Sampai di rumah, Nilam kembali mengamati sekeliling. Semua tampak normal dan cukup akrab di benak Nilam. Tidak ada yang aneh. Semua bisa dipahami Nilam dengan mudah. Sejurus kemudian, Nilam bertanya-tanya, Ada enggak ya, yang masih terlupa dari semua ini? Pacar! Ya, ampun! Apa benar aku enggak punya pacar?
Bergegas Nilam masuk kamar. Setelah mandi, dia mulai menginspeksi barang-barang dengan lebih teliti. Siapa tahu, ada petunjuk tentang seseorang yang sudah berstatus pacar bagi Nilam. Tidak ada foto, tidak ada nama, tidak ada barang laki-laki atau benda-benda manis yang mungkin merupakan hadiah dari seorang pacar.
Hem, surat? tanya Nilam dalam hati. Dia pun membuka satu per satu lembaran buku-buku di meja belajarnya. Barang kali ada yang terselip di sana. Hasilnya, nihil! Kayanya aku harus nunggu sampai malam Minggu, deh. Kalau memang enggak ada cowok yang datang, fix aku memang enggak punya pacar.
***
Setiap hari, Nilam jadi semakin tampak paranoid. Dia suka mengamati diam-diam para lelaki di sekitarnya, di sekolah dan sekitar rumah. Apakah ada yang memiliki perhatian lebih padanya? Siapa yang paling sering mengajaknya mengobrol? Adakah cowok yang suka memandanginya?
Namun, Nilam benar-benar tak mendapatkan petunjuk sedikit pun! Bahkan, hingga malam Minggu tiba, tidak ada satu tamu yang datang untuknya. Sepertinya, Nilam memang benar-benar tidak punya pacar.
Okey! Seenggaknya, sekarang aku lega. Jadi, aku enggak perlu khawatir lagi ada yang sakit hati gara-gara aku melupakannya, dialog Nilam dalam benak. Akan tetapi, benarkah tidak apa lelaki spesial yang sesungguhnya pernah menghuni hati Nilam?
***
Hari Minggu tiba. Sesuai jadwal mingguan yang tertulis di agenda, ini waktunya Nilam kembali bertemu dengan rekan-rekannya sesama pencinta alam di sekolah. Nilam pun bersiap-siap memilih pakaian di bagian lemari yang berbeda.
Melihat bahan dan modelnya yang lebih bagus, pasti itu adalah tumpukan baju-baju Nilam khusus untuk bepergian. Setelah seminggu Nilam hanya bertukar antara seragam sekolah dan pakaian rumah, kini waktunya mencoba gaya yang lain.
Nilam sudah menemukan setelan pilihannya. Hanya kaos abu-abu dan celana denim biru muda. Begitu menarik celana berbahan tebal dan berat itu agak keras dari tumpukannya, sekilas Nilam melihat ada sebuah buku harian terselip di bawahnya.
Diari! Aku ternyata punya diari! Ya, ampun! Kenapa aku enggak ingat ini? Aduh! Tapi, ini udah terlalu mepet waktunya buat siap-siap. Aku baca nanti, deh. Harus! seru Nilam dalam hati. Dia kaget sekaligus gembira. Satu lagi petunjuk yang mungkin bisa memberitahunya tentang sesuatu yang masih terlupa.
***
Sesampainya di sekolah, Nilam berusaha untuk terlibat penuh dengan semua kegiatan yang ada. Setelah segala rangkaian aktivitas usai, tiba-tiba ada salah satu teman Nilam yang menyeletuk, “Wah, Kak Pay! Tumben nih, bawa gitar segala. Tapi, kok dari tadi cuma dipangku doang, sih. Enggak bisa mainnya, ya?”
“Ho ho ho. Menghina kamu,” tukas Kak Pay.
“Ya, ayo dong, dimainin kalau memang bisa,” cetus teman Nilam lagi.
“Bentar. Belum dapat feel-nya,” ucap Kak Pay asal-asalan.
Nilam jadi ikut penasaran. Apa iya, Kak Pay bisa bermain gitar? Dia sukanya lagu apa, ya? bisik Nilam dalam hati. Dia pun datang menghampiri Kak Pay.
