Oktober 2013
Pernah dengar jika semua bulan yang berakhiran ber pasti adalah bulan penghujan? Begitulah yang sering terdengar di kupingku sejak kecil. Dan di hari ini saat bulan oktober memang sedang hujan, sangat lebat dan sangat membosankan.
Aku tak bisa keluar rumah dan Indra sedang ke luar kota lagi dan lagi. Dia akhir-akhir ini memiliki banyak urusan mendesak, entah urusan macam apa itu aku tak mengerti. Mungkin berkaitan dengan perusahaan propertinya yang sukses.
Mbah Kiyem sudah pulang sejam lalu naik ojek yang mengenakan mantel, tak lupa Mbah Kiyem juga membawa payung lipat di tas ‘Nanti turun dari ojek mbah bakalan jemput putri di depan kelas jadi harus bawa payung neng, soalnya kalo naik ojek mbah biasanya enggak mau lewat pagar berhenti di pinggir jalan aja, takut kan dari pagar ke kelas penurunan neng’ kata Mbah yang terburu-buru tadi. Lalu kujawab anggukan.
Sendirian di rumah kurasa kurang mengasyikan terlebih lagi ketika aku ingin memutar kaset drama Korea, lampu tiba-tiba mati setelah bunyi ledakkan. Arah ledakkan cukup jauh dan sepertinya itu suara ledakkan gardu. Mati lampu kali ini akan memakan waktu yang lama.
Aku berjalan-jalan di rumah tak tentu arah, terkadang ke meja makan untuk mencomoti lauk pauk, iseng padahal baru saja makan. Akhirnya kuputuskan untuk duduk santai di ruang kerja Indra.
Ada satu hal yang sangat kusukai dari Indra. Caranya mengenalku, bukan dari orang lain ataupun dari penjelasanku sendiri tapi observasi. Dan akupun ingin mengenalnya dengan cara yang sama. Mangkanya aku pergi ke ruang kerja, tempat paling sering dia kunjungi di rumah ini.
Biasanya aku ke ruang kerja Indra hanya untuk mengambil uang yang terletak di brangkas sudut ruangan. Tapi sekarang aku malah duduk di kursi Indra tanpa memperdulikan brangkas itu sama sekali. lagian untuk apa uang tapi tak bisa keluar karna hujan.
Ada banyak maps di atas dan di laci meja. kubaca satu-satu, semua warna dengan bermacam jumlah. Sesekali aku juga mengintip keluar memastikan hujan sudah berhenti apa belum. Ada juga koleksi foto Indra saat masih sekolah, terlihat sangat tampan dan membuatku jadi rindu.
‘Kangen Indraa’ keluhku mengusap fotonya beberapa kali
Aku berdiri merapikan semua maps dan foto ketempatnya semula dan berpikir untuk menelpon Indra. Ada satu maps berwarna hijau yang terpisah dan terletak di laci meja bagian bawah. Sebenarnya aku tak ingin membaca isi maps lagi mengingat maps-maps yang telah kubaca berisi grafik serta kosakata yang tak terlalu kupahami.
Tapi, aku berpikir untuk menyatukan maps itu dengan maps yang lain, supaya lebih rapi. saat akhirnya maps berwarna hijau itu sudah berada di tanganku dan kubuka ternyata itu adalah surat perceraian dengan; Indra sebagai penggugat dan Bunga sebagai tergugat.
Awalnya aku syok lalu merasa biasa saja setelah melihat tak ada tanda tangan siapapun yang tertera disana. mungkin ini hanya kerjaan orang iseng pikirku, dan kembali meletakkan maps itu di tempat semula.
Aku yakin surat cerai itu palsu, mungkin sengaja disisipkan saingan indra supaya terjadi cekcok di keluarga kami. Dahulu di awal menikah aku juga mendapati foto yang dikirim ke rumah dimana Indra sedang dengan wanita super seksi tapi ternyata saat foto itu di cek ke seorang ahli, nyatanya itu hanya editan.
Dunia persaingan Indra yang kejam.
