Read More >>"> Bumi yang Dihujani Rindu (Melempar Batu) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Bumi yang Dihujani Rindu
MENU
About Us  

“VCD ini buatku saja ya, Fyan?” tanya Felix sambil mengemas sendiri barang-barangnya.

“Film apa?” tanya Fritz penasaran.

Felix memperlihatkan cover-nya. Sebuah film yang mengisahkan tentang kehidupan di pesantren.

“Eh itu bukan punyaku, Fel.”

Aku berdiri dan beranjak menuju Felix. Aku mengambil VCD yang sedang dipegang Felix.

“Untung kau ingatkan. Ini punya Zahra. Sudah lama banget. Aku lupa mengembalikannya.”

“Itu film yang tempo hari pernah kita tonton bareng di tempatku kan?” tanya Fritz.

“Iya,” jawabku.

Film yang diadaptasi dari sebuah novel dengan judul yang sama karya penulis Indonesia. Dengan mengambil setting pesantren di tanah Jawa, film ini menuai kontrversi karena ceritanya dianggap merusak citra Islam. Bahkan ada juga yang melakukan pencekalan fimnya. Sebab beberapa pihak menilai bahwa muatan film tersebut rawan memecah belah umat serta suku bangsa. Zahra memintaku untuk menontonnya waktu itu. Dia ingin meminta pendapatku terkait beberapa scene yang menurutnya sangat tidak menggambarkan selayaknya kehidupan pesantren pada umumnya.

“Tapi aku ngak ngerti tentang kehidupan pesantren,” ucapku waktu itu.

“Kau tonton saja dulu. Bagaimana?” pinta Zahra agak memaksa.

“Ini kan Film lama?” ucap Fritz melihat cover VCD yang menyatakan bahwa film tersebut dirilis pada tahun 2009.

Kami bertujuh menonton film yang menceritakan perlawanan seorang santriwati, anak kyai pemilik pesantren salaf itu di apartemen Fritz. Tak lupa aku sudah menyiapkan pulpen dan kertas untuk mencatat beberapa hal yang akan kukomentari usai menonton filmnya. Kulihat, Kiara, Zahra, Eva dan Olivia mengernyitkan dahi mereka saat melihat scene kekerasan yang dialami sang tokoh utama. Nyata tergambar di sana adegan yang menampilkan diskriminasi terhadap perempuan yang dilakukan ulama dengan dalih agama. Sepanjang pemutaran film kuperhatian wajah-wajah mereka begitu serius, juga menyimak setiap dialog para pemainnya. Apalagi Felix dan Fritz yang tampak kesal dengan salah satu scene saat tokoh utama wanitanya mesti dinikahkan oleh lelaki anak Kyai yang ternyata punya sifat bengis dan sadis.

Akhirnya Sebuah film berdurasi sekitar 2 jam 11 menit garapan salah satu sutradara yang karyanya kerap dikritik itupun usai. Di atas kertas, aku sudah menuliskan beberapa catatan penting dari film yang baru saja kami saksikan. Yang jelas dalam film itu disajikan gambaran Islam yang sangat buruk. Di film itu, seolah Islam tidak mengikuti perkembangan zaman. Misalnya, sang tokoh santri perempuan yang tidak boleh keluar rumah untuk belajar.

“O, jadi begitu ya kehidupan Islam?” ucap Kiara menyimpulkan.

“Kasihan sekali ya perempuan dalam Islam,” tambah Felix.

“Itulah makanya aku minta Sofyan menonton film ini supaya memberikan arahan, kritik atau masukan,” ucap Zahra.

“Bukankah film ini diangkat dari kisah nyata salah seorang santriwati di pesantren?” tanya Felix.

“Mungkin saja memang pernah terjadi demikian. Seperti yang dialami oleh seorang santriwati dalam film itu, tapi kita tidak bisa menyimpulkan bahwa itu mencerminkan tradisi pesantren pada umumnya. Bahkan itu sama sekali tidak mencerminkan ajaran Islam,” jawabku, “bisa jadi memang ada kasus seorang yang melarang anak perempuannya seperti yang digambarkan pada film itu, tapi kita tidak bisa menyimpulkan bahwa seolah-olah ajaran pesantren itu.

“Sayang sekali, dengan dibuatnya film seperti ini seolah menggambarkan Islam yang buruk kepada para penontonnya,” ucap Fritz menambahkan.

“Hmmm … ok. Aku paham,” ucap Kiara.

“Tapi, apa kalian tadi memperhatikan dialog tokohnya?” ucapku sambil menatap ke arah Felix dan Kiara.

Kiara dan Felix bertatapan, lalu memalingkan kembali wajahnya ke arahku.

“Ada dialog tokohnya yang mirip dengan ayat dalam Injil,” ucapku melanjutkan.

Sekali lagi Kiara dan Felix bertatapan. Kali ini keduanya tampak bingung dengan dialog yang kumaksud. Dialog sang tokoh yang mana?

Really?” Olivia tak percaya.

“Yang mana, Ra?” tanya Eva ke Kiara.

Kiara hanya mengangkat kedua bahunya.

