Loading...
Logo TinLit
Read Story - Bumi yang Dihujani Rindu
MENU
About Us  

Hingga tengah malam mataku sulit terpejam. Rasanya hari ini begitu banyak persoalan hidup. Detak jarum jam terdengar begitu jelas. Sementara Felix sudah terlelap sejak beberapa jam lalu. Segala aktivitas sudah kulakukan. Mulai dari salat sunnah hingga menuntaskan bacaaan satu juz Al-Qur’an. Satu buku pun sudah selesai kubaca. Namun, yang kudapati hanya kedua mata yang lelah. Ketika kurebahkan badan dan kupejamkan mata rasanya sulit sekali untuk melelapkannya. Seolah aku lupa bagaimana cara sederhana untuk tidur seperti sebelum-sebelumnya.

Hatiku gundah. Harusnya ucapan Om Thimoty di pesta tadi membuatku bahagia. Sebab dia telah memberikan restunya kepadaku untuk menjadikan putrinya belahan jiwa. Namun, pada kenyataannya kini hatiku dalam dilema. Mendadak, restu dari Om Thimoty seolah menjadi momok yang menakutkan. Bagaimana aku bisa lega? Sementara hingga detik ini aku belum berhasil mendapat restu dari Emak.

Tengah malam tiba-tiba handphone-ku berdering. Aku meraihnya dengan meraba-raba meja belajar. Mataku sudah cukup berat tapi tak kunjung terpejam juga. Badanku sudah cukup lelah meski untuk bangun sejenak. Jika menelepon di jam segini siapa lagi kalau bukan dari Teluk Kuantan?

Jarak dan waktu kadang menjadi hambatan. Kadang ‘Aini lupa jika meneleponku saat siang di Teluk Kuantan, maka di Saskaton sudah tengah malam.

“Sudah mau tidur ya, Bang?” Terdengar suara ‘Aini dari seberang sana.

“Hmmm …,”jawabku singkat.

“Baru saja Pak Ramli datang melamar ‘Aini.”

Seketika mataku segar. Aku langsung mendudukkan tubuhku dan bersandar. Tak lama terdengar suara sesegukkan dari ‘Aini. Aku berdiri berjalan menuju jendela, lalu mengintip gelap malam di luar sana. Aku mencoba menenangkan ’Aini. Agak lama, akhirnya ’Aini pun membuka suaranya.

“Lepas pulang sekolah ’Aini heran melihat ada sejumlah uang dari mulut ampop coklat yang terbuka. Ada Pak Ramli juga di sana.”

“Mau apa Pak Ramli datang lagi ke rumah? Uang buat apa? Emak sakit lagi?”

“Nggak, Bang.”

“Lalu buat apa Pak Ramli bawa uang ke rumah?”

“Pak Ramli mau melamar ’Aini, Bang.”

Lalu ‘Aini menceritakan kejadian beberapa lalu yang baru saja membuat shock dirinya.

***

POV: ‘Aini

“Ada apa ini, Mak?”

Emak hanya terdiam. Aku melihat ke arah Pak Ramli. Kulihat, ia tersenyum genit ke arahku sambil memainkan janggut tips di dagunya.

“Begini,” ucap Pak Ramli sambil menegakkan duduknya, “maksud kedatangan saya hari ini adalah untu melamar Dik ’Aini.”

Aku sangat kaget dengan ucapan yang baru saja kelauar dari mulut Pak Ramli.

“Maksud Bapak?” ucapku sambil mengerutkan dahi.

“Tenang, tidak usah kaget seperti itu. Nggak terburu-buru kok. Saya akan menunggu ’Aini sampai lulus sekolah.”

Darahku bergejolak panas. Napasku memburu mendengar ucapan Pak Ramli yang seperti tanpa dosa itu.

“Maaf, Pak. Jangan samakan saya dengan perempuan lain yang mudah tergiur dengan uang apalagi sampai dinilai jelek karena disebut sebagai perempuan perebut suami orang.”