“Sainganku itu tau betul betapa berharganya kamu buat aku Bunga, menyakitimu sama saja menyakitiku, aku percaya sama kamu dan kuharap kamu percaya sama aku” kata Indra waktu itu
Aku percaya dengan indra tentunya bahkan tanpa perlu dia membuktikan foto itupun aku percaya jika itu bukan dia. di foto itu warna muka dan tangannya jauh beda, memang di kira suamiku zebra apa?, belum lagi badan Indra di foto itu segede Mike Tyson. Tukang editnya payah.
Aku malu sekali saat merasa ragu karna melihat Indra memeluk Airin waktu itu. Karna praduga dan pikiran yang kemana-mana tanpa mengetahui alasan sesungguhnya. Dan sekarang aku tak mau lagi memiliki perasaan seperti itu. Aku yakin Indra sangat menyukaiku dan dia akan menceritakan segala sesuatunya nanti padaku.
Mungkin jika maps hijau itu terpisah dengan maps yang lain, itu karna indra sudah menemukannya dan merasa capek dengan hal-hal konyol begituan. Lalu menaruhnya ke laci kosong supaya tak mengganggu pekerjaannya.
***
Dua hari kemudian,
Aku keluar malam untuk mencari angin, tapi sampai akhir tak ada angin yang dapat eh malah ketemu Airin.
Saat itu aku sedang sengaja berhenti dan ingin mampir ke salah satu toko yang menjual jersy bola, sebelum masuk malah di panggil Airin yang baru keluar dari toko tas di sebelah.
Dan sekarang aku tertahan dengannya, berdua, di dekat gerobak capcin yang sedang beroperasi. Aku duduk di kursi yang disediakan mang capcin dan airin duduk di bagasi mobilnya yang sengaja terbuka. Kami memesan masing-masing satu capcin, dia mocca dan aku oreo.
Setelah itu hanya percakapan tak penting, dia membicarakan tentang tas yang baru di belinya. Harga, merk dan semua yang tak kuketahui. Dia memberikanku salah satu yang paling mahal, katanya. aku menolak sambil mengerutkan kening. Tapi dia tetap memaksa dan menggantungkan tas itu ke motor yang terparkir tak terlalu jauh.
Aku pamit pulang sesegera mungkin, jujur karna tak terlalu suka Airin, dan kurasa itu adalah hal yang masih wajar-wajar saja. Aku tak di tuntut untuk selalu menyukai setiap manusia di muka bumi ini kan?
*****
Indra sedang duduk di tangga dekat teras saat aku sampai di rumah. dia sepertinya baru saja pulang dan belum ke kamar mandi. Aku memarkirkan motor di depannya, tak mau ke garasi, ingin langsung mendekatinya saja.
“Indra sudah pulang” kataku
“Eh Bunga.. sudah dong, kamu darimana?”
“Pergi lah, emang kau pikir cuman kau saja yang boleh pergi-pergi”
“Hahaha” dia mengisyaratkan supaya aku duduk di dekatnya “duduk sini” lanjutnya, aku mendekat.
“Pulang dari luar kota enggak pernah bawa oleh-oleh”
“Emang Bunga lagi ada yang di pingini ya?, aku kalo keluar kota itu kerja, bukan jalan-jalan, selesai kerja aku maunya cepat pulang ketemu kamu”
“Enggak kok, aku enggak pengen apa-apa cuman bercanda” kupasang senyum termanis
“Kalo pingin sesuatu bilang ya, Bunga”
“Iya”
“Sini sini jangan jauh-jauh” tangan Indra melingkar di pinggangku
Aku memandangnya sinis dan dia hanya pura-pura tak tahu, lalu tiba-tiba aku ketawa, merasa geli sendiri padahal tidak sedang digelitiki.
“Kenapa?” tanyanya
“Enggak”
“Kenapa?”
“Enggak”
Begitulah seterusnya, tak ada yang mau mengalah dan tangan Indra tetap melingkar di pinggangku. Aku tak ingin membahas jika tadi aku bertemu dengan Airin, apa perlunya membicarakan Airin di hubungan kami. Sedangkan Indra pernah bilang ‘aku sayang kamu, bukannya airin’
*****
Seminggu setelah bersenda gurau dengan Indra. Dia tak keluar kota lagi, tapi kuharap lebih baik dia keluar kota saja.
