraga bukan untuk menghafal semua sejarah atletik atau mempelajari langkah-langkah senam lantai lewat buku tetapi penguasaan dalam memahami gerakan olahraga. Itulah mengapa para siswa-siswi saat ada ulangan penjas maka tak perlu rajin-rajin belajar sebab pada akhirnya mereka akan mendapat nilai di atas rata-rata.
Dari kelas 11-A sampai 11-E, pelajaran penjas dipegang oleh Bapak Danu, guru berbadan bongsor dengan timbunan lemak di perutnya yang sudah melewati batas aman. Sama sekali tak mencerminkan guru olahraga seperti yang dibayangkan oleh para siswa.
Aksan memimpin barisan di depan, mengatur beberapa temannya yang masih asyik berbincang. Bapak Danu berjalan ke depan sedikit membungkuk dan mengucap salam semangat–belum tentu ia semangat juga.
"Selamat pagi!"
"Pagi, pagi, pagi, siap!"
"Untuk hari ini bebas ya, dikarenakan bapak ada kesibukan jadi silakan kalian melakukan permainan dengan memakai satu bola sepak ini. Mohon tertib ya!"
"Enaknya sekarang main apa ya?"
"Bola tembak!"
"Ah, ide bagus!"
Bola tembak ialah permainan sederhana dan seru yang dimainkan oleh dua grup, masing-masing terdiri dari ketua dan anggota yang berjumlah lima belas orang atau lebih. Permainan ini mengutamakan kekuatan dan kecepatan lengan untuk melempar dan menangkap bola serta dilarang keras menggunakan kaki. Selain bertujuan melatih kecepatan, dalam permainan bola tembak ini juga dibutuhkan ketelitian yang tinggi saat menebak ke mana arah bola yang akan dilempar oleh lawan. Kalau tidak hati-hati maka kau tanpa sadar bisa kena tembakan bolanya.
Aturannya pun sangat sederhana. Jika salah satu anggota grup terkena bola, otomatis dinyatakan keluar dan berada di area garis lawan. Nantinya anggota yang sudah keluar itu akan mengambil bola yang keluar dari arena lapangan basket dan memilih salah satu pilihan, menembak lawan atau mengoper bola ke arah kawan. Grup yang berhasil menumbangkan semua lawan maka dinyatakan sebagai pemenang.
"Siapa saja ketua grupnya?" celetuk Aksan yang kini asyik menimang-nimang bola sepak. Untuk memilih ketua grup dilakukan dengan cara voting.
Nopal yang gemar bertindak usil pun menyuarakan pendapatnya. "Grup A itu Aksan dan grup B itu … Adelia! Setuju tidak?"
Para siswa-siswi sontak tertawa geli mendengarnya, mereka sama-sama mengucap bahwa itu pilihan yang cocok. Sementara orang yang dipilih merasa sedikit risih. "Kenapa harus aku?" tanya Adelia, masih tak mengerti.
"Hei, Adel! kulit kamu kan hitam. Itu artinya kamu sudah sering main bola sampai gosong begitu kan? Haha!" ejek Nopal, sedikit-sedikit ia menjulurkan lidahnya.
"Astaga, jadi kulitmu hitam karena main bola? Bakat terpendam yang harus dipendam!" sahut beberapa gadis yang terkesan meremehkan kemampuan Adelia.
"Terima kasih pujiannya. Lalu kenapa kulit kalian tidak hitam juga? Oh, rupanya kalian semua payah bermain bola. Kasihan sekali," sindir Adelia dengan menyunggingkan senyum iblisnya. Pagi-pagi begini ia sudah disambut dengan sampah-sampah yang masuk ke telinganya. Tidak apa-apa, mentalnya sudah sekuat baja.
"Buktikan kalau kau memang pintar main bola, gadis hitam!"
Setelah melakukan pemilihan ketua anggota masing-masing grup, mereka berdiri sesuai posisinya masing-masing. Aksan dan Adelia berjalan maju menuju area tengah garis pembatas seraya melenturkan lengan, siap untuk menembak lawan. Di sana lelaki itu melempar bola sepak setinggi-tingginya ke arah langit sebagai genderang dimulainya permainan bola tembak. Jika bola itu telah jatuh dan berada di salah satu grup maka grup tersebut berhak memulai lebih dulu.