“O tidak ... kamu tidak merebut suami orang. Saya akan menceraikan Rini.”

“Tidak. Bapak tidak perlu menceraikan Mbak Rini. Bapak juga tidak perlu repot harus menunggu saya lulus sekolah. Lebih baik Bapak fokus dengan Mbak Rini dan istri pertama Bapak, juga kepada anak-anak bapak. Bapak punya tanggung jawab besar membahagiakan mereka.”

“Insyaallah mereka sudah terjamin. Saya adil menafkahi mereka.”

“Maaf, Pak tapi saya ....”

Belum selesai aku berucap, Pak Ramli pun memotongnya.

“Loh apa salahnya berpoligami? Selama saya bisa adil dan mencukupi nafkah anak istri saya. Lagi pula poligami tidak haram kan? Sunnah Nabi pula?”

Dengan santainya Pak Ramli berucap seperti itu. Sementara aku tidak terima dengan sikapnya yang seolah menggampangkan urusan agama.

“Poligami memang tidak haram tapi juga bukan menjadi suatu kewajiban kan? Jika Pak Ramli berdalil bahwa poligami itu sebagai sunnah nabi, masih banyak kok sunnah-sunnah nabi lainnya seperti sedekah, dhuha, tahajud, menyantuni janda-janda dan yatim yang tidak mampu. Sebelum jauh mengamalkan poligami mungkin bapak bisa lebih fokus ke sunnah yang lain. Atau bahkan menunaikan kewajiban seorang laki-laki muslim seperti salat berjamaan tepat waktu di masjid misalnya?”

Aku masuk ke kamar. Pak Ramli terlihat kecewa dan malu dengan responku. Sementara Emak hanya terdiam dan juga merasa tidak enak. Tak berapa lama, aku kembali keluar dari kamar dengan membawa sejumlah uang dan kwitansi rumah sakit.

“Alhamdulillah kami ada sedikit rezeki untuk mengganti uang bapak tempo hari,” ucapku sambil menyerahkan uang itu dengan meletakkannya di atas meja.

Pak Ramli makin merasa malu dan salah tingkah.

“Hutang kami sudah lunas ya Pak. Terima kasih sudah membantu keluarga kami. Kami akan selalu ingat dengan kebaikan Bapak. Tapi bukan berarti bapak bisa membeli kami dengan harta Bapak,” ucapku dengan suara menahan amarah sambil meletakkan uang di atas meja, “agar tidak terjadi fitnah dan kejadian Mba Rini melabrak saya terulang lagi, saya mohon bapak tidak perlu datang ke tempat kami. Bukan kami bermaksud memutus silaturahmi tapi saya hanya berusaha untuk tidak terjadi mudharat yang lebih besar menimpa keluarga kami.

“Kalau begitu saya pamit dulu Mak, ’Aini.”

Pak Ramli berdiri, lalu berjalan keluar.

“Pak Ramli?” panggilku.

Pak Ramli berhenti sejenak sambil menengok ke arahku.

“Uang bapak,” ucapku sambil menyerahkan uang yang tadi tergeletak di atas meja.

Pak Ramli mengambil uangnya, lalu keluar sambil tertunduk malu. Aku menghampiri Emak.

“Emak sudah coba menolak Pak Ramli, tapi dia terus memaksa.”

“Ya Mak, ’Aini ngerti kok. ’Aini yakin Mak nggak akan tega kalau ’Aini harus menikah dengan Pak Ramli kan? Emak kan pernah bilang: biar kita hidup serba kekurangan tapi kita harus tetap punya harga diri.”

Emak mengangguk pelan, lalu memeluk sambil mengusap kepalaku pelan.

“Kalau masih ada Abah atau ada Bang Sofyan di sini mungkin kita tidak direndahkan seperti ini ya Mak,” ucap ’Aini lirih di pelukan Emak.

