Terdengar samar dari kamar mandi, Felix menarik napasnya dalam, lalu membuangnya keras-keras. Sepertinya dia kesal mendengar jawabanku yang selalu ‘insyaallah’. Namun, begitulah ajaran agamaku. Tiap kali berucap janji dengan siapa pun, aku memang selalu mengucapkan itu. Aku hanya berusaha mengamalkan perintah agama selagi mampu.
“Jawab ‘ya’ aja susah banget, Fyan,” kesal Felix.
“Loh memangnya kenapa dengan ucapan insyaallah?” tanya Fritz dengan nada heran.
“Ah kalian sekongkol. Mentang-mentang sesama muslim bisa-bisanya kalian ….”
Felix tak meneruskan ucapannya. Aku keluar dari kamar mandi usai berwudhu, lalu melirik ke arah Fritz. Kulihat, matanya bak singa yang akan menerkam rusa. Tajam dan penuh gairah untuk menghabiskan mangsanya. Setelah reda beberapa saat, mendadak emosi Fritz kembali terbakar. Mungkin ia tak suka dengan kearoganan Felix yang memaksaku harus menuruti kemauannya. Felix memintaku menjawab pertanyaannya dengan jawaban pasti: “ya”.
Aku yakin jika Felix melanjutkan lagi ucapannya maka Fritz tak akan segan-segan untuk menghujani Felix dengan ribuan kata-kata penuh amarah. Atau bahkan bisa jadi langsung menghajarnya.
“Sudah …,” pintaku pelan agar tak memperpanjang lagi permasalahannya.
“Memang kenapa kalau kami muslim, Fel?” tanya Fritz dengan kesal.
“Sudahlah, Fritz …,” pintaku sekali lagi sambil menatap air muka Fritz yang masih diliputi amarah, “istigfar.”
“Bagiku ucapan ‘insyaallah-mu’ itu seperti orang yang ragu-ragu,” ucap Felix menjelaskan maksudnya, “Gamang antara ingin menjawab ‘ya’ dan ‘tidak’. Bagiku itu sama saja dengan jawaban yang tidak tegas. Seperti pengecut.”
“Itu kan menurutmu,” ucap Fritz masih dengan emosi yang sudah agak lebih reda dari sebelumnya.
Aku menatap Fritz, lalu tersenyum kepadanya. Tanpa perlu mengeluarkan sepatah kata, teryata Fritz tahu arti di balik senyumanku itu. Aku memintanya untuk tenang. Tidak mengedapankan emosi. Apalagi sampai berujung dengan saling caci maki.
Fritz menarik napas, lalu mengembuskan semuanya.
“Astagfirullahaladzim,” lirih Fritz sambil mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya.
Aku mulai bicara. Meluruskan kesalahan tentang ‘insyaallah” seperti yang baru saja Felix ungkapkan.
“Kami hanya menuruti perintah yang ada dalam kitab suci kami, Fel,” ucapku tenang.
“Tentang sebuah ketidakpastian?” tanya Felix apatis.
“Masa depan memang hal yang tidak pasti kan?”
Aku balik bertanya pada Felix. “Bukankah kita sering dihadapkan pada situasi yang sudah kita rencanakan? Namun, kadang tidak sesuai harapan?” ucapku melanjutkan, “Sebab kita tidak pernah tahu tentang segala peristiwa yang akan terjadi di masa depan. Manusia hanya bisa berencana bukan? Selebihnya Tuhanlah yang menentukan hasilnya. Bukankah kau sering mengatakan hal itu padaku, Fel.”
Felix mengangguk.
Tentang takdir, kita memang tak pernah bisa mendahuluinya. Sebab kita tak pernah tahu hari esok akan seperti apa. Entah, apa yang akan menimpa kita. Entah, apakah akan terwujud semua rencana? Atau malah sebaliknya. Sungguh tak ada seorang pun yang tahu kecuali Dia. Sementara manusia hanya berikhtiar sekuat tenaga. Tanpa memiliki sedikit pun kuasa untuk menentukan hasil sesuai dengan kehendaknya.
