Loading...
Logo TinLit
Read Story - Memento Merapi
MENU
About Us  

Alunan musik pop-rock dari radio terdengar lirih, terkalahkan oleh bunyi kipas angin di langit-langit ruangan bujur sangkar dengan panjang sisi tiga meter itu. Seorang pria muda berdiri di tengah ruangan, di antara meja dan etalase serta sebuah mesin fotokopi yang derunya juga makin melenyapkan suara radio. Pria berusia genap dua lusin itu mendongak sedikit ketika ada bunyi pintu ditutup.

“Haduh, untung jalanan udah nggak macet kayak kemarin,” keluh wanita yang baru datang itu, kepalanya terbungkus helm. “Panas banget di luar.” Dia melepas helm lalu mengibaskan rambutnya yang pendek model bob.

“Macet apa yang kemarin?”

“Itu, lho, lomba foto di Monumen Pers. Kayak ada kirab ulang tahun warga keraton aja.”

“Oh, iya ding, sempet lihat di tivi kemarin,” sahut si pria yang masih menekuni kertas-kertas yang akan difotokopi itu. “Ya untung udah nggak macet. Oiya, Vi, liburan besok jadi, ‘kan?”

“Jadi apa, ya, Lang?” Si wanita meletakkan helm itu ke bagian atas rak di sebelah mesin fotokopi kemudian menatap ke dalam cermin di sampingnya. Rak itu, berikut cerminnya, memang diatur pada ketinggian yang pas untuk diakses oleh sang wanita yang tubuhnya agak gemuk dan tak terlalu tinggi. Wajahnya yang bulat tampak kemerahan sehabis berkendara motor di cuaca sepanas siang itu.

“Pandu sama temen-temennya itu, lho. Katanya mereka mau ikut ke Merapi habis ujian,” sahut si pria. Kebalikan dengan Via alias Alviani Raharjo, Gilang Sudibyo berpostur tinggi kurus.

“Hari ini ujian SMA selesai, ‘kan?” tambah Gilang.

“Oh, iya! Untung kamu ingetin, Lang. Aku belum tanya sama si Pandu, sih. Kemarin-kemarin, nggak berani tanya, takut ganggu konsentrasinya. Sekarang, mestinya dia lagi jalan sama gengnya, tuh.” Via bicara sambil mengeluarkan ponselnya, hendak mengirim pesan pada sang adik.

“Hmmm,” sahut Gilang singkat sembari memencet sebuah tombol di mesin fotokopi. Kertas tersedot masuk dan keluar, disusul lembar-lembar duplikatnya.

Usaha fotokopi dan jualan alat tulis di kios kecil dekat sekolah adalah rintisan Gilang yang sekarang digelutinya bertiga dengan Via dan seorang lagi kawannya, Denny. Namun, hari ini, Denny nggak masuk kerja karena sakit. Katanya, sih, cuma sakit perut, dan Denny sudah minta supaya Gilang atau Via nggak perlu repot-repot menjenguknya.

Setelah sama-sama lulus dari Universitas Sebelas Maret alias UNS setahun yang lalu, Gilang yang anak manajemen berniat membuka usaha sendiri. Diseretnya kekasihnya, Via, yang sarjana akuntansi dan sahabatnya, Denny, lulusan teknik elektro untuk bergabung. Mereka bertiga sudah berteman sejak SD dan rupanya sampai universitas pun mereka selalu satu institusi.

Via masih sibuk dengan ponselnya saat Gilang bicara lagi,

“Si Santika tanggal dua puluhan besok juga mau ke Merapi, lho.”

“Apa iya?” Via berhenti mengetik. “Wah, bisa sekalian reuni, nih.”

*

Merapi; gunung berapi setinggi hampir tiga ribu meter yang masih aktif dan terletak di perbatasan provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, diapit empat kabupaten besar: Sleman, Magelang, Boyolali, dan Klaten.

Keluarga Gilang tinggal di lereng gunung tersebut, tepatnya di Kabupaten Magelang. Pemuda itu sendiri, yang menuntut ilmu ke Solo, pulang ke sana setiap Lebaran dan libur semester. Kini, setelah lulus, ia bisa lebih sering menemui keluarganya.

Akhir April nanti, Gilang mengajak Via menginap di rumahnya—orang tua Gilang sudah pernah bertemu dengan wanita itu dan merestui hubungan mereka. Ini akan menjadi yang ketiga kalinya Via datang dan menginap di sana.