***

Hampir setengah jam ‘Aini menceritakan keluh kesahnya atas lamaran Pak Ramli. Akhirnya ‘Aini lega setelah mengungkapkan semua isi hatinya. Beruntung aku segera mengirimkan uang untuk mengganti biaya operasi untuk Emak tempo hari. Kalau tidak, mungkin ceritanya akan berbeda. Banyak orang yang memanfaatkan situasi. Seolah baik. Padahal ada maksud tertentu di balik semuanya. Aku paling tidak suka dengan orang yang memanfaatkan kelemahan orang. Pamrih. Menagih balas budi atas kebaikan yang sudah diperbuatnya.

“Tapi ngomong-ngomong, Pak Ramli tuh cakep juga loh, orang kaya lagi,” ucapku menggoda, “Kenapa ’Aini nggak mau?”

“Itu semua nggak ngejamin akan hidup bahagia ke depannya, Bang. Kan Abang pernah bilang, cari pasangan hidup itu nggak cukup hanya modal rupa dan harta, tapi juga kesolehannya!”

“Memangnya Pak Ramli itu kurang sholeh?”

“Iya.”

“Tahu dari mana?”

“Paling gampang itu kita perhatikan aja salatnya. Seberapa baik dia menjaga salatnya.”

“Memangnya ‘Aini memantau terus aktivitas ibadahnya?”

“Nggak sih Bang. Cuma pernah sih tempo hari saat Pak Ramli datang ke rumah. Saat sudah terdengar azan isya dia malah asyik ngobrol sama Emak.”

“Mungkin dia akan salat di rumah?”

“Ya mungkin, tapi bukankah Abang pernah bilang, kalau salah satu ciri lelaki muslim baik itu nggak pernah meninggalkan salat berjamaah di masjid. Terutama salat isya dan shubuh.”

Percakapan di telepon usai. Tapi ada satu urusanku yang masih menggantung. Restu dari Emak. Rasanya masih ingin berlama-lama. Namun, waktu terus merangkak meminta untuk memberikan tubuhku untuk beristirahat. Apalagi percakapan terakhirku dengan ’Aini tadi tentang salat isya dan shubuh berjamaah. Jangan sampai hanya karena tidur larut malam aku kehilangan keutamaan sebagaimana sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Imam muslim dalam haditsnya:

“Barang siapa yang melaksanakan shalat Isya berjamaah, maka seolah ia telah melaksanakan shalat separuh malam. Dan barang siapa yang melaksanakan shalat Shubuh berjamaah, maka seolah ia telah melaksanakan shalat semalaman penuh.”

Jangan sampai kejadiaan tempo hari terulang kembali. Sesalnya sungguh tak tergantikan. Rugi rasanya meski masih bisa melakukan salat secara mandiri. Sebab Allah memiliki keutamaan bagi mereka yang menjalankannya. Tentunya yang paling penting aku tak ingin dicap sebagai orang munafik sebagaimana sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dalam haditsnya:

Tidak ada shalat yang paling berat bagi orang munafik daripada shalat Shubuh dan Isya. Seandainya mereka mengetahui pahala keduanya, pasti mereka mendatanginya walaupun dalam keadaan merangkak.”

Kupasang alarm berlapis sebagai ikhtiar agar tidak telat salat berjamaah. Lalu kucoba pejamkan mata seraya lirih mengucap doa.

“Bismika allahumma ahya wa bismika amut.”

