Mei 2013
27
Malam ini aku sedang melajukan motor bebek dengan kecepatan 60 km/jam, dingin menyelinap melalui sela-sela jaket tapi aku tetap melaju melewati lampu-lampu jalan yang hidup dan yang dibiarkan mati.
Si Lusi, wanita yang kubonceng sekarang tetap saja anteng duduk miring khas wanita baik-baik. Ia adalah sepupuku yang memiliki selisih umur 6 bulan, di mana dia lebih tua tapi kami masih berada diangkatan sekolah yang sama. Wajahnya cantik, putih, mancung dan rambutnya sedikit bergelombang halus tergerai, beda tipis denganku yang merupakan generasi penerus kecantikan Cleopatra.
Kami sedang dalam perjalanan menuju ke tempat yang Lusi inginkan, Minimarket. Dia suka sekali ke sana membeli bahan-bahan masakan dan jika tak dituruti ia akan menggoncang tubuhku terus menerus sampai aku merasa mual.
“Lusi, besok aja” pintaku tadi.
“Sekarang, Dea” katanya tak berhenti menggoncang tubuhku.
Pokoknya sekarang aku sedang sangat kesal, meski menuruti keinginannya hatiku menggerutu. Tapi semua gerutuanku terhenti ketika ada suara menyapa.
“Cantik” seorang pengendara motor mensejejerkan lajunya denganku. Helmnya kebesaran, badannya kurus.
“I-iya” sahutku dengan wajah memerah, dia terkekeh.
“Bukan kau, jelek! Yang di belakang” ejeknya.
“Jelek teriak jelek kau, kau ngaca di spion! Kau tuh muka macam Simpanse lagi beranak! Sok sok mau nyagil cewek di belakangku. Belagu kau!”
“Sudah jelek galak pulak, dikasih yang kayak kau tuh mano mau aku!” katanya meludah. [mana]
“Bekicot nih, pegi kau! Dak tu, kutumbur!” ancamku sesekali mengalihkan stang motor yang kupegang ke arahnya. [Pergi kau! Kalau tidak, aku tabrak!]
“Aissh.. Bidadari, aku duluan ya” melempar kiss bye ke Lusi lalu mengebut sangat cepat sampai hilang di tikungan depan.
“Awas kau kalo ketemu lagi” teriakku mengikuti arah angin yang dia tinggalkan.
Lusi tertawa.
Begitulah, semarah-marahnya dengan Lusi, aku takkan membiarkan ada orang yang mengganggunya, Lusi tau itu mangkanya ketawa. Karena kami sudah hidup bersama sejak sama-sama belum bisa jalan. Sebagai dara asli Jawa yang tinggal di Sumatera, entah kenapa aku merasa kental sekali dengan dialek tegas ala orang Medan dengan bahasa Jambi dan Padang yang berakhir O gitu.
Sejak sekolah, Lusi adalah orang yang paling sering diganggu, lelaki ataupun perempuan sama saja. Pernah saat masih SD sedang jam istirahat. Aku berdiri di depan pintu kelas memerhatikan kantin dan sangat lapar, alasanku belum ke sana adalah Lusi.
Setiap istirahat dia takkan meninggalkan mejanya dalam keadaan berantakan, dia akan susun semua di tas dengan urutan LKS, buku paket, buku tulis dan pena di laci depan. Dalam waktu menjalankan kebiasaannya itu kulihat Raka—teman sekelas yang sangat kurus—sudah mengambil piring nasi goreng yang kedua.
Aku menoleh ke Lusi, dia sudah dikerumuni semua siswa satu angkatan kami kecuali Raka. Ada satu yang mengajaknya ngobrol,
“Lusi suka waran hijau ?” tanyanya
“Enggak, sukanya biru.”
“Lusi makan di kantin ?”
“Iya.”
“Lusi makan nasi ?”
Sungguh pertanyaan yang terakhir itu membuaku geram sekali, tentu saja Lusi akan makan nasi di kantin, tak mungkin makan rumput di got. Dan yang lebih-lebih mengesalkan lagi, Lusi mau menjawab pertanyaan tak bermutu dari siswa yang kurasa memiliki IQ di bawah rata-rata itu. Kuambil balok bekas patahan kursi di dekat pintu dan menghampiri kerumunan itu.
“Awas kelian!” kataku menokok balok ke meja, beberapa terkejut dan memberi jalan.
