T H E Y O U T H C R I M E
10
SENDOK TERJATUH dari meja ketika Mahendra hendak menyantap mie kuah panas.
"Sial!" Mahendra mengambil sehelai tisu, mengelap kuah yang jatuh ke lantai. Dia mengambil semangkuk mie dan menyantapnya dengan sendok, merasakan gurihnya kuah di lidah. Aroma bubuk cabai dan sayuran menyerang syaraf-syaraf hidung dan membuat Mahendra sedikit kepedasan karenanya.
"Hsh ... hash ... Hsh ...." Astaga, Mahendra tidak tahu menahu soal mie kuah yang baru saja dibelinya itu rupanya salah satu bumbunya mengandung minyak cabai yang cukup banyak. Apalagi ditambah panasnya kuah makin menyiksa lidah Mahendra.
Seusai menghilangkan rasa pedas, Mahendra sedikit mengucek matanya yang perlahan tertutup rapat. Dia menyalakan lampu tidur seraya meletakkan pena dan jurnal. Kepalanya begitu berat untuk diraba, entah otaknya yang makin membesar atau pikirannya tiap hari bertambah melulu. Rasanya dia ingin merebahkan diri saja sebab gaya gravitasi dari ranjang tidur lebih kuat untuk menarik kaum manusia begadang.
"Sekarang aku harus menulis beberapa hal–" Mahendra sedikit mengelus keningnya, dia tak dapat tidur nyenyak dari malam kemarin. Usai insiden hilangnya anak-anak dan KOMPAS, dirinya benar-benar sibuk. Kendati begitu aktivitas hariannya tak boleh ditinggalkan.
Kedua mata Mahendra terpejam, menunggu ide yang melintas. "Sekarang tulis apa lagi ya?"
Kurang dari lima menit, Mahendra menekan-nekan penanya. Hilangnya anak-anak SMANJA dan dugaan soal anak kecil. Mahendra menganggap kedua hal tersebut tak saling berhubungan karena tidak ada benang merahnya. Kendari demikian tidak ada salahnya untuk dicari tahu sebab saat ini SMANJA telah menjadi sorotan di media sosial dan perhatian publik.
Mahendra mengawali aktivitas dengan membeli nasi kuning Nenek Mei. Seorang kakek-kakek tua tampak asyik membaca koran yang baru saja saja dibeli.
"Hei, hei. Anak muda, kau kerja di sekolah mana?" celetuk si kakek saat mendapati seorang pria mengenakan seragam guru.
"Halo, Kek. Saya kerja jadi guru honorer di SMANJA."
"Oh, guru honorer ... eh?! SMANJA? Kau sudah dengar berita yang lagi populer sekarang?"
"Anak-anak yang hilang–"
"Nah! Itu yang sedang dibicarakan. Sekolah bagus-bagus yang sudah dapat peringkat nasional saja bisa kena masalah serius, tidak becus sekali!" gertak si kakek yang sudah ubanan itu dan Mahendra membalasnya dengan senyuman tipis.
Cepat atau lambat SMANJA akan diliput oleh reporter dan pihak kepolisian atas berita mencengangkan. Kalau pihak sekolah tidak bertindak cepat, hal ini bisa memengaruhi reputasi dan kredibilitas sekolah yang telah dijaga dan dijunjung sebaik-baiknya selama bertahun-tahun.
Tiada hari tanpa emosi. Martinus kerap membanting kertas dan kursi yang ada di ruang kerjanya, ia tak pernah mengharapkan berada di situasi genting nan ceroboh macam ini yang makin sering digosipkan oleh para siswa-siswi. Mereka jadi waswas, takut dan tidak tenang sebab ditakutkan kejadian yang sama akan terulang kembali.
Usai berbaris dan kembali ke kelas masing-masing, kelas 11-A seperti biasa dipenuhi gosip dari beberapa siswi. Gosip yang sedang diperbincangkan ialah kehadiran anak baru sebagai penghuni kelas ke-31. Aksan yang tidak tahu apa-apa pun memilih tutup mulut saja.
"Berdiri!"
Mahendra meletakkan berkas dan daftar absen siswa seraya tersenyum manis.
"Selamat pagi anak-anak! Hari ini kita kedatangan anak baru dari Indonesia Timur. Silakan perkenalkan diri," Mahendra mempersilakan seorang gadis berkulit hitam dan berambut gimbal untuk berdiri di depan kelas.
Sedikit malu-malu dan merapikan rambut, gadis itu berdiri dengan tegak. "Perkenalkan saya Adelia Syifa, saya berasal dari Maluku. Salam kenal!"
