Raya memutar tubuhnya menghadap padaku. Sejenak kami bersitatap. Matanya tajam menatap hingga menembus jantungku. Aku bingung mesti berekspresi seperti apa. Aku terima jika ternyata aku bersalah. Aku hanya menundukkan kepala saat dia berjalan mendekat. Kini, Raya tepat berada di hadapanku. Hanya beberapa jarak saja. Sangat dekat.
Aku sangat kaget saat tiba-tiba dia memegang kedua lenganku. Aku makin membenamkan kepalaku. Tanpa sepatah kata, Raya langsung memelukku erat dan kudengar ada isak tangis yang tertahan darinya. Raya yang sedari tadi bersikap dingin padaku, akhirnya mulai menghangat. Aku merasakan tepukan pelan pundakku oleh kedua tangannya. Dadaku bergemuruh, air mataku tumpah membasahi pundaknya.
“Ingat, Wellang, bagaimanapun kau bernasab kepada bapakmu,” bisik Raya di telingaku.
***
Ucapan Raya beberapa saat setelah kami mendarat di Changi Airport Singapore masih terngiang di telinga. Saat itu aku sempat mendebat Raya karena aku kesal dengan nasihatnya. Selalu saja nasihat itu tidak jauh-jauh tentang bagaimana seorang anak harus berbakti pada orang tua.
“Kau tak perlu menghitung-hitung seberapa banyak kelalaian yang sudah dilakukannya. Kau tak perlu menghisab seberapa banyak penderitaan yang sudah kau alami akibat perbuatannya. Kau pun tak perlu menuntut pertanggungjawabannya kepadanya atas sikapnya selama ini sebagai seorang bapak kepada anaknya. Biarkan itu menjadi urusan bapakmu dengan Allah. Tugasmu hanya berbakti, selama tidak dalam rangka bermaksiat kepada-Nya.”
Ucapan Raya itu memang tidak ada yang salah. Aku paham sebagai anak mesti berbakti kepada orang tua. Akan tetapi, dia tak pernah tahu apa yang selama ini aku rasakan di dalam dada. Berat sekali rasanya. Pedihnya hingga merobek pembuluh darah. Raya tidak pernah tahu betapa sakitnya hati ini atas segala perbuatan bapak yang selama ini kuterima.
Raya hanya melihat pelangi di mataku tanpa pernah merasakan betapa perihnya hati yang kujalani setiap hari. Padahal, hujan badai berpadu kilat yang menyambar-nyambar di balik itu semua. Bahkan, dia tidak pernah tahu masa-masa kecilku hilang, seperti bumi di jaman Nuh tersapu banjir bandang.
Aku lelah dengan ini semua. Aku ingin bahagia tanpa mesti mengaitkanku dengan bapakku. Kata-kataku meninggi karena tak terima dengan nasihatnya. Saat itu emosi meluap dan tak mampu kujaga. Sebab itulah Raya marah dan bersikap dingin karena aku sudah membuatnya kecewa.
Sepanjang malam Raya bersikap dingin bahkan tak mengajakku berbicara. Sepanjang malam itu pula aku memikirkan setiap ucapan yang keluar dari mulutnya. Hingga akhirnya aku tersadar. Aku merasa beruntung mempunyai sahabat sepertinya.
Nasihat Raya telah meluruskan cara berpikirku. Benar kata Raya bahwa semua akan dimintakan pertanggungjawabannya. Kelak aku akan dimintakan pertanggungjawaban atas tugasku sebagai anak. Begitupun sebaliknya, Orang tua kelak akan dimintakan pertanggungjawaban atas anak-anak yang telah menjadi amanahnya.
***
Kami berpisah setelah transit semalam di Changi Airport Singapore. Raya dan Rona kembali ke Bandung. Sementara, di detik-detik terakhir saat pengecekan bagasi tadi, akhirnya aku memutuskan untuk melakukan penerbangan ke Makassar.
Aku masih menunggu keberangkatan pesawat ke Makassar. Menurut jadwal, seharusnya pesawat akan berangkat pukul 7.55 pagi waktu setempat.
Aku terus berusaha meyakinkan hati untuk bisa kuat kembali pulang ke tanah kelahiran dengan berjuta kenangan pahit dalam pikiran. Aku juga tak ingin mengecewakan Raya yang sudah merogoh koceknya lagi sekitar SGD 300 untuk membelikanku tiket untuk pulang ke Makassar. Aku juga tak ingin mengecewakan adikku yang pastinya menunggu kehadiranku untuk menjadi wali di pernikahannya.
Aku tak tahu apakah kepulanganku kali ini adalah pilihan yang tepat atau tidak. Meski Raya tak memaksaku untuk pulang, tapi rasanya kali ini seperti ada dorongan yang begitu kuat memaksaku kembali ke Sengkang. Aku hanya mengikuti kata hati. Aku merasa seperti ada urusan yang harus segera kuselesaikan di tanah kelahiran.
***