“Kau ini ke sekolah mau ngapain? Masak dak tau kalo istirahat itu singkat dan nih anak harus makan?!” tanyaku ke siswa tak bermutu di samping Lusi
“Apa masalah kau, Hah?” katanya meninjit, dia sedikit lebih pendek dariku.
“Masalah lah, aku sepupunya” tegasku menunjuknya dengan balok.
“Cewek be kau ya, Lusi aku ke kantin duluan” katanya sedikit mundur [Cewek saja kamu ya,]
“Kantin-kantin, awas kalo aku ketemu salah satu dari kelian di kantin!! Kumakan nanti, tengoklah!” perintahku yang sebenarnya takut kehabisan nasi di kantin. [Lihatlah!!]
“Demi Lusi bae ni” katanya menunjukku “ayo cabut” ajaknya ke yang lain. [Saja]
“Demi Lusi? Pengecut kau!” teriakku
Betul sekali, tak ada satupun dari mereka ke kantin, langsung hilang saja entah ke mana. Mungkin bersembunyi di kolong gedung sekolah sangking takutnya.
Itu hanya satu hari yang kuceritakan saat Lusi sudah sekolah. Belum terhitung sama sekali dengan hari-hari lainnya yang tercakup 12 tahun jenjang pendidikan yang sudah kami geluti bersama. Tahun-tahun pembentukan karakterku yang gagal.
Kembali ke cerita awal, akhirnya aku dan Lusi sampai di Minimarket. Kuparkirkan motor agak dekat dengan pintu masuk mengambil keranjang di dekat kasir sebelah kanan dan mulai berkeliling.
Ia sangat girang di Minimarket seperti tepung dan gula adalah pacar LDR-nya yang akhirnya ketemu. Kubiarkan saja begitu, kadang seseorang yang cantik dan hampir sempurna sekalipun tetap saja punya kekurangan.
“Dea ?” panggilnya,
“Sudah?” tanyaku,
“Belanjanya sudah tapi aku pengen ke lantai dua, liat-liat,”
“Yaudah, sini belanjaannya biar aku bayar ke kasir, aku malas ke atas, nanti kutunggu di parkiran,”
“Oh? Oke,” katanya berlari setelah menyodorkan semua belanjaan.
Aku berjalan ke kasir perlahan, mengamati sudut demi sudut Minimarket. Sangat sepi dan jam menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Setelah membayar ke kasir kusangkutkan semua belanjaan di motor dan menunggu Lusi di parkiran.
Tadi sebelum masuk ke Minimarket ada lima motor yang parkir dan sekarang tinggal dua, kuharap yang lainnya benar-benar dibawa oleh sang pemilik bukannya hilang dicuri.
Kuperhatikan langit malam yang gelap, bulannya belum sempurna masih cembung dan bintang tak terlalu banyak, sempat kuhitung, tapi aku menyerah karena ada saja bintang baru yang tak terlalu terang muncul.
Kupalingkan wajah ke sebrang jalan, counter handphone itu sudah ditutup penjaga toko dengan gembok. Setelah itu penjaga toko yang seorang wanita itu memasukkan kunci ke tasnya sambil berjalan ke pinggir jalan menghampiri lelaki yang masih tak mau turun dari motornya sedari tadi, wanita itu girang menyapanya dan si lelaki hanya diam saja membuka jaket dan memberikan ke si wanita. Lalu boncengan berdua menembus cuaca dingin yang sudah sepi.
“Dea ?” panggil Lusi,
“Hm ?” aku menatapnya “lama banget” protesku,
“Iya, tadi bingung mau beli pena. Oh iya, ini buat kamu,”
“Kau tidak kasihan apa sama karyawan itu, dia seharusnya sudah pulang dari tadi” kataku menunjuk dua pramuniaga dan seorang kasir yang langsung menutup Minimarket “dan ini apa? Coba kau itu kalo mau beliin aku yang bisa di makan kek,” lanjutku,
“Iih! Kalo bisa dimakan nanti enggak bisa disimpan lama, agenda ini hadiah kelulusan buat kamu, Dea” katanya
“Kenapa tak beliin aku jepit atau bando aja?”
“Kan kamu udah punya banyak, Dea. Kamu simpan agenda dan aku simpan penanya. Kita couple-an!” teriaknya girang,
“Jijik aku dengan kau, Lusi! Ayo naik, kita langsung pulang aja,” kataku langsung mengengkol motor.
Kami berdua memang baru lulus sekolah menengah atas tiga hari yang lalu, sebenarnya aku agak shock bisa lulus karna guru-guru bilang itu adalah hal sulit, mengingat aku selalu mengumpulkan buku kosong untuk tugas catatan masing-masing mapel selama tiga tahun.