Bersama dengannya di Jakarta saat ini seperti merasa bersalah setiap saat, Indra berangkat kerja lebih pagi dari biasanya, disaat aku masih tertidur, bukan subuh mungkin sekitar jam setengah tujuan.
Indra pulang selalu larut, jika pulang maghrib-pun dia langsung ke ruang kerjanya atau tidak ke kamarnya.
“Indra sudah makan?” kataku
“Makanlah...” langsung menutup pintu ruang kerjanya dari dalam.
Aku tak pernah bercakap panjang lagi dengannya, entah karna apa. aku tak ingin membahasnya sama sekali, tentang Indra ataupun tentang hatiku.
***
Trauma, Indra dapat satu trauma setelah menikah denganku. dia trauma bilang surprise. Kenapa aku mengingat hal ini ? akupun tak mengerti. Mungkin cukup wajar mengingat hal lucu tentangnya disaat kami renggang begini. Atau mungkin aku sedang rindu keadaan dimana kami bersama dan bahagia.
Aku juga punya satu trauma setelah menikah. Aku trauma keluar malam, mungkin karna pengeroyokan waktu itu, mungkin karna bertemu Airin beberapa hari yang lalu. Tapi aku tetaplah manusia berjiwa bebas, tak suka di kurung, aku akan tetap melanglang buana meski bukan malam.
Sore, hari ini tak hujan, langit sangat cerah. Aku sudah melajukan motor setengah jam lebih, memutar-mutar, melewati gang-gang kecil atau yang biasa disebut jalan tikus. Perjalananku terhenti karna kepanasan, padahal ini sudah jam 4 sore.
Aku sedang duduk di lapak mamang es cendol pinggir jalan, diatas kursi kayu panjang.
“Ini dek” kata mamang itu meletakkan es cendol pesananku ke atas meja di depanku, aku mengangguk. lalu mengutak-atik hp lagi.
+Indra sedang apa?
-kerja
Aku senang dia masih mau membalas pesanku, meski nomornya langsung tak aktif setelah itu. Kuaduk-aduk es cendol lezat dan mencicipinya sesekali. Hm... enak.
Mamang es cendol di sampingku sedang mengobrol dengan seorang tukang ojek, dia sedikit marah, emosi dan menunjuk-nunjuk ke arah seberang jalan.
“Kenapa ada restoran di dekat sini, padahal ini tempatku berjualan, aku jadi rugi, kesal sekali rasanya” keluh mamang cendol
Aku mendongak menatap restoran di seberang jalan, dindingnya terbuat dari kaca transparan semua. Mudah untukku melihat isinya yang tersusun rapi dan megah.
“Lagian mana ada orang di restoran sana mau makan es cendol punya kau, tipe minuman yang kau jual dan yang restoran itu jual, beda kasta” kata tukang ojek itu meyakinkan
Kepalaku tertunduk setelah melihat restoran itu sekejap, karna mendapati sosok indra tengah duduk dengan Airin dan kedua orangtua Airin di meja dekat pintunya. Mengobrol sambil sesekali tertawa berat. Kuangkat lagi kepalaku memastikan tapi kudapati rasa sangat menyakitkan.
Seolah-olah aku mematung dan semua di dunia berjalan makin cepat sedangkan yang di restoran biasa saja. bagaimana bisa ratusan kendaraan sudah berlalu di depanku?, bagaimana bisa langit sudah jadi gelap?, bagaimana bisa yang di restoranpun tak berniat untuk beranjak?.
“Dek maaf ya udah maghrib gini, mamang mau keliling, udah kan cendolnya? Atau mau di bungkus” tanya pak tua di belakangku.
“Oh, iya, udah” aku berdiri dari dudukku “Ini pak” membayar cendol yang tak kuhabiskan sambil menunduk merasa menyesal.
Kunyalakan motor dan pergi dari tempat itu, kembali ke rumah.