"Baik. Adelia, bangku kamu ada di pojokan kelas. Aksan, angkat tangan!"
Aksan spontan mengangkat tangannya dan gadis yang semula berdiri di depan kelas berjalan ke arahnya. Ah, akhirnya bangku kosong satu-satunya di kelas 11-A diisi oleh anak baru dan menjadi akhir dari kesendirian Aksan. Menyebalkan harus bersama anak baru, begitulah kiranya isi pikiran Aksan yang sudah kacau balau. Teman-temannya sedikit melirik tajam, seolah keberadaan anak itu tidak diterima secara hormat.
Kebanyakan dari siswa-siswi akan berbisik-bisik dan menyebar gosip yang belum tentu benar, pemandangan biasa yang biasa terjadi kalau ada siswa baru menghuni kelas. Adelia tetap fokus memahami materi sembari memainkan penanya sebab ia tahu omongan orang lain tak dapat diatur.
"Bapak akan membagikan tugas dan silakan kalian mencari kelompoknya masing-masing!"
Adelia terdiam sejenak setelah mendengar perintah itu diikuti gemuruh para siswa mencari kelompok yang telah ditentukan. Masing-masing kelompok dibagi menjadi lima yang terdiri dari lima anggota. Adelia sebagai siswi baru maka ia bebas memilih mana yang dikehendaki dan akhirnya duduk di sebelah Aksan. Laki-laki itu sedikit risih, toh ia juga tak dapat menolak sebab Mahendra telah mengelompokkan siswa secara adil dan sama rata.
Adelia melangkah menuju ruang perpustakaan, mencari area buku sejarah. Omong-omong ia suka sejarah dan histori dunia yang patut diketahui meski zaman sudah berubah tetapi masa lalu tidak bisa dilupakan. Buku-buku koleksi di SMANJA begitu banyak sampai-sampai bisa memenuhi kamar Adelia, begitu pikirnya. Jujur, di sekolah Adelia yang dulu koleksi buku di perpustakaannya sangat kurang dan banyak yang rusak. Bahkan sudah berdebu dan sebagian buku dimakan serangga. Pemerintah sesungguhnya telah membuat rencana untuk membantu peningkatan literasi siswa dengan menyalurkan buku bacaan. Namun, rencana bukan berarti akan terlaksana. Hingga Adelia pindah sekolah, tidak ada bantuan buku-buku yang sering dibicarakan itu. Sungguh ironi.
Kalau dilihat dari segi koleksi buku perpustakaan memang luar biasa jumlahnya tetapi tidak sebanding dengan jumlah pengunjung. Minat baca di sini cukup rendah. Hanya terlihat beberapa siswa yang memilih buku fiksi, sisanya hanya sekadar datang dan bermain. Kemungkinan Adelia butuh setahun untuk membaca semua buku-buku di sini, terkecuali jajaran rak buku fisika dan matematika. Ah, bukannya senang ia malah jadi pusing.
Perpustakaan SMANJA berbatasan langsung dengan ruang guru. Mahendra tampak sibuk mencatat nilai dan nama-nama siswa yang tidak hadir dari beberapa kelas yang sudah diajar. Adelia melirik dinding ruang guru yang dihiasi oleh sebuah papan besar dengan nama-nama siswa tertampang di sana. Totalnya ada sepuluh dan di sudut paling atas papan tersebut dipasang huruf-huruf yang sedemikian besar agar terlihat gagah dari jauh. Kalau dibaca perlahan-lahan maka seperti ini: Ten Angels.
Mahendra hendak berbelanja ke kantin sontak saja terkaget saat melihat salah satu anak didiknya yang asyik mengamati ruang guru. "Selamat pagi, Adelia."
"Selamat pagi Pak, saya boleh bertanya?" Adelia sedikit melompat-lompat girang tanda ia begitu bersemangat.
"Silakan, Adelia. Mau tanya apa?"
"Program Ten Angels. Saya tak pernah mendengar tentang program itu di sekolah yang dulu.
"Ya, karena itu program sekolah yang hanya dimiliki SMANJA. Apa kamu tertarik untuk jadi salah satunya anggotanya?"
Adelia diam. Tentu saja tertarik apalagi kalau diberikan kesempatan. Namun, mengingat cerita-cerita dari beberapa siswa yang mengharuskan mereka untuk ikut bimbel, aktif ikut program sekolah, giat belajar meraih nilai tinggi dan syarat yang paling utama ialah good looking.