Bukannya sombong dan diskriminatif atas orang-orang yang hobi nyatat pelajaran supaya nilai catatannya tinggi, tapi menurutku hanya catatan amal baik si Rakib dan catatan amal buruk si Atid yang penting.
Kami sampai di rumah sekitar jam sebelas lewat. Lusi membereskan belanjaannya ke dapur dan aku langsung tidur.
***
28
Sejak kecil aku tinggal dengan Lusi dan kedua orang tuanya yaitu Paman dan Bibiku. Rumah yang kami tempati terletak di pinggiran kota yang belakangnya adalah payo-payo yaitu tanah berlumpur dan ditumbuhi keladi talas dan kangkung basah, depannya adalah hutan yang tak terlihat ujungnya sejauh mataku memandang. Meski begitu aku tetap bertahan karena mereka bertiga sangat baik.
Paman adalah guru sejarah SMP, jujur aku benci pekerjaannya. Setiap hari-hari tertentu ada saja siswanya datang ke rumah, yang paling parah pernah datang pukul setengah 6 pagi untuk mengempeskan ban motor Paman karena hari itu ada ulangan sejarah. Dengan kesal kulemparkan siswa tak tau diri itu ke payo-payo belakang supaya digigitin lintah sampai kering.
Siswa yang sok jagoan itu menangis lalu mengadu ke orang tuanya dan Paman jadi sangat marah padaku sampai menghukumku mencuci motornya. Kutandai wajah siswa itu sampai sekarang seandainya ketemu di jalan dia takkan kuberi ampun.
Bibi adalah wanita paruh baya yang masih sangat cantik dan sehat terutama ketika..
“Lusi.. Dea mana ?” teriak bibi... berteriak mencariku!
“Bertapa, Ma!” seperti yang dilakukan Sung Go Kong!
“Berak dia?”
“Bukan, Ma. Berjemur di luar”
“Dia itu dari kecil kalo bangun pagi selalu berjemur, lihat badannya hampir menyamai pantat panci Mamak!”
“Bi.. aku dengar” teriakku dari depan, sekarang aku sedang duduk di teras, tepatnya menghadap barat rumah ini mengincar cahaya kota, tiga langkah ke timur sudah jadi bagian kabupaten.
“Maaf, Dea” suara Bibi menyesal,
“Hm” jawabku yang mungkin tak kedengaran.
Bibi dan Lusi sekarang sedang masak, mereka sepertinya biasa saja dengan minyak goreng panas yang melentik-lentik itu.
“Dea, sini!” teriak Lusi dari dalam, akupun langsung masuk,
“Udah mandi, Lus ?” tanyaku mengambil tempe goreng dari piring di tangan Bibi,
“Udah, hari ini kita ke pasar,”
“Ya Allah, Lusi! Semalam kan kita baru ke Minimarket?”
“Iihh! Dea, kamu itu dikit-dikit ngadu Allah terus,”
“Ya begemana, orangtua aku kan enggak ada, masak aku ngadu orangtua kau, pasti dia belain kaulah. Cuman Allah yang maha adil, Lus” kataku sok bijak,
“Dea” tegur bibi mendengar kata-kataku “Bibi semalam enggak tau kalian ke Minimarket, kalian juga perginya diam-diam” lanjut Bibi yang membuat aku menjelit ke Lusi.
“Kenapa enggak bibi aja yang ke pasar sama Lusi?” saranku,
“Tetangga kita mau yasinan, Dea, Bibi mau bantu-bantu di sana. Kalo kamu enggak mau ya enggak papa, palingan entar malam kita enggak usah makan,”
“Hem iya iya, aku temenin si Lusi. Aku ambil jaket dulu.”
“Enggak mandi, Dea ?” tanya Lusi
“Malas, malas,” jawabku menjauh.
Setelah menggunakan jaket dan bando berwarna pink fanta dengan bunga tulip besar di sebelah kirinya, aku mengampiri Bibi lagi, minta uang dan daftar belanjaan. Lalu menyuruh Lusi memakai helmku dengan alasan...
“Jika aku yang pakai, nanti malah miring” menunjuk bando, dia mengangguk padahal aku tak ingin ada orang yang mensejejerkan motorku lagi untuk mengganggu Lusi.
Lusi itu hidupnya hanya berbatas hitam, putih, abu-abu, pokoknya polos tak suka neko-neko. Meskipun ramah, sebenarnya ia tak suka sekali diganggu, sayangnya terlalu banyak orang yang mau mengganggunya.