Bola terjatuh tepat di tengah-tengah garis. Tanpa menunggu lama, bola itu bergerak mengikuti embusan angin yang membawanya untuk berada di grup … A.
PASSSSTT
Aksan telah melancarkan serangan yang cukup mematikan dan karena begitu cepat maka grup B sedikit kewalahan. Ia berhasil menumbangkan satu lawan, grup B tersisa empat belas orang dan mereka melakukan serangan balik.
Permainan telah berlangsung selama sepuluh menit dan kini sudah ada empat anggota grup A yang tumbang, disusul tumbangnya tiga anggota grup B. Tembakan dan serangan balik ini makin memperkuat tempo kesigapan siswa-siswi dalam menghadapi medan perang. Adelia yang menjadi ketua grup B berusaha untuk mengejar ketertinggalan tetapi rasa takut dan enggan terus-menerus menyerangnya. Itulah sebabnya ia lebih memilih untuk menghindar saja daripada mencoba menyerang.
Grup A tersisa enam orang sementara grup B tersisa tiga orang.
"Hei, Adelia belum membuat serangan sama sekali!" sahut Nopal yang berada di garis lawan grup B. Ia memperhatikan kalau gadis itu memang tak mau mencoba.
"Pengecut! Katanya kau pintar bermain!"
"Huh, omong kosong!"
"Di mana keberanianmu tadi, gadis hitam?"
Adelia menggenggam bola sepak yang mengarah padanya. Benar, ia tak bisa terus menghindar seperti ini. Daripada dipermalukan dan disebut dengan ucapan-ucapan sampah, ia harus membuat pilihan baru agar bisa terbebas dari jeratan masalah ini. Ya, ia tak perlu risau lagi. Sekarang Adelia hanya perlu untuk membuat serangan bertubi-tubi berhubung permainan ini telah mendekati akhir dan cukup membosankan. Matanya tertutup sebentar, merapalkan doa dan mantra semoga dewi keberuntungan memihaknya. Lalu terbuka lebar tanpa keraguan dan segera melancarkan jurus kematian. "Baiklah."
"Hei, cepat temb–"
WUSHHHHH
Bola itu melayang-layang di udara, mengunci serangan bertubi-tubi dengan mencari lawan yang hendak menghindar. Satu. Entah kecepatan apa yang tertanam pada bola itu hingga membuyarkan pandangan lawan. Dua. Tidak mungkin ada seorang gadis lemah yang bisa menghasilkan serangan kuat tanpa ragu-ragu itu dan niat lawan pun akhirnya padam. Tiga.
Sudah tiga lawan tumbang oleh tembakan bola dari Adelia, seolah-olah itu skill ultimate yang sengaja disembunyikannya sebagai efek kejutan. Kini bola itu pergi ke arah Aksan dan lelaki itu dengan kesadaran penuh segera menghindar secepat mungkin. Berhasil.
Oh, masalah muncul setelahnya. Bola itu melewati arena lapangan basket dan para anggota grup B yang berada di garis lawan berusaha untuk menangkapnya agar tidak terlempar terlalu jauh tetapi sayang sekali. Gagal. Bola itu terus bergerak cepat dan kini mengunci serangan berikutnya ke arah seorang laki-laki tinggi berpakaian seragam guru yang sedang berjalan sembari mengecek ponselnya. Itu kelihatan familiar dan anak-anak segera meneriakkan namanya.
"PAK HENDRA! AWAS!"
Sontak saja Mahendra terkejut dan mengamati pergerakan sebuah benda berbentuk bulat sedang bergerak. Tatapan matanya jadi setajam elang dan menangkap bola itu dengan mudah. Anak-anak didiknya seketika terpesona dengan kelihaian Mahendra. Dia mengembalikan bola itu ke arah Aksan yang berlari kecil.
"Hati-hati mainnya, ya!"