Waktu mendengar sang kakak akan berlibur ke lereng Merapi, Pandu langsung bilang bahwa dia ingin ikut. Mau nostalgia, katanya. Pasalnya, saat kelas 3 SMP, Pandu pernah live in di lereng Merapi sisi barat, wilayah Kabupaten Magelang juga. Acara sekolah.

Kegiatan itu sangat berkesan bagi Pandu yang waktu itu berusia empat belas tahun. Di rumah, ia banyak bercerita tentang keluarga angkatnya di sana, bagaimana alamnya, aktivitas orang-orangnya, bahkan Pandu membawa pulang buah cabai dan salak dalam jumlah yang cukup buat orang se-RT. Betapa tulus dan murah hatinya penduduk lereng Merapi! Dan kini, mumpung ada kesempatan di depan mata, Pandu ingin mengunjungi keluarga lamanya di Merapi.

Lebih dari tiga tahun telah berlalu sejak waktu itu, bahkan Merapi sudah pernah meletus satu kali—sepuluh bulan setelah kegiatan live in—yakni tanggal 26 Oktober 2010. Di masa-masa bencana itu, Pandu menjadi orang pertama yang nongkrong di depan televisi di pagi hari demi menonton berita tentang Merapi. Untungnya, Lor Senowo, wilayah tempat keluarga angkatnya tinggal, termasuk daerah yang paling belakangan terkena erupsi. Seluruh warganya sudah sempat mengungsi sebelum daerah itu disapu lahar dan awan panas meski status Merapi berubah cepat dari Siaga menjadi Awas dalam empat hari.

*

Waktu mendengar Pandu bakal liburan ke Merapi, Angga dengan antusias bilang bahwa dia juga ingin ikut. Mau uji nyali, katanya.

“Uji nyali?” ulang Gita dengan nada mencemooh. Saat itu, masih dua minggu menjelang Ujian Nasional dan mereka mengagendakan belajar bahasa Inggris bareng di rumah cewek itu.

“Di sana, ‘kan, ada rumahnya almarhum Mbah Maridjan,” sahut Angga bersemangat, menyebut nama pria sepuh juru kunci Merapi yang sempat tenar beberapa tahun sebelumnya—lebih karena beliau bersikukuh untuk tinggal dan menjaga lereng Merapi saat erupsi mulai melanda, dan meninggal karenanya.

“Aneh-aneh aja,” komentar Reni, datar tapi tajam.

“Lagian Merapi, ‘kan, terkenal angker di Pulau Jawa. Nggak ada salahnya kalau kita coba sesuatu yang baru buat liburan, ‘kan?” ujar Angga, mengingat sebuah artikel tentang Gunung Merapi yang pernah dibacanya di internet.

“Masih banyak tempat lain untuk liburan, kali,” cela Gita.

“Aa, aku tau!” Pikiran jahil Angga yang muncul karena ketularan Pandu bekerja tanpa bisa dicegah. “Kalian pasti pada takut ke sana, ‘kan?” ujarnya sambil nyengir. “Dasar cewek-cewek, penakut!”

Gita dan Reni tentu saja tak terima.

“Nggak! Aku nggak takut!” sergah Gita cepat.

“Kami berdua ikut,” timpal Reni dengan dagu terangkat.

Dan pada akhirnya, Via terpaksa ngomong ke Gilang bahwa bakal ada tiga tamu tambahan yang menginap di rumah keluarga pemuda itu.

“Waduh,” gumam Gilang seraya menggaruk kepalanya meski sebetulnya tak gatal. “Sebetulnya bisa sih Vi, cuma ....”

“Kalau emang nggak bisa ya udah, Lang,” ujar Via sambil melempar pandang menegur ke arah Pandu. Yang dipandang cuma mengangkat bahu sambil balas memandang kakaknya, dengan sinar mata ini-bukan-salahku.

“Hmm, kayaknya bisa diatur,” gumam Gilang, “tapi, kalian nginapnya di rumah kakeknya Mas, jadi beda tempat sama Mbak Via.”

Senyum Pandu merekah. “Beneran nih, Mas?”

“Iya. Nanti kalian yang sopan di sana, ya. Sama harus bantu-bantu juga.”

“Sip, deh. Makasih, Mas Gilang!”

Jadilah liburan di Merapi (baca: uji nyali) masuk agenda kedua pascaujian geng AGRIPA setelah karaoke. Percakapan dunia maya pun mewarnai persiapan keempat remaja itu.