***
“Insyaallah itu artinya jika Allah menghendaki. Ini menunjukkan bahwa kita sebagai manusia tidak mengetahui sedikit pun tentang masa depan. Hal ini menyadarkan bahwa kita tidak mempunyai daya secuil pun untuk menentukan masa depan. Insyaallah itu menunjukkan betapa rendah hatinya kita sebagai seorang hamba sekaligus sadar bahwa ada kemahakuasaan dan kemahatahuan Allah dalam hidup kita.”
“Ya … ya … aku paham,” jawab Felix sinis, “seperti perintah yang ada dalam kitab suci kalian kan?”
Fritz mengepal kuat kedua tangannya. Mungkin Fritz menahan rasa kesalnya pada Felix. Apalagi jawaban Felix kali ini tekesan sangat egois.
“Juga dalam kitab sucimu, Fel,” ucapku sambil tersenyum.
Mendadak, raut wajah Felix berubah. Seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
“Really?” tanya Fritz tak yakin.
Tak hanya Felix saja yang tidak percaya bahwa ‘insyaallah’ itu ada dalam Alkitabnya. Fritz pun sama. Seketika wajahnya mendadak berubah menandakan rasa tidak percaya. Matanya terbelalak. Mulutnya sedikit terbuka. Mungkin mereka mengira bahwa ucapan ‘insyaallah’ itu hanya ada dalam tradisi Islam saja.
Felix melangkah menuju meja belajarnya. Ia mengambil Alkitab yang terselip di antara buku-buku kuliahnya. Lalu menyerahkannya padaku.
“Aneh … malah muslim yang disuruh menunjukkan ayat Alkitab,” cibir Fritz.
Felix tak menggubris. Sepertinya Felix ingin agar aku membuktikan ucapanku kepadanya. Dia memintaku menunjukkan ayat mana dalam Alkitabnya.
“Sudah sana kamu berwudhu dulu, Fritz,” ucapku.
“Iya … iya ….”
Fritz beranjak menuju kamar mandi. Sementara itu, Felix terus mendesakku untuk segera menunjukkan ayatnya. Ia penasaran dan ingin agar aku segera membuktikannya. Kali ini ia membukakan lembaran Alkitab itu di hadapanku.
“Mungkin kau sudah pernah baca ayatnya, Fel. Hanya saja mungkin kau kurang begitu memperhatikannya lantaran kata ‘insyaallah’ itu sudah diterjemahkan dalam bahasa lain.”
“Hmmm … mungkin,” jawabnya singkat.
Aku mengembalikan Alkitab yang sudah terbuka di hadapanku kepada Felix. Lalu memintanya untuk membuka salah satu surat dalam kitab Perjanjian Baru. Felix pun segera membuka Alkitab versi Douay – Rheims 1899 American Edition (DRA) miliknya. Ia segera membacakan ayat yang sudah kuberitahukan padanya. Ayat 13 hingga ayat 17, surat Yakobus pasal yang keempat.
13. But who art thou that judgest thy neighbour? Behold, now you that say: To-day or to-morrow we will go into such a city, and there we will spend a year and will traffic and make our gain.
14. Whereas you know not what shall be on the morrow.
15. For what is your life? It is a vapour which appeareth for a little while and afterwards shall vanish away. For that you should say: If the Lord will, and, If we shall live, we will do this or that.
16. But now you rejoice in your arrogancies. All such rejoicing is wicked.
17. To him therefore who knoweth to do good and doth it not, to him it is sin.
“Kata ‘insyaallah’ secara sederhana diterjemahkan dengan berarti ‘If the Lord will’, Fel.”
Felix mengangguk pelan.
“Tim penerjemah Alkitab di negaraku, Indonesia, sempat memilih kata ‘insyaallah’ ini dalam Alkitab Terjemahan Lama. Padahal kata ‘insyaallah’ itu notabenenya meminjam ungkapan dari bahasa Arab.”
Felix menyimak penjelasanku sambil tetap memandang Alkitab yang masih terbuka di hadapannya. Sesekali kulihat ia menganggukan kepala.
“Meski akhirnya saat ini tim penerjemah Alkitab Terjemahan Baru lebih memilih menerjemahkan ‘insyaallah’ ini dengan kalimat baru, menjadi ‘jika Tuhan menghendaki’. Atau dalam bahasa Inggris diterjemahkan menjadi ‘if the Lord will’,” ucapku melanjutkan.
Felix menutup kembali Alkitab, lalu menaruhnya ke tempat semula.
