T H E Y O U T H C R I M E
06
HARI KELAHIRAN identik dengan kebahagiaan dan suka cita, begitupun dengan warga sekolah SMA Nasional Jakarta yang sudah tak sabar membunyikan genderang hebat.
Menjelang perayaan, pegawai dan staf SMANJA sibuk mengatur hiasan-hiasan kelas, umbul-umbul peringatan, persiapan panggung megah dan yang tak kalah penting ialah penyebaran undangan. Menurut rumor, tahun ini pihak sekolah mengundang bintang tamu yang ikut memeriahkan jalannya acara, identitasnya masih dirahasiakan. Tetapi sudah dapat dipastikan bahwa bintang tamu tersebut ialah seorang penyanyi terkenal di Indonesia.
Guru-guru pun jadi lebih sibuk dalam mengurusi bakat anak-anak didiknya yang akan menjadi bagian dari penampilan acara. Nantinya mereka yang terpilih akan dilatih dan dibina di minggu terakhir bulan Juli. Sementara itu bagi yang tidak memiliki bakat terpendam--atau memang lebih baik dipendam saja--cukup menjadi penonton.
Hari ini kelas 11-A mendapat pelajaran matematika, pelajaran yang paling dibenci nomor dua setelah fisika. Alasannya bukan saja mereka tidak pandai berhitung atau banyaknya angka-angka yang memusingkan ditambah lagi rumus yang beranak-pinak, ini semua diakibatkan oleh trauma tidak paham tetapi bingung mau bertanya apa.
"Berdiri!"
"Anak-anak, sekarang siapa yang tidak hadir?" tanya Ibu Kirana ketika sibuk mencari-cari spidol hitam dalam tas.
"Nomor absen satu, lima, tujuh dan sepuluh Bu." Aksan menyahut sembari menyerahkan jurnal absensi.
Ibu Kirana membuka buku matematika di halaman seratus, kali ini materi yang diajarkan ialah peluang. "Baik. Hari ini kita akan mempelajari tentang peluang. Sebelumnya Ibu ingin bertanya terkait ulang tahun sekolah kita, siapa yang ingin menyalurkan bakat?"
Semuanya mengangkat tangan tinggi-tinggi. Ibu Kirana tersenyum sebentar, melirik sekilas ke bangku paling pojok. "Dhani, apa bakat kamu?"
Laki-laki yang asyik memegang dasi itu seketika tersentak. "E--eh, saya bisa menyanyi."
"Bohong! Nyanyi lagu nasional aja nggak hafal kau!" celetuk salah satu temannya.
"Mending kau jadi penyanyi gadungan. Nyanyi dangdut koplo aja, Dhan!" sahut Aksan sembari tertawa kecil.
"Sudah-sudah, bakat teman-teman kalian jangan ditertawakan begitu dong. Nanti kalau kalian ditertawakan juga gimana?" tanya Ibu Kirana memasang wajah cemberut, gemas dengan kelakuan anak-anak 11-A yang kelewat batas.
Pandu berseru sambil terkekeh. "Ya, ikut tertawa juga Bu!"
Setelah mencatat nama-nama siswa yang berminat untuk menyalurkan bakat, Ibu Kirana mengambil spidol dan menuliskan rumus serta beberapa latihan soal. Peluang, materi yang terbilang sulit. Bukan sekadar mencari diketahui dan ditanya, materi ini juga melatih bagaimana memperkirakan serta menganalisis berapa banyak peluang yang akan terjadi.
Seperti biasa setelah menjelaskan materi, ada sesi tanya-jawab. "Ada yang ingin bertanya?" tanya Ibu Kirana sembari memainkan tutup spidol.
"TIDAK!"
Materinya sulit dipahami lagipula bingung juga mau bertanya apa, toh tidak paham. Aksan menggerutu dalam hati, ia tahu teman-temannya tidak paham dengan materi yang telah disampaikan tetapi mereka enggan untuk memberi pertanyaan sebab mereka pun juga tidak tahu harus bertanya apa. Seakan-akan semua materi yang diajarkan hilang begitu saja ditelan angin maka pada akhirnya anak-anak akan kebingungan dan memilih untuk diam.
"Kalau tidak ada yang bertanya, mari kita lanjut ke latihan soal."
Deg. Mendadak kelas 11-A dihujani oleh rasa kebingungan absolut. Para siswa-siswi menggerakkan tangannya yang begitu kaku, mengambil pulpen dan meletakkan selembar kertas. Ibu Kirana telah selesai menuliskan dua soal di papan tulis. Pertanyaan yang ... tidak dapat diprediksi. Setelah menulis identitas, mereka kini digempur oleh hitungan dan rumus peluang.
