Mungkin hanya aku dan orang-orang yang mengalami kepahitan hidup sepertiku saja yang mengerti bagaimana rasanya harus menanggung ini semua. Setidaknya ungkapan hatiku ini dalam sebuah caption yang kutulis di Instagram ditanggapi dengan makna yang berbeda oleh para netizen. Pun Raya yang membacanya berkomentar dengan hal yang serupa. Dia mengira caption tentang rindu itu kutujukan untuk sesosok gadis jelita.
Ini bukan sekadar rindu
Adalah air-air langit yang tiap tetesnya tertulis namamu
Gamang hendak ke mana ia tercurah
Sebab tak ada danau untuk menampung.
Tak ada sungai yang mengalirkannya hingga ke laut.
Bahkan ia tak memiliki bumi
untuk menyerap rindu-rindunya yang kian menghitam.
Sungguh ini adalah rindu terkejam.
Tanpa menyayat nadi Namun, bisa mematikan.
Nyatanya itu adalah ungkapan perasaanku sebagai anak yang menagih perhatian, rindu dan kasih sayang dari seorang ayah yang tak mungkin pernah terlunasi sampai kapan pun juga.
***
“Hei … kok belum tidur?”
Raya mengagetkanku. Aku tergagap dan bingung mesti berkata apa.
“I-ini mau tidur,” jawabku.
Segera kuhapus air mata di pipiku. Beruntung suasananya gelap. Aku yakin Raya tak melihatnya sebab kalau saja dia tahu ada air mata jatuh di pipiku maka ribuan pertanyaan akan menghujamiku. Bukan karena dia ingin ikut campur atas setiap urusanku. Justru aku melihat sebaliknya. Dia hanya tidak ingin melihatku bersedih. Sebab baginya aku pun berhak bahagia seperti orang-orang di luar sana.
Biasanya, Raya akan panjang lebar bertanya ini dan itu. Memang tidak memaksa. Sebatas bertanya saja. Ada kalanya aku meresponnya. Namun,, tak jarang pula aku hanya bisa terdiam saja. Aku enggan jika harus selalu menjelaskan setiap air mata yang tertumpah. Sebab kadang ada air mata yang menetes tanpa perlu penjelasan dan tanpa perlu ditanya sebab jatuhnya. Apalagi perihal air mataku saat ini. Tentang dosa di masa lalu. Sampai saat ini aku masih ragu untuk menceritakan semua itu.
“Nih tadi terjatuh,” ucapku sambil menaruh buku buku kecil Raya di atas badannya.
“O…,” jawabnya singkat lalu menyelipkan bukunya di balik bantal, “buruan tidur. Jangan sampai nanti kau malah susah kubangunkan Salat shubuh.”
“Iya, iya ….”
“Mikirin apa sih sampe ngga bisa tidur?”
“Nggak … nggap apa-apa.”
“Bingung besok mau bertemu Runi?”
“Ah tidak juga.”
“Kalau kau masih lapar, itu ada roti di laci.”
“Ya,” jawabku singkat.
Raya membalik badannya memunggungiku. Kurebahkan badanku. Lalu, menaruh kembali notes cokelat tua itu di balik bantal.
Andai saja tidak ada kejadian malam itu, saat aku babak belur. Andai saja Raya tidak menolongku, entah sudah seliar apa aku hari ini. Entah sudah menjadi manusia sampah macam apa aku ini.
“Terima kasih Ya Rabb. Engkau telah mempertemukanku dengan Raya,” batinku sambil melihat Raya yang sudah tertidur pulas.
Kupejamkan mataku sambil mendengar detak jarum jam tangan yang begitu jelas di tengah keheningan malam. Esok pagi sebuah babak baru akan dimulai. Saat-saat yang sangat ditunggu-tunggu Rona. Sebuah momen bertemu Runi, gadis yang pernah menjalin hubungan sangat akrab dengannya di masa-masa kuliah. Namun,, kali ini aku tak yakin apakah masih kuasa memandang wajahnya.
Gerimis yang menjelma hujan malam itu
Tak hanya membuatku basah
Pun tenggelam dalam bibirmu yang rona
Peristiwa yang terjadi di masa-masa akhir kuliah. Usai kejadian itu ada perasaan sangat bersalah. Kami pun canggung ketika bertemu. Aku malu pernah membuatnya terjerumus dalam dosa. Betapa bodohnya aku kala itu. Perbuatan sangat hewani dan begitu keji. Seolah sebuah permintaan nista yang kupinta padanya waktu itu untuk membuktikan kesungguhan cinta.
Entah setan mana yang telah membisiki kami, kejadian maha luar biasa hina itu pun terjadi. Runi jatuh ke dalam pelukanku dengan pasrahnya tanpa merasa bersalah. Kami bagai kekasih dimabuk asmara layaknya pasangan dewasa dalam ikatan pernikahan dengan nafsu membara menjalankan sebuah ritual cinta.
***