“Hai, Nilam!” sapa Kak Pay sambil mengangkat telapak tangan kanan. Nilam membalas sambil tersenyum.
“Eh, Kak Pay bisa main gitar juga, ya? Kasih liat, dong …,” pinta Nilam.
“Ha? Kamu yang nyanyi, ya? Mau lagu apa?” tanya Kak Pay.
“Enggak, ah. Kak Pay aja yang nyanyi sambil gitaran,” sahut Nilam.
“Begitu?” Setelah merenung beberapa saat, kemudian Kak Pay menjawab, “Okey!”
Senar-senar gitar pun mulai dipetik. Dentingnya mengiringi suara berat Kak Pay yang mendendangkan lagu “Kau Seputih Melati” milik Dian Permana Poetra. Setelah usai menyanyikannya, Kak Pay bertanya, “Kamu tahu lagu ini?”
“Tahu,” jawab Nilam.
“Masa, sih? Padahal, lagu ini lumayan lawas, lo. Berarti, kamu udah mulai ingat semuanya, ya? Atau, jangan-jangan, kamu punya kenangan dengan lagu ini?” tanya Kak Pay menginterogasi. Nilam jadi tercenung berusaha mengingat-ingat. Namun, dia hanya bisa mengangkat kedua bahunya.
“Oh, ya. Gimana? Kemarin malam, jadi ada yang apel, enggak?” goda Kak Pay.
“Hem, enggak ada, tuh,” jawab Nilam sambil menggeleng.
“Oh, kayanya kamu memang enggak laku, deh,” gurau Kak Pay. Nilam hanya tertawa mengiyakan.
“Atau, pacarmu itu enggak terbiasa apel malam minggu? Tapi, kebangetan juga sih, kalau sampai pacar enggak kasih kabar seminggu, ya? Nanti, kalau ada yang datang ngaku pacarmu, putusin aja, Lam! Enggak perhatian gitu,” cerocos Kak Pay tanpa rem.
Nilam hanya tertawa sambil mengedikkan bahu, “Enggak tahu, Kak. Kayanya beneran enggak punya, deh.”
Kak Cindy yang sedari tadi duduk tak jauh dari mereka, datang mencolek Kak Pay, “Jangan modus, Kak.”
“Eh, aku cuma bilang gitu. Masa modus, sih?” protes Kak Pay.
“Dari tadi bawa-bawa gitar enggak jelas tujuannya. Disuruh nyanyi, enggak nyanyi-nyanyi. Giliran Nilam yang minta aja, dikasih, deh. Mana lagunya pas banget, gitu,” goda Kak Cindy lagi.
“Duh, salah lagi kan, aku? Kamu sih, Lam. Kenapa juga tadi lewat sini? Bikin aku pingin nyanyi aja,” kelakar Kak Pay.
“Enggak usah alasan. Dari tadi juga itu ada Arka, ada Arif, enggak ada yang kamu nyanyiin,” olok Kak Cindy. Kak Pay menepuk kening. Segera saja dia memanggil Arka dan Arif agar mendekat.
“Arka, Arif, sini! Ayo, nyanyi bareng!” seru Kak Pay.
“Nyanyi apa, Kak?” tanya Arka yang lebih dulu mendekat.
“Lagu kebangsaan kita, dong!” kata Kak Pay.
Segera petikan senar gitarnya mengeluarkan nada riang. Segera saja mereka bertiga menyuarakan lagu Bujangan dari Koes Plus yang kembali naik daun, karena didaur ulang oleh anak-anaknya yang bergabung dalam grup band Junior. Nilam jadi geli melihat tingkah mereka bertiga.
Puas menikmati penampilan mereka bertiga, Nilam pun pamit pulang. Ada yang menantinya di rumah untuk menuntaskan rasa penasaran. Diary itu, apa isinya, ya? Aku jadi enggak sabar deh, pengin segera baca.
Sering kali, lupa adalah nikmat
Agar beban benak terangkat
Dari segala yang tak ingin diingat
Semoga menang ya, ceritanya unik, dan aku suka diksinya
Comment on chapter Amnesia