Menyontek? Silakan. Lagipula ini bukan ulangan atau ujian tetapi jangan harap contekan itu benar. Berkutat dengan buku paket tiada guna kalau tidak paham juga, sekarang para siswa hanya menunggu waktu istirahat tiba. Jam berjalan begitu lambat, seolah-olah membeku. Suasana seperti inilah yang menjadi trauma tersendiri bagi kelas 11-A mengingat di tingkatan kelas sebelumnya mereka dicap sebagai 'kelas dengan rata-rata terendah' di bidang matematika dan fisika.
Keheningan yang berlangsung cukup lama di kelas bukan pertanda akan baik-baik saja, justru itulah awal permasalahannya dimulai.
Ibu Kirana mengamati jam tangan perak miliknya, sudah lewat lima puluh menit. "Silakan maju bagi yang sudah mendapat jawaban."
Deg. Pikiran kacau, buru-buru mengamati sekilas dan berdoa dalam hati. Kalau sudah begini, jalan keluar harus segera dicari. Para siswa mengerutkan dahi dan masih memukul-mukul kepala, menganggap jawaban yang didapat masih ragu-ragu. Akhirnya pilihan terakhir yakni berdoa sebanyak-banyaknya dengan mantra dan pengucapan yang sama. Mantranya ialah, "Semoga ada yang maju tapi bukan aku."
Menunggu dan menunggu. Ibu Kirana memasang raut wajah kesal. "Kenapa nggak ada yang mau? Kalian paham tidak?"
Sunyi, sampai-sampai suara kentut bisa didengar. Suara langkah sepatu mengejutkan Kirana, seorang siswa berjalan mantap menggenggam kertas yang telah berisi jawaban. Aksan, laki-laki yang terkenal sebagai anak kepala sekolah dan peraih kursi pertama di Ten Angels itu tak perlu diragukan lagi. Mengambil spidol dan mencoret-coret papan tulis dengan segudang angka. Untunglah tulisannya bukan ala-ala tulisan dokter, masih bisa dibaca.
Ibu Kirana tersenyum, ia tahu Pastik Aksan yang paling aktif dan mendominasi. Namun, sebagai guru ia tidak ingin pilih kasih. "Aksan, selesai menulis jawaban langsung jelaskan ya."
Itu hal yang mudah, Aksan membatin seraya meletakkan spidol di atas meja guru.
Menginjak pertengahan Juli, Mahendra bersama guru-guru lainnya beberapa kali berdiskusi di sela-sela kegiatan mengajar terkait acara ulang tahun sekolah, tentunya mereka harus membuat kesan spektakuler dari tahun-tahun sebelumnya mengingat akan ada bintang tamu. Para siswa-siswi tidak ketinggalan untuk berpartisipasi, mereka menyalurkan bakat dan antusiasme demi meraih sorotan lebih.
Omong-omong tentang ulang tahun, tidak lengkap rasanya membahas sejarah sekolah tercinta ini hingga masih berdiri kokoh tak terombang-ambing oleh angin. Berikut penjabaran lengkapnya yang harus diketahui.
Selama sepuluh periode dari tahun berdirinya yakni 1968, SMANJA tercatat telah bergonta-ganti kepala sekolah sebanyak tujuh kali. Jabatan kepala sekolah kini dipegang oleh Martinus Stefanus sejak 2012. Semenjak itu banyak sistem dan tata kerja sekolah yang diubah olehnya dengan tujuan memperbaiki dan meningkatkan prestasi serta menggaet lebih banyak perhatian. Kerja kerasnya memuaskan hasil dengan meraih penghargaan di sana-sini, mengharumkan Indonesia dengan mengikutsertakan siswa-siswi pada olimpiade internasional sampai bertemu langsung dengan menteri pendidikan beberapa kali sebagai wujud apresiasi. Sekolah ini tumbuh begitu pesat, megah dan indah. Pastinya di balik itu semua ada saja titik gelap yang diam-diam menggerogoti kejayaan SMANJA. Perlahan tapi pasti, titik itu akan jadi masalah di kemudian hari.
"Selamat siang. Di informasikan kepada seluruh Bapak dan Ibu guru yang sedang mengajar di kelas, mohon untuk segera menghadiri rapat tahunan yang akan digelar lima menit lagi di aula sekolah. Terima kasih."
Ibu Kirana mempersilakan Aksan untuk duduk kembali, lelaki itu mendapat nilai plus. Sebelum meninggalkan kelas 11-A yang rentan akan kegaduhan maka ia memberikan tugas tambahan yang harus dikerjakan.