Setelah kembali mendapatkan bola, permainan kembali dilanjutkan dan pemenang akhirnya diketahui. Grup A harus puas dengan kekalahan satu banding tiga. Sebenarnya Aksan bisa saja menyerang tetapi ia lebih suka untuk menyerah sebab kalah jumlah. Adelia bersama teman-teman segrupnya pun merayakan kemenangan dengan bersorak-sorai dan tawa bahagia. Sementara itu Nopal yang kalah akhirnya mendekati Adelia dengan malu-malu.
"Ah, maaf soal kata-kataku tadi. Aku tidak bermaksud menyakiti hatimu, Adel."
"Tidak apa-apa, aku senang kamu mau mengakui kesalahan. Itu saja aku sudah senang!"
"Daripada senang, aku ingin kamu terlihat bahagia." kata Nopal, kedua pipinya merah padam. Adelia yang masih tidak paham maksud lelaki gempal itu tiba-tiba saja tangannya ditarik.
"Omong-omong karena kalian menang, maka ketua dan anggota grup B semuanya akan aku traktir makan di kantin di jam istirahat nanti!"
"HORE!"
Adelia begitu terkejut mendengar kata-kata Nopal, kesenangannya bertambah dua kali lipat. Ah, bukan senang lagi namanya. Mungkin ia akhirnya bisa merasakan bagaimana sebenarnya perasaan bahagia tulus dan indah itu yang sering didambakan orang-orang. Diam-diam ia menyembunyikan pipinya yang berwarna merah jambu.
"Apa kamu tahu itu makanan mahal?"
"Ya. Lalu?"
"Berpikirlah, gadis gosong. Mie ayam dengan steak sapi seharga lima belas ribu rupiah itu hanya untuk makanan anak-anak elite! Anak miskin sepertimu tidak berhak!"
"Oh, benarkah begitu nona manis? Kurasa kau juga tidak berhak untuk membeli minuman air mineral seharga seribuan itu, bukankah terlihat … rendahan? Kau seharusnya bisa membeli minuman yang lebih mahal."
"Kenapa kau tidak membeli minuman mahal kalau begitu supaya bisa beradu mulut denganku? Aku juga penasaran!"
"Karena aku tahu hanya orang-orang bodoh yang suka memperdebatkan sesuatu yang tidak penting. Omong-omong aku bukan gadis gosong, aku Adelia dari kelas 11-A."
"Sombong! Kau tahu kalau aku Gissel dari 11-D! Hmph," gadis itu menahan ucapannya yang bocor layaknya keran air yang sudah rusak di waktu yang tidak tepat. Sepertinya ia berusaha untuk tak menyebutkan nama tetapi sayang sekali Adelia telah menangkapnya.
"Bye, bye, Gissel." Adelia berlalu sambil tersenyum iblis. Telinganya sudah kenyang dengan sampah, saatnya ia mengisi perut karungnya yang sudah kelaparan sejak tadi. Ada-ada saja.
"Kami berdua adalah duo fotografer SMANJA. Aku Baskara dan ini Vincent."
"Hm, apa urusan kalian denganku?"
"Kami ingin memotret dirimu dan membagikannya ke media sosial. Sudah banyak orang yang menyukainya dan mereka mendapat keuntungan dari situ."
"Baiklah … menarik."
"Kami hanya membutuhkan dua foto saja darimu."
Adelia segera berpikir keras untuk membuat potret terbaik dirinya, tidak terlalu norak dan juga tak terlalu memaksa. Intinya harus natural. Ia melilit mie ayam dengan garpu seraya memasang senyum manis. Baskara mengambil potret dari beberapa sisi dengan mengatur pencahayaannya. Kemudian ia membuka buku sejarah yang sempat dipinjamnya dari perpustakaan, membuka halaman tengah dengan tatapan mata serius dan Vincent menangkap potret yang menakjubkan. Mereka lantas memperlihatkan hasilnya lengkap dengan keterangan di bawahnya.
"Nikmatnya mie ayam membuatnya salah tingkah, bukan dengan fotografernya."
Date of photo,
22082018.
"Penyihir gelap yang sedang membaca buku dewasa."
Date of photo,
22082018.
"Astaga! Kalian ini sangat nakal!"