Aku yakin sejauh-jauhnya sang traveler pergi pastilah pulang ke rumah menjadi suatu hal yang sangat dirindukannya. Setidaknya itulah yang selalu dikatakan Rona dan Raya di hari-hari terakhir kami di sini. Namun,, hal itu tidak berlaku bagiku. Rumah bagiku hanyalah tempat menumpuknya luka. Tempat yang selalu memuculkan trauma. Rumah bagiku tak lebih hanya sebagai tempat persinggahan. Istirahat sebentar lalu kembali pergi. Semestalah kini rumahku sesungguhnya.
Bukan tanpa sebab dan bukan tak ingin berlama-lama di rumah, tapi bapak yang membuatku selalu terusir dari rumah. Sudah tak terhitung berapa kali bapak mengusirku saat dia marah. Bahkan sampai membuang pakaianku. Kalaupun aku masih bertahan untuk kembali ke rumah itu demi Ibu dan Uleng semata. Meski aku tahu segala konsekuensi setibanya di rumah. Aku akan menjadi sasaran kemarahan dan kekejian bapak.
Hingga akhirnya aku sungguh sudah tidak tahan menerima segala jenis penyiksaan. Aku harus pergi jauh, sangat jauh agar tak melihat lagi wajah bapak. Agar aku bisa terbebas dari belenggu bapak. Oleh sebab itulah usai lulus sekolah sengaja kupilih kampus terjauh di luar pulau Sulawesi. Aku memilih pulau Jawa sebagai tanah baru untukku memulai kehidupan yang lebih indah.
Ibu dan Uleng sedih saat mendengar aku akan pergi meninggalkan kampung halaman, tapi tidak bagi bapak. Bapak tampak bahagia saat kuberitahu aku diterima di ITB. Bahagia bukan karena kesuksesanku menjadi salah satu mahasiswa di salah satu universitas terbaik yang ada di indonesia. Melainkan bahagia karena mungkin tak perlu melihatku lagi. Aku masih ingat ucapan dan raut wajah bapak saat itu.
“Syukurlah. Akhirnya kau bisa menjauh dari pandangan bapak. Semoga sukses Wellang. Jangan lupa nanti kalau kau sukses belikan ayah mobil dan rumah yang mewah hahaha ....”
Aku tersenyum miris mendengar ucapan Bapak. Sakit rasanya mendengar jawabannya. Padahal aku hanya ingin meminta restu darinya. Sebab aku masih menganggapnya sebagai seorang bapak. Orang yang memang selayaknya kita hormati dan dimintakan restunya.
***
“Aku akan pulang ...,” ucapku pelan.
Raya menghentikan langkahnya lalu melihat ke arahku. Dia tersenyum. Aku menundukkan memandang piring di atas meja dengan sisa rotiku di atasnya yang masih tinggal setengah. Beberapa langkah ia kembali mendekatiku lalu terhenti saat aku melanjutkan ucapanku.
“Tapi entah kapan. Yang pasti tidak dalam waktu dekat”.
Raya menarik napas panjang. Kulihat kecewa di wajahnya. Beruntung Rona memanggil Raya lalu menghampirinya sambil memberikan ponsel karena ada telepon dari seseorang, Jika tidak maka Raya akan membahas dan menceramahiku panjang lebar. Kalau sudah begitu aku makin malas dan biasanya akan ada perang dingin hingga beberapa hari ke depan.
Raya berjalan menjauh dari kami sambil berbincang di telepon. Kulihat Raya tersenyum dan tertawa saat menerima telepon itu. Kalau sudah begitu aku, bisa menebak siapa orang yang sedang berbincang dengan Raya di telepon. Lalu, aku memastikan lagi pada Rona dan ternyata dugaanku benar.
Raya sedang berbincang dengan adik dari ibunya, namanya Om Hans Adji. Beliau adalah sosok spesial bagi Raya. Sosok yang menurutku sangat berwibawa sekaligus bisa menjadi sahabat yang begitu menyenangkan. Aku melihat, Om Hans seperti menggantikan peran ayah bagi bagi Raya sejak ayahnya meninggal. Dia memperlakukan Raya seperti anaknya sendiri. Begitu menyayanginya.
Apalagi dari ketiga anak Om Hans semuanya perempuan. Mungkin baginya dengan kehadiran Raya, seolah memiliki anak bungsu laki-laki. Aku sudah terbiasa mendengar keakraban mereka saat ditelepon. Bahkan saat bertatap muka mereka bisa lebih mesra. Kadang aku iri melihatnya.
Saat awal aku mengenal Raya dan keluarganya aku mengira Om Hans adalah ayah kandungnya sebab mereka terlihat sangat akrab. Begitupun sebaliknya Om Hans sangat menyayangi Raya seperti anaknya sendiri begitu pun Raya menyayangi Om Hans seperti ayahnya sendiri. Aku baru tahu kalau ternyata Om Hans adalah pamannya saat dia mengajakku ke makam ayahnya saat menjelang bulan ramadhan.
***