Mahendra meninggalkan kelas 11-C seraya berlari kecil melewati terowongan besar yang menghiasi area masuk aula sekolah. Meja dan kursi telah ditata rapi sedemikian rupa lengkap dengan kudapan khas Indonesia. Ada tapai singkong, onde-onde, klepon dan lainnya. Namun, saat ini bukan itu yang harus diperhatikan dan dimakan. Agenda rapat tahunan yang biasa digelar tiap tahun menjelang bulan kelahiran sekolah adalah yang paling diutamakan. Selain itu juga membahas beberapa masalah di sekolah yang ada selama 6 bulan sebelumnya.
"Terima kasih sudah berkenan hadir tepat waktu. Silakan bisa dibaca laporan acara dan kegiatan serangkaian ulang tahun SMANJA. Bapak Martinus, rapat tahunan bisa dimulai." Fransisca, selaku wakil kepala sekolah mengambil posisi di belakang Martinus sembari merapikan riasannya.
"Baik. Saya tidak akan bertele-tele, intinya perayaan kali ini harus lebih meriah. Anak-anak juga mengharapkan agar ulang tahun ini bukan sekadar menambah usia gedung sekolah tetapi juga sebagai refreshing dari kesibukan belajar. Kalau Anda sekalian punya saran dan kritikan silakan disampaikan."
"Mengingat akan ada bintang tamu, bukankah artinya pengeluaran sekolah membengkak?"
"Urusan dana didapatkan dari anggaran pemerintah dan bantuan sumbangan sukarela dari orang tua yang saat ini lebih dari cukup. Ada lagi?"
"Jika dilihat dari padatnya kegiatan di hari pembukaan dan penutupan, saran saya kiranya dibenahi lagi agar tidak berakhir terlalu malam sebab saya khawatir akan kondisi anak-anak."
"Baik, terima kasih. Ada lagi?"
Suasana hening tanpa celotehan sedikitpun. Fransisca bangkit dari duduknya seraya mengibas rambut sebentar. "Karena tak ada lagi yang memberi kritikan maupun saran, agenda ulang tahun SMANJA siap dilaksanakan!"
Semua bertepuk tangan meriah. Setelah itu dilanjutkan dengan rapat mengenai masalah yang terjadi di sekolah. Martinus memberi kesempatan untuk berbicara. Mahendra mengangkat tangannya tinggi-tinggi.
"Ya, Pak Mahendra. Guru honorer termuda di sini, hehe. Silakan."
"Pak Martinus, menanggapi kasus-kasus kenakalan remaja yang tersebar di media sosial dan menjamurnya aksi bullying serta pelecehan seksual di Indonesia, bukankah seharusnya pendidikan karakter kembali digalakkan? Ini untuk mengantisipasi hal yang kemungkinan terjadi di SMANJA."
"Berita-berita di luar itu memang benar adanya. Tetapi saat ini sekolah kita menyumbang medali dan penghargaan lebih banyak dari tahun sebelumnya dan tidak lama lagi di tahun depan anak-anak sekolah kita akan mewakili olimpiade internasional. Nah, kasus-kasus yang Anda katakan tidak pernah terjadi di sini, sama sekali tidak. Pendidikan karakter sebaiknya dikesampingkan dulu, kita harus fokus meningkatkan nilai dan kompetensi sekolah. Benar begitu Bapak dan Ibu sekalian?"
"Benar, Pak. Saya sangat setuju!" celetuk Rasto, Guru fisika tertua di SMANJA yang kerap memusingkan anak-anak didiknya dengan gabungan rumus dan teori sains yang sebenarnya mudah dipahami tetapi dipersulit olehnya. Syukurlah setahun lagi ia akan pensiun sebab telah menginjak umur lima puluh sembilan tahun. Sudah cukup tua untuk menjadi guru.
Martinus menaikkan salah satu kakinya. "Tenang saja, Pak Hendra. Karakter siswa itu adalah pilihan mereka sendiri, bukan kita yang memilih. Lagipula pendidikan karakter bisa dilakukan kapan saja."
Mahendra mengernyitkan dahi. "Kapan, Pak?"
"Ya, kapan-kapan saja!"
Serempak para guru tertawa terbahak-bahak dalam gurauannya masing-masing yang berkutat soal karakter itu. Terkesan sepele tetapi Mahendra tak bisa menganggap itu hal yang normal. Dia mengambil pena, menuliskan beberapa kalimat pada memo yang disimpannya dalam saku seragam dan beranjak pergi. Rapat berakhir.