“Perasaan di film tadi aku nggak lihat ada dialog antara santri dengan pendeta,” ucap Fritz keheranan, “dan tidak ada juga setting di gereja.”

Kiara melihat ke arah Felix bermaksud menanyakan apakah ia memperhatikan dialog seperti yang kumaksudkan itu.

“Aku nggak begitu menyimak setiap dialognya dengan detail,” ucap Felix.

Scene yang mana, Fyan?” tanya Zahra penasaran.

Semua mata tertuju padaku. Mereka seolah memintaku untuk segera menjawabnya. Mereka penasaran tentang dialog sang tokoh yang menurutku mirip dengan ayat dalam Injil itu. Aku melihat kembali kertas catatanku. Sudah kucatat di sana. Lengkap dengan perkiraan menit dan detik ketika dialog itu terjadi. Aku meminta Fritz memutar kembali film itu. Tepat di scene ketika sang tokoh santriwati difitnah tengah melakukan kegiatan mesum dengan pamannya di sebuah gudang kosong.

Semua mata menyimak. Mereka memperhatikan kembali adegan tersebut dengan saksama.

“Cukup, Fritz,” ucapku meminta Fritz mem-pause filmnya.

Semua mata kembali tertuju padaku.

“Dialog yang mana, Fyan?” tanya Felix masih belum bisa menyimpulkan.

“Wajar jika aku, Eva dan Olivia tidak begitu paham kalau dialog itu mirip dengan ayat yang ada dalam Injil karena kami Muslim. Kami memang tidak membaca ayat-ayat dalam Injil,” ucap Fritz, “Tapi masa kau sebagai orang Kristen juga nggak tahu, Fel?”

Felix mengangkat bahunya.

“Nggak semuanya aku harus tahu, kan?” jawab Felix, “Lagi pula wajarlah, aku ini cuma orang awam, bukan calon pastor atau ahli agama yang tiap hari berhadapan dengan ayat-ayat Alkitab.”

Lalu semua mata beralih kepada Kiara. Sebab di antara teman-teman Kristen-ku, dialah yang paling paham tentang ayat-ayat dalam Alkitab.

“Dialog sang Nyai kepada penduduk,” ucap Kiara.

Fritz penasaran. Ia langsung memutar scene itu sekali lagi. Tepat pada scene ketika sang Nyai, istri kyai pemilik pesantren, mengungkapkan kemarahannya kepada penduduk yang akan melakukan tindakan semena-mena. Tanpa bukti dan saksi yang nyata, penduduk melempari putri Sang Nyai yang dituduh berbuat mesum dengan lelaki yang bukan mahramnya. Sambil memegang sebuah batu, Sang Nyai pun menantang penduduk untuk melemparkan rajam pada putrinya yang dituduh tengah berbuat zina.

***

“Hanya yang tidak pernah berbuat dosa, boleh melempar.”

Kiara menirukan dialog sang Nyai dari film yang tengah diputar. Semua teman-teman mengarahkan pandangannya kepadaku. Mereka ingin segera mendapatkan konfirmasi atas jawaban yang baru saja Kiara sampaikan.

“Betulkan, Fyan?”

Aku mengangguk.

“Bagaimana kau bisa tahu kalau itu ada dalam Injil, Fyan?” tanya Olivia heran.

“Jangan ditanya lagi kalau soal itu. Sofyan ini memang sudah ahlinya dalam hal ayat-ayat dalam Injil maupun Al-Qur’an,” jawab Fritz.

“Berlebihan kau, Fritz,” jawabku.

“Aku tidak menyangsikan dengan pengetahuanmu tentang Alkitab yang nyatanya memang melebihi aku yang sejak kecil sudah menjadi pengikut Kristus, Fyan,” sambung Felix, “Bahkan hebatnya lagi kau lebih fasih terhadap ayat-ayat Alkitab dibanding aku yang terlahir sebagai orang Katolik.”

Aku hanya tersenyum mendengar Felix yang selalu mengatakan kalau aku ini hebat. Padahal semua itu kudapati tidak lain karena Allah telah memberiku kesempatan lebih dahulu belajar tentang itu. Semua sudah kulakukan sejak masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Aku sering membaca-baca buku, artikel, serta berkesempatan bertemu dengan orang-orang hebat sehingga aku bisa mengetahui semua jawaban yang sering mereka pertanyakan.

Jujur, aku tak habis pikir dengan salah satu adegan di film itu. Bagaimana bisa dialog itu disematkan ke bibir Sang Nyai? Masa Iya, seorang Nyai, istri Kyai pemilik pesantren bisa mengucapkan kata-kata seperti itu? Apakah tidak ada ucapan yang lebih baik lagi sebagaimana yang telah diajarkan dalam Al-Qur’an, Hadits sahih serta kitab-kitab para ulama? Masa iya tidak ada ungkapan atau contoh dalam Islam sehingga harus meminjam kata-kata mirip ayat dalam Injil ketika berhadapan dengan massa yang bertindak semena-mena? Bukankah keseharian Sang Nyai seharusnya tidak lepas dari nilai-nilai Islam sebagai ajaran agama?