“Ya … ya … ya … aku paham. Hanya janji Allah saja yang pasti terjadi. Juga sebagai bentuk ungkapan kerendahan hati. Manusia bisa saja memberi janji serta menyusun rencana. Bahkan kita pun bisa berusaha sebaik mungkin menepati janji dan semua rencana. Namun, tetap saja kita tidak bisa memastikan yang terjadi nanti. Apakah seperti yang kita mau? Kita tidak bisa menentukan masa yang akan datang. Bahkan kita tidak bisa memastikan apa yang akan terjadi satu detik ke depan,” ucap Felix.
“O iya, ucapan ‘insyaallah’ juga menjadi tradisi yang dilakukan oleh orang-orang zaman dahulu kala dalam Alkitab.”
“Ah … becanda kau, Fyan?” ucap Fritz tak percaya sesaat ia keluar dari kamar mandi usai berwudhu.
Felix mengerutkan keningnya tanda ragu. Aku mengangguk pelan.
“Tak hanya dalam surat Yakobus saja. Kata ‘insyaallah’ pun muncul dalam surat-surat Paulus kepada jemaat di Efesus dan Korintus.”
“O ya?” Felix terkejut.
Felix segera mengambil kembali Alkitabnya. Tampak sekali rasa penasaran yang tersirat di wajahnya.
“Ayat yang mana, Fyan?” tanya Felix sambil membuka lembaran-lembaran Alkitab di tangannya.
“Yuk Fyan, katanya mau salat?” ajak Fritz.
“Eh … sebentar, jangan jalan dulu. Kasih tahu dulu Fyan.”
Fritz berjalan menuju pintu. Aku menyusulnya di belakang.
“Nanti kau cari sendiri. Kau baca di Kisah Para Rasul dan Korintus.”
“Ayat berapa?”
“Yah kau cari sendirilah. Masa baca kitab suci sendiri saja malas,” sindir Fritz.
Aku tertawa kecil mendengar sindiran Fritz. Aku dan Fritz keluar meninggalkan Felix sendirian di aparteman. Kami menuju lift untuk turun ke loby.
“Semoga saja Felix menemukan ayat yang kumaksudkan tadi. Semoga setelah membaca ayat-ayat itu, Felix tidak ‘aneh’ lagi ketika aku dan teman-teman muslimnya yang lain mengucapkan ‘insyaallah’ di depannya,” batinku.
“Kok kamu bisa tahu, Fyan? Hebat,” heran Fritz saat kami di dalam lift.
“Ah … sebenarnya tidak hebat seperti bayanganmu Fritz, Aku hanya pernah membaca sebuah artikel yang mengulas apa yang sedang kita bahas ini.”
Jujur, dua ayat yang tadi kuberitahukan ke Felix pun dulu sempat membuatku penasaran. Pasalnya baru kali itu aku menemukan kata “insyaallah” tercatat dalam Alkitab Terjemahan Lama. Sementara di Alkitab Terjemahan Baru yang biasa kubaca sudah tidak kutemuan lagi kata itu di sana. Sebab tim penerjemah Alkitab Terjemahan Baru memilih menerjemahkan ‘insyaallah’ ini dengan kalimat baru, menjadi ‘jika Tuhan menghendaki’
melainkan sambil meminta diri ia berkata, "Insya Allah aku akan kembali kepadamu." Lalu berlayarlah ia dari Epesus.[1]
Tetapi insya Allah aku akan datang kepadamu dengan segeranya, dan aku akan mengetahui bukan perkataan mereka itu yang membesarkan diri sahaja, melainkan kuasanya itu.[2]
“Tapi keren loh. Daya ingatmu itu yang membuatku kagum.”
“Alhamdulillah. Setiap orang punya kelebihan dan kekurangan, Fritz.”
Tak berapa lama pintu lift terbuka tepat di lantai dasar. Kami berjalan menuju loby, lalu menuju masjid yang terletak di The Islamic Centre Saskatoon, tak jauh dari Grosvenor Park. Selama diperjalanan menuju masjid, Fritz tak berhenti memujiku. Betapa ia mengagumi wawasan agama yang kupunya. Tidak hanya tentang islam, tapi juga lintas agama.
***
[1] Kisah Para Rasul 18:21 (Terjemahan Lama 1954)
[2] 1 Korintus 4:19 (Terjemahan Lama 1954)