***
Sesampainya di rumah aku hanya duduk di sofa pendek tempatku biasa duduk, untuk sementara waktu. Ada sesuatu yang ingin kucari tahu, meski berat untuk melangkah kuusahakan untuk segera sampai di ruang kerja Indra.
Banyak sekali maps tentang pekerjaannya di atas meja kerja, kucari maps hijau tapi laci paling bawah sudah kosong. Kuperiksa maps-maps lain mungkin saja yang kucari mapsnya sudah di ganti. Tapi tetap tak ketemu.
Maps itu menyendiri di atas meja dekat jendela. Dengan gemetaran kuangkat maps itu dan membukanya. Surat perceraian itu sudah di tanda tangani Indra . Kutaruh maps itu kembali ketempatnya dan kembali ke tempat dudukku yang tadi.
Berjam-jam duduk di sofa pendek, aku tak ingin kemana-mana lagi ataupun tak ingin juga mencari tahu apa-apa lagi. hanya menunggu Indra pulang.
Meski lama.... sekali, aku senang Indra pulang.
Tok tok
Aku berlari ke pintu tak tentu arah, dan berusaha tenang baru membuka pintunya. Indra masuk, berjalan ke kamarnya bahkan tanpa melihatku yang berada di balik pintu. ‘Indra’ suaraku parau, mungkin dia tak mendengarnya, tetap melangkah menjauh dariku.
Aku berjalan ke kamarku, berbaring di ranjang dengan tangan kiri sebagai penopang kepala.
***
Keesokkan malamnya, aku duduk di balkon atap rumah karna tak bisa tidur. Indra sudah pulang, seperti biasa langsung ke kamarnya.
Sampai detik ini aku yakin jika Indra menyukaiku seperti aku yakin jika bulan malam ini sedang purnama. Meskipun aku tak tahu jelas berapa besar presentase keyakinanku tentang hal itu.
Seperti aku yang suka warna kuning padahal kulitku gelap, seperti Indra yang suka padaku padahal kami tak serasi bersama. kadang, kupikir begitulah perasaan Indra. Aku hanya sebatas kesukaan yang nyata tak cocok dengannya.
Tiba-tiba aku teringat kali terakhir bertemu Airin, di malam beberapa minggu lalu. Percakapan yang dulunya kuanggap tak penting.
“aku dan Indra sangat dekat, tapi beberapa bulan terakhir dia menjauh, aku akan tembak Indra dan kami pasti jadian, dek Dea dukung aku ya, kukasih tas yang paling mahal deh”
“Hah? ”
“Ayolah....nanti aku jadi kakak ipar sepupumu hahahah”
Apa mungkin sekarang Indra menjauh karna sudah jadian dengan Airin?
Aku bisa saja menjadi gila dengan semua kegelisahan yang dapat kujadikan alasan. Aku bisa saja menggedor kamar Indra dan bertengkar dengannya semalaman. Atau aku bisa juga menghampiri Airin dan memukulnya, jika aku mau.
Tapi, sekarang aku hanya diam di sini, tak mau melakukan semua yang bisa kulakukan itu. jika Indra menyukai Airin dan sepertinya begitu, melukai Airin meski sedikit sama saja melukai Indra. Aku tak mau.
***
Hari sudah pagi tanpa kusadari betul perubahannya. Mbah Kiyem sudah datang untuk melakukan tugas pekerjaan rumah ini dan sepertinya Indra yang membukakan pintu karna aku masih duduk di atap balkon rumah.
“Bunga?” sapa Indra dari arah belakang
Aku tersenyum ke arahnya “Hey? sini duduk dulu” menepuk-nepuk samping kursi yang kududuki
Indra mendekat dan aku masih tersenyum meski melihat maps hijau di tangan kirinya, dia duduk di sebelahku dan memangku maps itu di atas kedua pahanya.
“Bangun pagi, Bunga?”
“Hm”
“Bunga ingat tidak jika saat aku ulang tahun kemarin bunga janji mau kasih apa yang aku ingin”
“Ingat... wah itu kesempatan langkah loh, emang kau pingin apa?”