Aku dan Lusi melaju cukup cepat, melewati Minimarket yang semalam, dan sekitar 5 lampu merah baru sampai di pasar. Wajar saja karena rumah yang kami tinggali berada di pinggir kota dan pasar berada di pinggir kota satunya.
Kenapa Lusi tak ke pasar sendiri saja padahal sudah besar? Jawabannya, adalah karena dia tidak bisa nawar, jika ada penjual di pasar yang menjual wortel dengan harga 20.000 dia pasti akan langsung beli saja, beda denganku yang akan menawar terus sampai si penjual melempar dagangannya dan kutangkap lalu bersorak ‘Yes, gratis!’
Setelah puas berkeliling dan menenteng dua kresek penuh belanjaan serta dua bungkus cendol yang dibeli dari sisa uang yang diberi Bibi, kami pulang. Sekitar jam satu baru sampai di rumah.
Lusi membereskan semua belanjaan ke dapur lalu pergi ke rumah tetangga yang bakal ada acara itu buat bantu-bantu dengan sebungkus cendol di tangannya.
***
Jam 15.00
Aku sedang menonton melodrama korea sambil baring di sofa, saat sadar jika Bibi sudah pulang.
“Dea! Ini kalo sudah makan cendol plastiknya dibuang!” teriak si Bibi memungut bungkus cendol di lantai, aku langsung duduk.
“Iya, Bi. Tadi mau dibuang tapi lupa,” sahutku
“Kamu itu ya @#$%^&^*((&%%$$%$$^#@%”
Bibi marah tapi aku tak terlalu dengar, mungkin dia capek jadi agak emosi, kumatikan TV dan berjalan ke kamar untuk tidur. Lusi mengikutiku dari belakang. Aku duduk dipinggir ranjang dan dia menutup pintu kamar dan mengganjalnya dengan kursi yang akan dia duduki.
“Kenapa, Lusi? Aku mau tidur jangan belanja lagi deh” pintaku langsung berbaring,
“Aku putus sama Toni, Dea” kata Lusi dan langsung nangis,
Aku duduk menghadapnya meski masih di atas ranjang “Kok bisa?”
“Dia bilang, aku enggak pantas buat dia,”
“Bagus deh, dia sadar, muka jelek gitu mau pacaran dengan kau yang cantik gini,”
“Dia bilang aku murahan” lanjut Lusi menangis lagi,
“Dasar tuh cowok mulut macam buntut sapi dak bisa di-rem! Awas kau! Biak kuhabisi dulu tuh, Bocah sialan!” kataku langsung berdiri dan menyuruh Lusi menyingkir dari pintu,
“Dak usah, Dea” tangan Lusi menahanku “dia benar”
“Aneh kau nih, Lus! Kau tuh dibilangain murahan malah masih belain dia?!” kataku marah dan menghempaskan tangannya untuk kembali duduk di pinggir ranjang
“Aku selalu balas pesan singkat dari semua laki-laki, aku juga selalu biasa aja ada lelaki yang duduk disampingku, aku juga sering telponan dengan banyak lelaki sampai larut malam. Kukira itu biasa, tapi ternyata itu buat aku terlihat murahan, Dea” menyeka air mata di pipi,
“Ah! Serah kau lah!” kataku kembali berbaring dan menutup wajah dengan bantal.
Setelah memastikan matanya kering, Lusi keluar dari kamarku, aku langsung duduk dan merasa geram sekali. Ingin rasanya menghajar habis si Toni ceking itu!
Tapi aku sadar, kalo dari kecil sampai sebesar ini otak Lusi jauh lebih bagus dari otakku, Lusi sudah bilang dak usah dan itu bukanlah hal yang hanya keluar tanpa dipikirkannya sama sekali. Terutama jika mengingat sebelum bicara denganku ia sudah mengganjal pintu dengan kursi dan dirinya sendiri.
Malamnya Paman dan Bibi pergi ke tempat tetangga yang menggelar acara, aku masih di kamar dan Lusi menghampiriku lagi. Dia seperti mencari-cari dan matanya berhenti di pojok ruangan tempat kursi yang tadi didudukinya dan sudah kupatahkan sangking geramnya.
Akhirnya lusi duduk di pinggir ranjang, saat itu aku sedang berbaring dengan bantal di wajahku.
“Dea, kamu marah ya?” tanya lusi
“Tau?!”