Kirana, guru matematika yang baru kembali ke kelas 11-A mendapati para siswa asyik memporak-porandakan bangku-bangku kelas, melempar sampah dan melakukan kekerasan terhadap perempuan sampai menangis. Tugas yang diberikan olehnya pada papan tulis mengenai materi peluang itu tidak digubris sama sekali. Mereka terkejut setelah sadar bahwa Kirana telah mengintip gerak-gerik mereka dari jendela kelas dan kembali ke bangku masing-masing dengan tertawa kecil. Kelihatan bahagia sekali.
"Kalian tidak bisa diberitahu!"
Para siswa berpura-pura merasa bersalah padahal sebenarnya mereka senang telah mengacaukan pelajaran yang sangat dibenci itu. Kirana yang diserang oleh badmood lantas segera merapikan buku-buku tugas dan berkas absensi dan meninggalkan kelas 11-A tanpa penghormatan. Suasana kelas mendadak hening, mereka telah menyakiti perasaan seorang guru. Sementara itu Aksan bersembunyi di antara tumpukan buku fiksi dan menutupi wajahnya yang lelah. Kelelahan untuk mengatur kelasnya sendiri walau ia adalah ketua kelas yang seharusnya mengatur kondisi. Jujur saja, ia pun bingung harus mengatur darimana?
Pak Mahendra hanya bisa pasrah. Dari jauh dia yakin guru-guru lain juga merasakan hal yang sama. Teguran, ancaman dan hukuman seolah bukan jawaban yang tepat untuk membersihkan citra 11-A. Bagaimanapun juga Mahendra sebagai wali kelas berusaha untuk mencari apa yang sebenarnya menjadi akar permasalahan.
"Mereka itu masih anak-anak, jadi wajar saja, Pak!" Begitulah kata-kata orang tua yang sering dilontarkan untuk menjaga citra mereka, di mana alasan 'masih anak-anak' tidak relevan lagi.
***
Jalanan beraspal yang berada di tengah-tengah perkebunan jati menjadi akses jalan pintas Mahendra menuju perumahan Kebayoran. Alasannya dia benci macet dan dengan lewat sini waktu berkendara hanya memakan setengah jam saja. Di siang hari jalan itu sejuk nan sunyi tanpa suara-suara kendaraan yang berisik, hanya burung dan sayup-sayup angin gemar menciptakan melodi lembut. Di malam hari, segalanya berubah menjadi menakutkan. Tak ada penerangan jalan satupun, benar-benar gelap. Mahendra hanya mengandalkan lampu motor ninja miliknya untuk menerangi sesuatu yang bersembunyi dibalik kegelapan. Pepohonan jati terlihat bak monster bertubuh kurus hendak mengunyah mangsa. Sudah tahu begitu tetap saja Mahendra nekat.
Kali ini malam berlangsung lama, jalan terasa panjang dan perasaan was-was mengintai hati Mahendra. Dengan kecepatan sedang dia menarik gas motornya tanpa henti. Bulan sedikit menjauh, menyinari awan-awan yang berkeliaran di langit. Kelap-kelip lampu sudah terlihat dari jauh, Mahendra tersenyum kegirangan.
Mendadak Mahendra menjatuhkan keringat dingin ketika sadar ada suara sebongkah batu kecil yang terlempar dan tergeletak di tengah jalan. Sontak saja dia berhenti dan memandang sekitarnya, gelap. Pukul setengah sembilan. Siapa orang iseng yang berani berkeliaran di sini?
Sesosok manusia hitam dengan tinggi lebih dari 170 senti berjalan dengan sinar putih di depannya. Jalannya pelan dan timbul suara-suara langkah kaki dari sosok itu saat menginjak dedaunan jati kering. Mahendra mengarahkan lampu motornya ke sana dan terlihat seorang anak yang dikenalinya dengan penampilan aneh. Serba hitam dan menggenggam tripod kamera.
"Apa yang kamu lakukan … Aksan?" Mahendra hampir-hampir tak mampu bersuara saat angin dingin membelai tangannya.
Anak itu hanya tersenyum, diam tak berkutik. Mahendra benar-benar yakin bahwa Aksan memiliki rencana gelap sampai-sampai dia rela pergi ke tempat sepi saat larut malam. Tetapi apa itu? Sesosok manusia bermata api muncul tiba-tiba diikuti erangan panjang yang berat khas binatang. Sosok itu mendekati Aksan dan terlihat bagian kukunya yang runcing dengan rambutnya begitu panjang dan kaku layaknya ondel-ondel.
Mahendra baru saja ingin memekik nyaring akibat ketakutan setengah mati setelah Aksan memasang senyum aneh, menggerakkan bibirnya.
"Tenang, Pak. Ini hanya settingan."