Saat jelang shubuh aku baru tersadar. Kondisi tubuhku terasa begitu remuk. Kepala pun terasa sakit dan berputar-putar. Aku dapat merasakan lembutnya bantal dan hangatnya selimut serta udara yang begitu sejuk di ruangan yang cukup besar. Aku membuka mata perlahan. Aku lihat langit-langit lalu kuarahkan pandanganku ke kiri dan kanan. Aku bingung berada di mana. Kuarahkan pandanganku ke jendela yang tirainya terbuka. Kulihat langit malam bersih tanpa awan bertabur bintang-bintang yang berkilauan.
Tak jauh dari tempatku dapat terlihat dengan jelas seorang lelaki tinggi berperawakan tegap berwajah khas Kota Kembang. Berdiri menghadap kiblat lalu tak berapa lama dia bersujud di atas sajadah marunnya. Khusyuk penuh penghambaan. Kuperhatikan gerak-geriknya dari ujung kaki hingga kepala. Tampak begitu menenangkan. Aku melihat ada kedamaian di sana.
Malam adalah waktu paling indah
bagi sebagian orang untuk berdoa.
Malam juga waktu paling indah
bagi sebagian yang lain untuk berbuat dosa.
Tak berapa lama, dia menyudahi ibadah malamnya. Dengan wajah sedikit menunduk, lelaki berdada bidang dengan kulit kuning langsat itu menadahkan kedua tangannya. Mulutnya seperti merapal doa. Bergerak pelan tanpa suara. Sementara, aku yang tengah berbaring hanya bisa meringis menahan sakit yang mendera. Kemaksiatan yang baru saja kulakukan membuatku babak belur di hajar masa.
Kulihat sekeliling kamarnya. Aku kaget saat melihat sebuah buku diary di atas meja. Sepertinya tak asing dan aku berusaha mencoba mengingatnya. Kulihat ke arah lelaki itu dan kuperhatikan lagi wajahnya. Tak berapa lama, dia menyudahi zikirnya. Aku berusaha bangun. Lalu, dia berjalan mendekat saat melihatku meringis kesakitan. Aku yakin dia adalah orang yang sama yang tadi telah menolongku saat pingsan di teras Masjid Salman.
“Sudah bangun, Kang?” tanyanya.
Aku hanya bisa mengerang kesakitan.
“Pelan-pelan, Kang,” ucapnya lembut sambil membantuku duduk dan bersandar.
Aku memegangi kepalaku yang terasa sangat sakit. Sementara, dia mengambil segelas air putih di atas meja belajar lalu memberikannya padaku. Aku meminumnya hingga tak tersisa. Lalu, dia menaruh kembali gelas itu ke tempat semula.
“O iya, saya Raya. Sekarang Akang ada di rumah saya.”
Aku hanya terdiam sambil mengerang menahan rasa sakit.
“Akang dikeroyok? Sampai babak belur begini?” tanya Raya dengan raut wajah penuh belas kasihan.
Lagi-lagi aku tak menjawab pertanyaannya.
“Sebentar lagi azan shubuh, saya ke masjid sebentar. Akang salat shubuh?”
Untuk pertanyaan kali ini pun aku tak menjawabnya.
“Ya sudah, saya tinggal ke masjid sebentar. Akang istirahat saja di sini. Kalau mau salat, pakai kain sarung saya yang di sana,” ucapnya sambil menujuk arah kain sarung yang terlipat rapi di atas lemari kecil.
Raya melihatku dengan penuh iba. Kualihkan lagi pandanganku ke arah diary di atas meja dan akhirnya aku mengingat kembali kejadian beberapa waktu lalu di kampus. Ternyata, lelaki yang tepat di hadapanku ini adalah orang yang sama yang sering ku-bully saat melintas di hadapanku. Entah mengapa awalnya aku kurang begitu senang dengannya. Aku selalu berburuk hati saat melihatnya. Entah pikiran itu datang dari mana, di mataku dia seperti sosok yang sok paling pintar dan paling suci. Padahal tak pernah sekalipun dia berbuat jahat padaku.
Beberapa kali aku menghina dan mengejeknya, tapi dia malah membalasku dengan yang sebaliknya. Raya membalas setiap perlakuan tidak menyenangkan dariku dengan senyuman. Bahkan, saat aku mengejeknya dengan sebutan banci karena dia selalu membawa diary kemana-mana. Bukan karena gayanya yang gemulai. Bahkan lelaki berwajah manis dengan tinggi badan tak jauh berbeda dariku sekitar 170 cm itu terlihat sangat gagah. Hanya saja aku tak suka karena lelaki jurusan Tenik Sipil itu selalu membawa diary dalam dekapannya laksana membawa kitab suci paling sempurna.
Aku heran mengapa dia mau menolongku? Apa dia tak mengenali wajahku karena dalam kondisi babak belur? Mengapa dia membiarkanku sendirian di dalam kamarnya? Bagaimana jika ternyata aku ini orang jahat dan akan mengambil barang-barang berharga miliknya? Entahlah, apa yang ada dipikirannya. Zaman sekarang orang baik sepertinya sudah hampir punah. Kalaupun ada, jumlahnya sangat langka. Mungkin hanya ada satu di antara sejuta. Sepertinya Raya adalah satu di antaranya.
Raya bangkit dari duduknya. Kulihat ia tersenyum sebagai tanda pamit.
“Wellang,” ucapku dengan suara parau.
Raya tersenyum lalu mendekatkan wajahnya padaku.
“Wellang, anak Manajemen kan? Kita sudah sering bertemu.”
Aku kaget ternyata dia mengenaliku. Herannya mengapa dia masih mau menolongku. Padahal aku ingat beberapa hari sebelumnya aku telah memperlakukannya dengan kasar. Aku merampas diary yang dipegangnya. Tak hanya sampai di situ, aku pun menginjaknya sambil berlalu. Kuumpat dia dengan sebutan “banci” sambil tertawa sinis. Dia hanya terdiam lalu mengambil diary itu. Kulihat, dia membersihkan bekas tapak sepatuku yang mengotori sampul depannya.
“Jangan heran kalau aku bisa tahu siapa namamu,” ucapnya lembut sambil tersenyum ke arahku, “siapa yang nggak kenal selebgram dengan follower jutaan sepertimu.”
Aku makin tak enak hati saat ia memperlakukanku begitu baik. Padahal di saat itu bisa saja ia membalaskan dendamnya padaku. Namun, nyatanya dia tak memilih melakukan itu, malah ia memperlakukanku dengan sebaliknya.
***