***

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Cinta Semi
1443      636     2     
Romance
Ketika sahabat baik Deon menyarankannya berpacaran, Deon menolak mentah-mentah. Ada hal yang lebih penting daripada pacaran. Karena itulah dia belajar terus-menerus tanpa kenal lelah mengejar impiannya untuk menjadi seorang dokter. Sebuah ambisi yang tidak banyak orang tahu. Namun takdir berkata lain. Seorang gadis yang selalu tidur di perpustakaan menarik perhatiannya. Gadis misterius serta peny...
Demi Keadilan:Azveera's quest
636      343     5     
Mystery
Kisah Vee dan Rav membawa kita ke dalam dunia yang gelap dan penuh misteri. Di SMA Garuda, mereka berdua menemukan cinta dan kebenaran yang tak terduga. Namun, di balik senyum dan kebahagiaan, bahaya mengintai, dan rahasia-rasasia tersembunyi menanti untuk terungkap. Bersama-sama, mereka harus menghadapi badai yang mengancam dan memasuki labirin yang berbahaya. Akankah Vee menemukan jawaban yang ...
Salon & Me
2867      898     11     
Humor
Salon adalah rumah kedua bagi gue. Ya bukan berarti gue biasa ngemper depan salon yah. Tapi karena dari kecil jaman ingus naek turun kaya harga saham sampe sekarang ketika tau bedanya ngutang pinjol sama paylater, nyalon tuh udah kaya rutinitas dan mirip rukun iman buat gue. Yang mana kalo gue gak nyalon tiap minggu rasanya mirip kaya gue gak ikut salat jumat eh salat ied. Dalam buku ini, udah...
Project Pemeran Pembantu
3645      1271     0     
Humor
Project Pemeran Pembantu adalah kumpulan kisah nyata yang menimpa penulis, ntah kenapa ada saja kejadian aneh nan ajaib yang terjadi kepadanya dan orang-orang yang ada di sekitarnya. Dalam kumpulan cerita ini, penulis menyadari sesuatu hal yang hilang di hidupnya, apakah itu?
Rewrite
5960      2106     1     
Romance
Siapa yang menduga, Azkadina yang tomboy bisa bertekuk lutut pada pria sederhana macam Shafwan? Berawal dari pertemuan mereka yang penuh drama di rumah Sonya. Shafwan adalah guru dari keponakannya. Cinta yang bersemi, membuat Azkadina mengubah penampilan. Dia rela menutup kepalanya dengan selembar hijab, demi mendapatkan cinta dari Shafwan. Perempuan yang bukan tipe-nya itu membuat hidup Shafwa...
Let's See!!
1368      664     1     
Romance
"Kalau sepuluh tahun kedepan kita masih jomblo, kita nikah aja!" kata Oji. "Hah?" Ara menatap sahabat kentalnya itu sedikit kaget. Cowok yang baru putus cinta ini kenapa sih? "Nikah? lo sama gue?" tanya Ara kemudian. Oji mengangguk mantap. "Yap. Lo sama gue menikah."
SORRY
12998      2584     11     
Romance
Masa SMA adalah masa yang harus dipergunakan Aluna agar waktunya tidak terbuang sia-sia. Dan mempunyai 3 (tiga) sahabat cowok yang super duper ganteng, baik, humoris nyatanya belum untuk terbilang cukup aman. Buktinya dia malah baper sama Kale, salah satu cowok di antara mereka. Hatinya tidak benar-benar aman. Sayangnya, Kale itu lagi bucin-bucinnya sama cewek yang bernama Venya, musuh bebuyutan...
Samudra di Antara Kita
20506      3581     136     
Romance
Dayton mengajar di Foothill College, California, karena setelah dipecat dengan tidak hormat dari pekerjaannya, tidak ada lagi perusahaan di Wall Street yang mau menerimanya walaupun ia bergelar S3 bidang ekonomi dari universitas ternama. Anna kuliah di Foothill College karena tentu ia tidak bisa kuliah di universitas yang sama dengan Ivan, kekasihnya yang sudah bukan kekasihnya lagi karena pri...
Under a Falling Star
657      399     7     
Romance
William dan Marianne. Dua sahabat baik yang selalu bersama setiap waktu. Anne mengenal William sejak ia menduduki bangku sekolah dasar. William satu tahun lebih tua dari Anne. Bagi Anne, William sudah ia anggap seperti kakak kandung nya sendiri, begitupun sebaliknya. Dimana ada Anne, pasti akan ada William yang selalu berdiri di sampingnya. William selalu ada untuk Anne. Baik senang maupun duka, ...
Lullaby Untuk Lisa
3240      1107     0     
Romance
Pepatah mengatakan kalau ayah adalah cinta pertama bagi anak perempuannya. Tetapi, tidak untuk Lisa. Dulu sekali ia mengidolakan ayahnya. Baginya, mimpi ayahnya adalah mimpinya juga. Namun, tiba-tiba saja ayahnya pergi meninggalkan rumah. Sejak saat itu, ia menganggap mimpinya itu hanyalah khayalan di siang bolong. Omong kosong. Baginya, kepergiannya bukan hanya menciptakan luka tapi sekalig...