Adelia sedikit tertawa. Sebegitu pentingnya wajah rupawan sampai mengesampingkan nilai? Ia akan membuktikan bahwasanya good looking hanyalah pemanis belaka dan tak perlu diagung-agungkan lagi.
"Saya tertarik. Dan, pasti saya bisa menggeser posisi puncak itu, Aksan."
Matahari sudah cukup berkeliaran di atas langit, menggantikan bulan untuk semalam. Di sore itu, anak-anak menapaki gerbang sekolah, pulang bergerombol bersama geng atau temannya. Area parkir disesaki oleh suara-suara bising, beberapa siswa menggeber motornya sekeras mungkin. Katanya sih supaya kelihatan keren dan gagah seperti pembalap tetapi kalau dilihat-lihat lagi tidak mirip sama sekali. Malah terlihat bocah jalanan yang akan membabi buta tanpa tahu aturan.
Mahendra melangkah cepat menuju area parkir, dia hendak pulang. Salah satu satpam sekolah tiba-tiba berteriak sambil membantu tiga siswa yang anehnya masih berpakaian seperti minggu lalu. Anak-anak menatapnya dengan curiga dan penuh rasa penasaran.
"Tiga siswa telah ditemukan!"
Pramoedya, Egy dan Viki melangkah begitu lesu dan lunglai memasuki halaman sekolah. Ketiganya melihat dengan tidak fokus, malah sempoyongan seolah habis minum-minuman beralkohol. Masih mengenakan seragam yang sama saat hari perayaan ulang tahun SMANJA tetapi kini sudah agak lusuh. Mereka layaknya mayat berjalan yang hendak meminta pertolongan.
Mahendra membawa mereka ke ruang kepala sekolah untuk segera diperiksa. Pintu diketuk.
"Masuk!"
Martinus terkejut saat mengetahui tiga siswa itu telah ditemukan dan kini tampak tidak baik-baik saja.
"Kalian bertiga darimana saja?" tanya Martinus sembari menyentuh kening mereka satu per satu.
Diam. Tidak ada yang merespon.
"Mengapa kalian hilang begitu saja? Apa yang terjadi?"
Masih diam. Karena kesal, Martinus menginjak lantai keras-keras seraya memaki tiga siswa yang tidak bicara sepatah kata pun. Padahal mereka tercatat sebagai anak-anak yang berada di daftar merah akibat tindakan kekerasan fisik dan verbal, bullying dan aksi merokok selama menjadi siswa SMANJA. Ibu Lily, selaku wali kelas 12-E begitu terkejut akan kehadiran tiga siswa yang sebelumnya dinyatakan hilang. Mahendra berdiri di pojokan, tak mau mencampuri masalah.
"Pramoedya! Kamu tidak apa-apa? Egy, Viki, kalian baik-baik saja?" tanya Ibu Lily yang dibalas anggukkan kepala oleh ketiganya. Aneh, mereka tak biasanya merespon dengan mengangguk atau menggeleng. Biasanya sangat agresif dan susah untuk ditenangkan. Namun, kini mereka terlihat begitu tenang dan diam saja seperti orang bisu.
"Sepertinya kita harus segera memanggil orang tuanya sebelum polisi setempat menghampiri sekolah karena ini masalah serius." Mahendra menyeletuk, lantas berlari kecil untuk menghubungi orang tua bersangkutan.
"Ibu Lily, mari bicara empat mata." Mahendra mengajak wanita berambut bob itu ke koridor sekolah.
Sesampainya di sana, Ibu Lily melipatkan tangan seraya mengingat-ingat bagaimana kelakukan anak didiknya itu.
"Apa tiga anak itu memang sering berulah?" tanya Mahendra.
"Dari penuturan teman-teman sekelasnya, memang Pramoedya, Egy dan Viki sering melakukan bullying terhadap beberapa kelas 11."
"Atas dasar apa?"
"Yah, barangkali mereka bilang bahwa alasannya hanya sekadar bercanda. Tapi aku tahu candaan itu terkesan seperti siksaan. Dan, sekarang mereka benar-benar berbeda. Aku sangat kaget."
Para orang tua siswa menangis tersedu-sedu ketika mendapati ketiga anaknya dalam kondisi yang tak bisa dibilang baik. Mereka ditanya tak mau dijawab dan berakhir diam. Bahkan pihak sekolah harus mendatangkan beberapa petugas medis untuk dicek kesehatannya. Betapa terpukul hati para orang tua saat mendengar pernyataan fakta.
"Pramoedya, Egy dan Viki mengalami hilang ingatan."