“Tanda tangani berkas ini”
Kupangku maps hijau yang sudah kupahami betul isinya, kupegang sudut kiri dan kanan maps itu gemetaran.
“Indra.....” suaraku lirih terdengar seperti memohon
Indra hanya menunduk tak berniat mengatakan apa-apa, aku tertawa paksa menutupi hatiku yang hancur dan memalingkan wajah supaya berhenti menatapinya.
“Dulu aku suka sekali berjemur pagi-pagi karna kata guru biologi sinar mentari pagi bagus untuk tulang” aku mendesah pelan
“Karena kurasa aku adalah tulang rusuk yang akan baik-baik saja jika bersama mentari pagi sebelum bertemu dengan jodohku, tapi setelah kita menikah aku tak pernah berjemur pagi-pagi lagi” kupandang indra yang sedang memandangku dengan tatapan sangat kurindukan
“Tapi hari ini aku kembali berteman dengan mentari pagi karna kurasa aku tak baik-baik saja meski ada kau, kurasa kau bukanlah jodohku”
“Bunga?”
“Benar ini yang kau inginkan?” tanyaku
“Iya, Bunga, alasannya...”
“Baik jika kau tak menjelaskan apa-apa, aku tak sanggup jika harus mendengar semuanya dari mulutmu. Aku melihatmu bersama Airin dan orangtuanya di restoran beberapa waktu yang lalu. Aku senang bisa melihatmu tersenyum, akhir-akhir ini jarang banget ya?”
“Ha?” ada nada terkejut dan rasa bersalah setelah itu “Iya, Bunga” Indra mengabaikannya.
Perilaku Indra menegaskan sesuatu hal, jika memang aku sudah memberi tahu yang kutahu ke Indra, tentang dia dan keluarga Airin dan itu bukanlah kesalahpahaman yang harus diluruskan. Kutandatangani surat perceraian kami dengan sangat berat dan memberikannya ke Indra. Mencoba enyah dari keadaan macam ini secepatnya
“Ini”
“Aku mendaftarkan ini di kota Paman dan Bibi hari ini, supaya lebih mudah untukmu Bunga. Kucantumkan alamat rumah lamaku yang di sana”
“Hm.. aku akan membeli tiket bis nanti”
“Kenapa tak naik pesawat saja, Bunga? Nanti kamu...”
“Capek? Enggak, aku butuh waktu buat jelasin semuanya ke Paman dan juga Bibi”
“Barang-barang di tinggal aja ya, Bunga”
“Hm... iya”
“Aku pergi....”
“Iya, dadah...” melambaikan tanganku sambil tersenyum padanya.
*****
Malamnya sebelum tidur, aku menghampiri Indra di ruang kerjanya. Hanya berdiri diambang pintu.
“Indra aku sudah beli tiket, aku berangkat besok sore”
“Iya, Bunga”
“Aku naik ojek saja ke loketnya, nanti kunci rumah kutaruh di bawah pot bunga sebelah kiri ya? Semangat kerja....”
***
Aku sudah berada di loket dengan tiket di sakuku, masih menunggu bis-nya datang, sesekali pedagang asongan menawariku telur rebus ataupun nasi uduk yang sudah di bungkus rapi. Aku hanya menggeleng dan berusaha menolak sesopannya.
Penumpang yang akan satu bis denganku sepertinya mayoritas adalah ibu-ibu dan nenek-nenek. Tak ada yang semuda diriku. Tapi terserahlah, aku juga tak berharap memiliki teman bicara di bis nantinya oleh karna itu aku membayar untuk dua bangku.
“Bis-nya belum datang” Indra mengambil posisi duduk di sebelahku
“Belum” kataku, tak menyangka dia akan datang sama sekali
“Ini uang jika nanti ada sesuatu di jalan Bunga”
“Kayak baru pulang kampanye aja dapat uang yang di amplopin”
Aku dan Indra tertawa garing. Kulipat amplop jadi dua dan memasukkannya ke jaket.
“Eh bis-nya udah datang”
“Berangkat Bunga?”