“Dea, jangan marah-marah dong, aku enggak lama lagi di sini”
Kulempar bantal yang tadinya diwajahku ke punggungnya
“Jangan aneh-aneh!” kataku
“Aku mau pergi jauh, Dea.”
Aku duduk dan memukul kepalanya dari belakang,
“Awas aja kalo kau pergi ke jembatan buat loncat!!” ancamku, Lusi memelukku erat sebentar
“Bukan pergi yang kayak gitu, Dea. Kitakan sudah tamat dan aku belum mau kuliah. Kita sudah sekolah selama 12 tahun dan kurasa itu membosankan untuk menjadi seseorang yang diiriin banyak teman”
“Trus?”
“Ada pesantren sekaligus asrama di pulau jawa yang sudah kuminati sejak kelas sepuluh, aku pengen belajar hidup, Dea, supaya enggak murahan lagi,”
“Bibi sama Paman tau?”
“Mama tau, tapi Papa belum,” Lusi tertawa dan mengajakku keluar buat makan bareng,
Tak ada hal aneh dari Lusi ketika kulihat dia kembali riang setelah menangis tadi sore, karena Lusi adalah wanita pintar dan aku tak main-main akan itu. Untuk apa terus menangis padahal mantannya—si Toni itu—baru saja meng-upload foto dengan seorang wanita dengan caption ‘This is my new darling’.
Jika boleh suuzon kurasa sebelum putus, Toni sudah dekat dengan wanita ini, jadi tepatnya dia selingkuh. Dan malam ini kuikrarkan kalo suatu saat nanti akan kubuat dua federasi;
Anti cowok-cowok jahat,brengsek dan hobi selingkuh
Anti selingkuhan, perusak hubungan orang, kecoak terbang dan sejenisnya
Ingatkan aku jika sukses dan jika lupa.
***
29
Saat kubilang pamanku adalah guru sejarah, itu mencakup juga penjelasan ia adalah sejarawan sejati. Paman suka tempat yang sunyi, mangkanya membangun rumah di pinggir kota
‘Aku benci sekali bunyi knalpot besar yang gampang terdengar di tengah kota!’ katanya di suatu kesempatan.
Rumah ini juga banyak lukisan pahlawan tapi, yang paling berkesan adalah meja makan berbentuk bulat ini
‘Supaya kalian selalu ingat tentang konferensi meja bundar’ katanya lagi waktu itu dan kurasa setelah indonesia, aku dan Lusi akan jadi bahan diskusi KMB 2 versi ngada-ngada.
Bibi berada di dapur menyimpan semua sarapan pagi ini, Paman duduk di antara aku dan Lusi di meja makan.
“Jadi kau ingin tinggal di asrama pesantren?” tanya Paman
“Iya, sudah kupikirkan,” kata Lusi
“Hem.. baiklah. Satu tahun ini kuberikan kalian berdua kebebasan, dan kau, Dea?”
“A-aku juga enggak mau kuliah,” kataku kikuk
Sebenarnya semalaman aku memikirkan itu, jika ditanya harus jawab apa. Tapi sudah kuputuskan lebih baik satu tahun ini kucari dulu jalan hidupku.
Paman ketawa
“Biasa aja, Dea. Kok jadi gaguk?” kata paman retoris.
“Hehe.. Aku pingin kerja aja dulu, Paman. Tapi aku pengen pindah ke rumahku satu tahun ini. Mau belajar hidup,” kataku melirik ke Lusi
Paman diam.
Meski tinggal dengan paman sejak kecil, aku memiliki rumah sendiri sebenarnya, diwariskan oleh Nandito dan Desi. Bertempat di tengah kota dan sudah 17 tahun tak ada yang menempati.
“Kau tak papa, Dea?” tanya Paman,
“Tak apa, Paman. Aku pingin tes hidup sendiri,”
“Yasudah,”
Paman mengayunkan tangannya seperti memanggil Bibi untuk membawa makanan ke meja, kami sudah bisa sarapan artinya.
Sarapan kali ini begitu cepat bagiku, bukan karena makanannya sedikit, tapi mungkin karena sebentar lagi aku tak bisa merasakan hal yang beginian. Paman dan Bibi sudah sangat baik mau mengurusku dari kecil sekali tapi mau bagaimanapun baiknya, mereka adalah orangtua Lusi yang tak mungkin aku miliki dan aku bukan orang yang ingin memanfaatkan situasi memiliki karna Lusi pergi. Oleh karna itu lebih baik aku juga pergi.
***