***

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Caraphernelia
1046      547     0     
Romance
Ada banyak hal yang dirasakan ketika menjadi mahasiswa populer di kampus, salah satunya memiliki relasi yang banyak. Namun, dibalik semua benefit tersebut ada juga efek negatif yaitu seluruh pandangan mahasiswa terfokus kepadanya. Barra, mahasiswa sastra Indonesia yang berhasil menyematkan gelar tersebut di kehidupan kampusnya. Sebenarnya, ada rasa menyesal di hidupnya k...
Kani's World
1887      821     0     
Inspirational
Perjalanan cinta dan impian seorang perempuan dari desa yang bernama Kani. Seperti halnya kebanyakan orang alami, jatuh bangun dihadapinya. Saat kisah asmaranya harus teredam, Kani dituntut melanjutkan mimpi yang sempat diabaikannya. Akankah takdir baik menghampirinya? Entah cita-cita atau cinta.
SORRY
21618      3267     11     
Romance
Masa SMA adalah masa yang harus dipergunakan Aluna agar waktunya tidak terbuang sia-sia. Dan mempunyai 3 (tiga) sahabat cowok yang super duper ganteng, baik, humoris nyatanya belum untuk terbilang cukup aman. Buktinya dia malah baper sama Kale, salah satu cowok di antara mereka. Hatinya tidak benar-benar aman. Sayangnya, Kale itu lagi bucin-bucinnya sama cewek yang bernama Venya, musuh bebuyutan...
Dapit Bacem and the Untold Story of MU
8643      2303     0     
Humor
David Bastion remaja blasteran bule Betawi siswa SMK di Jakarta pinggiran David pengin ikut turnamen sepak bola U18 Dia masuk SSB Marunda United MU Pemain MU antara lain ada Christiano Michiels dari Kp Tugu To Ming Se yang berjiwa bisnis Zidan yang anak seorang Habib Strikernya adalah Maryadi alias May pencetak gol terbanyak dalam turnamen sepak bola antar waria Pelatih Tim MU adalah Coach ...
Dream of Being a Villainess
1443      819     2     
Fantasy
Bintang adalah siswa SMA yang tertekan dengan masa depannya. Orang tua Bintang menutut pertanggungjawaban atas cita-citanya semasa kecil, ingin menjadi Dokter. Namun semakin dewasa, Bintang semakin sadar jika minat dan kemampuannya tidak memenuhi syarat untuk kuliah Kedokteran. DI samping itu, Bintang sangat suka menulis dan membaca novel sebagai hobinya. Sampai suatu ketika Bintang mendapatkan ...
A Day With Sergio
1860      814     2     
Romance
DELUSION
6463      1881     0     
Fan Fiction
Tarian jari begitu merdu terdengar ketika suara ketikan menghatarkan sebuah mimpi dan hayalan menjadi satu. Garis mimpi dan kehidupan terhubung dengan baik sehingga seulas senyum terbit di pahatan indah tersebut. Mata yang terpejam kini terbuka dan melihat kearah jendela yang menggambarkan kota yang indah. Badan di tegakannya dan tersenyum pada pramugari yang menyapanya dan menga...
Samudra di Antara Kita
35572      5777     136     
Romance
Dayton mengajar di Foothill College, California, karena setelah dipecat dengan tidak hormat dari pekerjaannya, tidak ada lagi perusahaan di Wall Street yang mau menerimanya walaupun ia bergelar S3 bidang ekonomi dari universitas ternama. Anna kuliah di Foothill College karena tentu ia tidak bisa kuliah di universitas yang sama dengan Ivan, kekasihnya yang sudah bukan kekasihnya lagi karena pri...
Fix You
1014      599     2     
Romance
Sejak hari itu, dunia mulai berbalik memunggungi Rena. Kerja kerasnya kandas, kepercayaan dirinya hilang. Yang Rena inginkan hanya menepi dan menjauh, memperbaiki diri jika memang masih bisa ia lakukan. Hingga akhirnya Rena bersua dengan suara itu. Suara asing yang sialnya mampu mengumpulkan keping demi keping harapannya. Namun akankah suara itu benar-benar bisa menyembuhkan Rena? Atau jus...
Gantung
811      512     0     
Romance
Tiga tahun yang lalu Rania dan Baskara hampir jadian. Well, paling tidak itulah yang Rania pikirkan akan terjadi sebelum Baskara tiba-tiba menjauhinya! Tanpa kata. Tanpa sebab. Baskara mendadak berubah menjadi sosok asing yang dingin dan tidak terjamah. Hanya kenangan-kenangan manis di bawah rintik hujan yang menjadi tali penggantung harapannya--yang digenggamnya erat sampai tangannya terasa saki...