Angga_Nugraha: Geng, menurut kalian, aku perlu bawa sarung nggak?

Pandu Holmes: Kenapa nggak bawa selimut aja? Lereng Merapi tuh dingin banget, Bro.

gitaamelia: aku mau bawa sweater rajutku.

Angga_Nugraha: Nggak sekalian teddy bear kamu yang segede orang itu, git? Biar bobok nyenyak, hihi.

gitaamelia: apaan sih ngga, bilang aja kamu yang ga bisa tidur kalau ga ada tuh sarung bau!

Angga_Nugraha: Jahaaat. Padahal maksudku baik loh git.

gitaamelia: emangnya aku anak kecil?

Angga_Nugraha: Iiih, lha, siapa juga yang dulu bilang minta kado ke ortu boneka teddy bear buat suwit 17?

gitaamelia: beda kasus lah itu. kan dari ortu.

Angga_Nugraha: Saking ga ada pacar, minta kadonya ke ortu ya~

gitaamelia: ANGGA

Pandu Holmes: Hei, sudah, sudah.

gitaamelia: TAK TIMPUK KAMU

Pandu Holmes: Nanti aku panggilin PBB

gitaamelia: PAKE TEDDY BEAR SEGEDE ORANG!

Pandu Holmes: Cuy, panggil PBB ke sini

gitaamelia: BIAR MAMPUS!

Pandu Holmes: Tolong ... hampir pecah perang dunia keempat.

Reni_kr: Woi woi ... kalian berisik banget sih!!!

Reni_kr: BTW. Perang dunia baru dua kali, Ndu.

Pandu Holmes: Eh iya. Maksudnya hampir pecah perang dunia ketiga.

Angga_Nugraha: Kalo perang dunia keempat mah di dunianya naruto, iya kan ndu?

gitaamelia: jangan ngalihin pembicaraan woey :(

Angga_Nugraha: Aku rapopo kalo kamu timpuk pake benda empuk begitu git. Geli-geli empuk.

gitaamelia: ga jadi ah, kan sayang

Angga_Nugraha: Sayang gimana git maksudnya? ;D

gitaamelia: sayang teddy bear nya lah! ntar rusak setelah menghantam badanmu yang penuh lemak.

Reni_kr: Aish, tadi lagi ngomongin penghangat badan, kok nyampe teddy bear ki piye tho?!

Angga_Nugraha: TT_TT hueee >o<

Angga_Nugraha: Badanku ini penuh lemak tapi seksi, tau! Kayak Chris Hemsworth!

gitaamelia: mana ada! kalo yang itu bukan lemak, tapi otot!

Pandu tertawa-tawa di kamarnya membacai obrolan absurd di grup Facebook Messenger AGRIPA untuk persiapan liburan. Di lantai di hadapannya terbuka sebuah koper yang separuh terisi pakaian.

“Ndu, celana jinsmu ada yang masih di jemuran. Mau kamu bawa?” Via menjengukkan kepala ke kamar.

“Iya, Mbak. Nanti malam aku ambil.” Pandu menjawab, masih nyengir sisa membaca kekonyolan grup AGRIPA.

“Bawa baju anget, sama obat jangan lupa.”

Pandu mengangguk singkat, cengirannya memudar sedikit. Dia menatap wajah serius kakaknya yang melangkah masuk. Pasti setelah ini ...

“... jangan lupa bilang ke Mama lagi, ya.”

Pandu mengulum senyum penuh arti. “Siap, Mbak.” Tiba-tiba dia teringat sesuatu. “Mbak Via, besok pagi-pagi ingetin lagi, ya, buat beli oleh-oleh!”

Via mengangkat alis. “Kamu serius mau ngasih oleh-oleh serabi?”

“Dua rius, Mbak.” Cengiran Pandu kembali.

“Nggak roti kecik aja, yang lebih awet?”

