Perahu kecil dengan dasar datar serta busur persegi bergaya Edwardian berjalan perlahan. Ada petugas yang mengendalikannya dengan mendorong perahu melawan dasar sungai yang dangkal sekitar tiga hingga lima kaki dengan sebuah galah. Kami menikmati perjalanan santai menyusuri sungai dengan air sejernih kristal sambil melihat ikan trout yang begerombol di dekat jembatan.
Tak berapa jauh di depan, kami dapat menyaksikan bebek berkerumun berenang bebas di atas sungai. Tak ketinggalan burung-burung yang sedang mencari makan membuat perjalanan begitu menyenangkan. Di sepanjang sungai juga banyak area tempat duduk untuk menikmati taman-taman yang indah.
Rona dan Runi duduk berdampingan di kursi depan. Aku dapat mendengar dengan jelas perbincangan santai mereka mengulang-ulang cerita lucu masa lalu dengan sesekali diselingi tawa. Aku dapat merasakan kebahagiaan yang terpancar dari wajah mereka. Sementara, aku dan Raya duduk di belakang menyimak cerita mereka. Sesekali mereka meminta kami memotretnya ketika melintasi area-area yang menarik. Sambil menikmati perjalanan menyusuri sungai, tiba-tiba Raya berbisik padaku. Raya menanyakan lagi tentang kegelisahanku beberapa waktu lalu.
“Kau sengaja tak mau menemui pamannya Runi lantaran kau malu karena salah menuduhnya waktu itu?” tanya Raya pelan takut terdengar Runi dan Rona.
“Kenapa kau bisa berpikir seperti itu?” jawabku sambil menengok ke arah Raya.
“Cuma menebak saja. Kan yang aku tahu kau putus dengan Runi gara-gara salah paham. Kau mengira Om Bira itu selingkuhan Runi.”
Aku menggeleng.
“Ah, sudahlah, tak usah dibahas. Itu sudah masa lalu,” jawabku berusaha seperti tidak terjadi apa-apa.
Perahu terus melaju dengan perlahan. Rona dan Runi masih asik berbincang. Syukurnya, Raya tidak membahas lebih lanjut lagi tentang Om Bira. Dia juga tidak menanyakan lagi alasanku yang tak menemui Om Bira beberapa waktu lalu. Bagi kami, Om Bira memang sudah bukan orang asing lagi bagi kami. Pembawaannya yang periang dan santai membuat kami mudah akrab dengannya.
Aku sangat akrab dengannya. Bahkan jauh hari sebelum aku mengenal Raya. Namun, ada satu hal di luar itu yang tak mereka ketahui tentang hubungan kami. Sebuah rahasia yang sudah kuketahui sejak lama. Sejak aku masih menjalin hubungan dengan Runi dan akhirnya memilih untuk berpisah.
Tadinya, aku ingin menceritakan kejadian sebenarnya pada Raya sebelum kami turun dari campervan menemui Runi dan Om Bira. Tadinya, aku ingin mengatakan dengan jujur tentang apa yang sebenarnya terjadi antara aku dengan Om Bira. Aku sempat bimbang apakah akan kuceritakan semuanya pada Raya. Namun, ini bukan tentang cerita biasa. Ini tentang aibku.
Entah bagaimana reaksi Raya jika ia tahu kejadian sebenarnya malam itu saat dia menemuiku dalam keadaan babak belur beberapa tahun-tahun lalu. Mungkin dia tak akan menyangka bahwa aku dapat melakukan hal sebejat itu. Aku yakin dia tak akan berhenti-henti beristighfar jika kuungkap aib lamaku. Sebab, kejadian waktu itu penuh dengan kenajisan dan mengundang laknat serta murka-Nya.
Raya memang tak pernah lepas dari istighfar tiap kali dia merasakan ada sesuatu yang melanggar dengan syariat. Jika hal sepele seperti tak menggunting kuku saat menjelang salat jumat membuatnya tak berhenti-henti istighfar dan menasihatiku apalah lagi ini tentang kemaksiatan yang maha luar biasa.
***
Malam itu sebuah perilaku keji akan terjadi di sebuah kamar penginapan di Jalan Ciungwanara. Perilaku itu sudah untuk yang kesekian kalinya. Om Bira sakau. Dia memintaku melakukan seperti apa yang tengah dilakukannya, mengkonsumsi narkoba. Dia mencekokiku. Namun, aku memberontak dan berhasil memuntahkannya.
Bukan kali ini saja ia memanfaatkan segala kebaikannya untuk “memerasku” demi memenuhi keinginan nafsu bejatnya. Pada beberapa kesempatan dia sering membujukku untuk melakukan kemaksiatan bersama. Namun, masih ada sedikit iman di dadaku hingga masih bisa mengendalikan untuk tidak melakukannya.
Lain waktu saat imanku yang rapuh ini turun, kembali dorongan itu hadir dan aku beruntung karena semua rencana itu selalu saja gagal. Ada saja cara Allah menjagaku dari perbuatan keji dan nista bersamanya. Entah, karena tiba-tiba tubuhku yang mendadak terserang sakit hingga tak bisa memenuhi bujuk nafsunya. Atau juga karena faktor lain yang akhirnya rencana jahat itu selalu tak terlaksana.
Namun, rencana buruk kesekian kalinya yang sebelumnya selalu gagal malam itu seolah berjalan lancar sesuai rencana. Aku yang sedang dilanda gelisah dan ditambah lagi imanku yang goyah seolah tak kuasa menolak saat dia meminta sesuatu dalam hidupku yang paling berharga. Dia memintaku hal keji seperti yang sebelumnya sering dia minta. Dia memintaku untuk melayani kebutuhan biologisnya. Kebaikan-kebaikannya dalam memenuhi kebutuhan materi untuk hidupku membuat hatiku akhirnya luluh tak berdaya. Saat itu aku tak tahu apakah aku akan terjebak dalam lembah dosa. Aku tak tahu bagaimana kali ini cara Allah menyelamatkanku seperti yang sudah-sudah.
Aku tak melihat akan ada kegagalan untuk rencana buruk untuk maksiat yang akan kami lakukan bersama. Suasanya sepi hanya kami berdua dan tak ada seorang pun melihat kecuali Allah yang Maha Melihat segala yang tersembunyi dan nyata. Saat waktu makin sempit dan tak ada lagi peluang untuk pergi, aku hanya bisa pasrah. Aku hanya bisa mengulur-ulur waktu untuk tidak melakukan perbuatan terkutuk itu. Dalam hati, aku menjerit karena sebentar lagi akan terjadi peristiwa yang amat menjijikkan.
***