Keterlibatan ayah dalam pengasuhan saat ini seolah menjadi barang langka. Padahal pengasuhan bukanlah tugas yang dibebankan pada ibu semata. Ayah pun mempunyai peran cukup penting dalam perkembangan kehidupan anaknya. Betapa banyak yang berpikir bahwa ayah seolah hanya dituntut kehadirannya raganya. Mereka lupa bahwa anak juga membutuhkan kehadiran raga, pun jiwanya.
Anak memang memerlukan kehadiran ayah yang bisa terjamah, tapi ada yang lebih penting dari itu. Seorang anak juga memerlukan tatapan ayah sepenuh cinta. Sebab, anak bukanlah seonggok daging yang ditiupkan ruh, lalu tak pernah diberikan perhatian dan sentuhan kehangatan.
Seperti halnya diriku yang tak merasakan kehadiran sosok bapak. Sentuhan yang seharusnya kudapatkan dari bapak saat kecil tak pernah kurasakan. Padahal sentuhan seorang ayah tak kalah pentingnya dari sentuhan seorang ibu. Padahal sentuhan seorang ayah sangat membantu proses pertumbuhan hingga anak dewasa. Sentuhannya juga mempunyai efek luar biasa tak hanya bagi anak laki-laki saja. Pun berlaku pada anak wanita.
Sentuhan dari ayah dibutuhkan pada anak wanita di awal-awal pertumbuhan. Sentuhan ayah di masa awal pertumbuhan itu kelak berbekas pada sang anak. Kelak, saat anak dewasa maka anak akan mempunyai “alarm” alami yang tidak akan sembarangan bisa dipegang sembarang pria. Saat dewasa anak akan bisa membedakan antara sentuhan yang melindungi dengan sentuhan yang membahayakan dirinya.
Selama belasan tahun, aku hanya tahu lembutnya sentuhan ibu padahal seharusnya juga diperkenalkan dengan sentuhan ayah. Seorang pakar neurosains terapan, Anne Gracia, menjelaskan bahwa anak juga harus diperkenalkan dengan sentuhan seorang ayah. Hal itu karena karakteristik dan sensasi lebih keras sentuhan ayah dibandingkan sentuhan ibu membuat anak dapat membedakan intensitas di antara keduanya.
Perbedaan karakteristik genggaman dan sentuhan seorang ayah dan ibu akan membuat kognitif anak berkembang. Hal tersebut membuat anak menjadi jauh lebih siap cerdas. Selain itu Anne Gracia juga mengatakan bahwa sentuhan ayah kepada anaknya dipercaya akan mengaktifkan saraf yang tertidur dan itu akan membantu sistim motoriknya berkembang dengan baik.
Beberapa kali seminar parenting yang kuikuti selalu membahas tentang bagaimana pola pengasuhan yang baik dan benar untuk perkembangan anak. Para pakar begitu semangat membahas segala hal tentang pengasuhan sebagai sebuah preventif. Mereka pun mengatakan pengasuhan itu tak bisa diulang. Dia tetap menjadi hutang yang tak bisa terlunasi sampai kapan pun dengan cara apapun.
Tahukah betapa beratnya menjalani hidup seperti ini?
Merindukan sesuatu yang telah pergi
Tak mungkin bisa diraih
Tak mungkin bisa kembali
Bisakah waktu terulang
Agar terobati hati yang malang
Meski nyatanya, hanya tersisa hati yang patah
Sebab sikapmu yang aniaya
Mereka banyak memberikan tips and trick bagaimana cara mengasuh yang baik. Sedini mungkin meminimalisir sebuah kesalahan dalam pengasuhan. Berbagai macam metode pola pengasuhan dibuat agar menjadi efektif. Lalu, bagaimana dengan nasib anak-anak yang sudah terlanjur mengalami nasib sepertiku? Anak yang sudah terlanjur remuk hati dan jiwanya karena salah dalam pengasuhan.
***
Entah kadang aku heran apakah Tuhan enggan mengabulkan sebuah permintaan yang aku ajukan? Sebuah permintaan yang menurutku mudah untuk-Nya mengabulkan sekejap mata. Sebuah permintaan yang menurutku sangat baik dan menjadikan kebaikan tidak hanya untukku, tapi juga untuk Ibu dan adikku. Sebuah permintaan sederhana dariku seperti juga mungkin yang selalu diminta oleh anak-anak lainnya.
Padahal permintaanku itu bukanlah yang aneh. Bukan pula sesuatu yang nyeleneh. Ataukah mungkin menurut-Nya doaku terlalu istimewa? Kurasa tidak. Bahkan menurutku permintaan yang sangat sederhana. Sebuah permintaan yang selalu kusebut-sebut di setiap doa sejak dulu hingga detik ini pun kadang masih kulafalkan meski dengan lelah. Lafaz doanya sama dan masih belum berubah:
“Ya Allah ... berikan aku Bapak yang baik hatinya.”
Aku tak bermaksud untuk mendikte Tuhan untuk memberikan apa yang aku inginkan. Aku juga bukan memaksa Tuhan agar Dia menuruti permintaan doaku yang setiap hari kulafalkan. Hanya saja aku manusia yang memiliki perasaan lelah untuk terus meminta. Bahkan, kadang aku sempat berpikir Tuhan itu kejam dan tega dengan segala kepahitan hidup yang kurasakan. Meski aku tahu Tuhan lebih tahu apa yang aku mau. Tuhan lebih tahu mana kebaikan dan keburukan untukku.
***