“Roti kecik, ‘kan, keras. Yang mau dikasih sudah orang tua. Nanti kalau nggak bisa nggigitnya, gimana?”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Potongan kertas
921      479     3     
Fan Fiction
"Apa sih perasaan ha?!" "Banyak lah. Perasaan terhadap diri sendiri, terhadap orang tua, terhadap orang, termasuk terhadap lo Nayya." Sejak saat itu, Dhala tidak pernah dan tidak ingin membuka hati untuk siapapun. Katanya sih, susah muve on, hha, memang, gegayaan sekali dia seperti anak muda. Memang anak muda, lebih tepatnya remaja yang terus dikejar untuk dewasa, tanpa adanya perhatian or...
SEMPENA
4127      1327     0     
Fantasy
Menceritakan tentang seorang anak bernama Sempena yang harus meraih harapan dengan sihir-sihir serta keajaiban. Pada akhir cerita kalian akan dikejutkan atas semua perjalanan Sempena ini
Manuskrip Tanda Tanya
5550      1693     1     
Romance
Setelah berhasil menerbitkan karya terbaru dari Bara Adiguna yang melejit di pasaran, Katya merasa dirinya berada di atas angin; kebanggaan tersendiri yang mampu membawa kesuksesan seorang pengarang melalui karya yang diasuh sedemikian rupa agar menjadi sempurna. Sayangnya, rasa gembira itu mendadak berubah menjadi serba salah ketika Bu Maya menugaskan Katya untuk mengurus tulisan pengarang t...
The Boy Between the Pages
1316      835     0     
Romance
Aruna Kanissa, mahasiswi pemalu jurusan pendidikan Bahasa Inggris, tak pernah benar-benar ingin menjadi guru. Mimpinya adalah menulis buku anak-anak. Dunia nyatanya membosankan, kecuali saat ia berada di perpustakaantempat di mana ia pertama kali jatuh cinta, lewat surat-surat rahasia yang ia temukan tersembunyi dalam buku Anne of Green Gables. Tapi sang penulis surat menghilang begitu saja, meni...
The Killing Pendant
2947      1201     2     
Mystery
Di Grove Ridge University yang bereputasi tinggi dan terkenal ke seluruh penjuru kota Cresthill, tidak ada yang bisa membayangkan bahwa kriminalitas sesepele penyebaran kunci jawaban ujian akan terjadi di kelas angkatan seorang gadis dengan tingkat keingintahuan luar biasa terhadap segala sesuatu di sekitarnya, Ophelia Wood. Ia pun ditugaskan untuk mencari tahu siapa pelaku di balik semua itu, ke...
Untuk Takdir dan Kehidupan Yang Seolah Mengancam
769      522     0     
Romance
Untuk takdir dan kehidupan yang seolah mengancam. Aku berdiri, tegak menatap ke arah langit yang awalnya biru lalu jadi kelabu. Ini kehidupanku, yang Tuhan berikan padaku, bukan, bukan diberikan tetapi dititipkan. Aku tahu. Juga, warna kelabu yang kau selipkan pada setiap langkah yang kuambil. Di balik gorden yang tadinya aku kira emas, ternyata lebih gelap dari perunggu. Afeksi yang kautuju...
Kare To Kanojo
6419      1731     1     
Romance
Moza tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah setelah menginjak Negara Matahari ini. Bertemu dengan banyak orang, membuatnya mulai mau berpikir lebih dewasa dan menerima keadaan. Perbedaan budaya dan bahasa menjadi tantangan tersendiri bagi Moza. Apalagi dia harus dihadapkan dengan perselisihan antara teman sebangsa, dan juga cinta yang tiba-tiba bersemayam di hatinya. DI tengah-tengah perjua...
Gray November
3759      1296     16     
Romance
Dorothea dan Marjorie tidak pernah menyangka status 'teman sekadar kenal' saat mereka berada di SMA berubah seratus delapan puluh derajat di masa sekarang. Keduanya kini menjadi pelatih tari di suatu sanggar yang sama. Marjorie, perempuan yang menolak pengakuan sahabatnya di SMA, Joshua, sedangkan Dorothea adalah perempuan yang langsung menerima Joshua sebagai kekasih saat acara kelulusan berlang...
The Black Envelope
2854      1021     2     
Mystery
Berawal dari kecelakaan sepuluh tahun silam. Menyeret sembilan orang yang saling berkaitan untuk membayarkan apa yang mereka perbuatan. Nyawa, dendam, air mata, pengorbanan dan kekecewaan harus mereka bayar lunas.
Renata Keyla
6752      1565     3     
Romance
[ON GOING] "Lo gak percaya sama gue?" "Kenapa gue harus percaya sama lo kalo lo cuma bisa omong kosong kaya gini! Gue benci sama lo, Vin!" "Lo benci gue?" "Iya, kenapa? Marah?!" "Lo bakalan nyesel udah ngomong kaya gitu ke gue, Natt." "Haruskah gue nyesel? Setelah lihat kelakuan asli lo yang kaya gini? Yang bisanya cuma ng...