“Iya dong”
“Bunga tunggu”
Indra mendekapku hangat sekali tapi aku tak berniat membalas dan membiarkan tanganku terkulai bebas saja. Setelah dia selesai aku tersenyum dan menyodorkan tanganku mengajak salaman dan diapun memberikan tangannya. Kucium punggung tangannya tanda pamit.
“Aku naik” kataku melepaskan tangannya
Tak lama bis melaju meninggalkan loket tempatku menunggu tadi. Dadah Indra isyaratku melambaikan tangan dari balik kaca jendela mobil yang terbuka.
***
Aku menyukai Indra meskipun tak pernah mengungkapkannya dengan serius. Tentu saja begitu jika tidak untuk apa aku mau menjalani hubungan dengannya. Hubungan inipun berakhir baik-baik, aku berusaha mengerti semuanya, kuturuti keinginan Indra untuk berpisah dan berharap dia akan bahagia, nantinya.
Entah betapa sesak dadaku sekarang, sampai aku hanya diam di kursiku saat bis berhenti untuk membiarkan penumpang makan, dan hanya keluar jika ingin ke kamar mandi. Begitu saja terus sampai bis benar-benar berhenti di tujuannya.
Tak ada yang ingin kubahas, aku tak peduli lagi.
***
Saat akhirnya bis sudah berjalan dua hari dua malam, sang kenek berteriak ‘sampe sampe ....’ aku merasa ingin mati saja. Berharap jika ada kejadian atau bencana apapun yang bisa menjemput ajalku.
Tapi tidak, aku tak mati sampai di depan pagar rumah Pamanpun tak ada ancaman sama sekali. kulihat hutan di depan rumah Paman yang belum kutahu ujungnya dan berpikir untuk lari kedalam hutan itu. Terus berlari tak henti dan berharap memang hutan itu benar-benar tak berujung. Biar tersesat dan hilang saja disana.
Itu hanyalah pikiran karna nyatanya aku tetap masuk pagar dan mengetuk pintu rumah. paman dan bibi yang membuka pintu terlihat sangat lelah. Bibi memeluk tubuhku erat dan Paman menepuk bahuku sesekali. Kurasa Indra sudah menghubungi mereka dan menceritakan semuanya.
Meski Indra sudah cerita, aku tetap berusaha menjelaskan semuanya dari sudut pandangku ke mereka. Bibi menangis seperti wanita dan lari ke kamar, Paman masih duduk di depanku.
“Paman, aku minta kunci rumahku, aku mau pulang”
“Malam ini menginaplah Dea, besok baru pulang”
“Tapi, Paman...” kulihat Paman memegang ujung kepalanya mungkin karna pusing “Baiklah Paman, aku ke kamar dulu”
Aku baru saja masuk ke kamar ketika ada seorang yang mengetuk pintu lagi, Paman sepertinya yang buka. Kulihat dari jendela kamarku dan mendapati Indra di luar rumah bicara dengan Paman lalu Bibi yang tiba-tiba keluar.
Ada pembicaraan berat disana sampai tak ada satupun dari mereka yang duduk. Indra hanya menunduk beberapa kali seperti memita maaf dan menyerahkan barang-barangku ke Bibi. Kulihat Paman menepuk bahu Indra sebelum Indra pergi. Aku tak berniat keluar untuk menemuinya.
***
Aku pulang ke rumahku sendiri pagi-pagi sekali setelah memohon kepada Paman dan Bibi untuk memberikan kunci rumah dan kunci motor bebek.
***
Akhir minggu bulan ini adalah sidang perdana perceraian yang tak kudatangi sesuai dengan permintaan Indra “Biar aku saja yang datang besok” katanya kemarin lewat telpone, siang ini indra mengirim pesan padaku.
Indra Wijaya
Bunga, sidang perceraian kita sepertinya vrestek(cepat) karna kau tak hadir dan tak menghadirkan saksi serta tak ada tuntutan. Sidang putusan tanggal 28 bulan sebelas.
Begitulah isi pesannya, aku tak tahu jelas proses perceraian, semua Indra yang urus.