Febrian kerap melirik Widi dan memperhatikannya dari kaca mobil. Sesekali menatap bulat nyaris seperti mata yang telajang kehilangan kelopak matanya. Pemandangan sekitar membuat Widi lupa. Jantung Febrian berdecit-decit kencang seperti kesakitan. Widi hanya menatap keluar sedikit kosong. Wajah Febrian hanya diliputi wajah bahagia. Kami menyaksikan surga dunia sebentar, tertawa terbahak-bahak sembari menyanyi tak karuan.
Sang pengemudi tak kalah edan, dia sempat melepas kemudi sebentar dan menyanyi bak penyanyi kenamaan. Sebelahnya tak kalah lincah, Alfian mengangkat kakinya ke depan, kepalanya tak henti bergoyang, bibirnya bergumam seperti dukun yang sedang menyemburkan air sesajen, matanya menikmati lagunya, menggumam tak kenal lelah sampai berbusa hingga bibirnya kering dan dia berhenti sendiri.Dibelakang mereka berdua asyik sendiri. Ketawa-ketiwi berdua. Memiliki dunianya yang seolah terisolasi. Sepertinya mereka tak rela membagi dunianya.
Dua diantara kami terjerumus dalam lubang cinta lokasi. Mereka sama-sama suka. Sepertinya tak perlu diperibet lagi, mereka mungkin akan jadian juga. Widi dan Febrian seolah telah dipasang perekat, kali ini mereka selalu berbarengan. Febrian bilang sih masih tahap pendekatan.
Sesampainya di Pantai Pangandaran ...
Matahari belum tenggelam sempurna. Setelah sampai di pantai Pangandaran, Widi hanya duduk di bibir pantai menyaksikan sunset disana. Aku dan kawan-kawan duduk tak jauh darinya dan menyaksikan drama. Febrian melirik Widi, dia pikir Widi sedang menyesal seperti kalah dalam permainan, melamun seperti orang yang sedang dalam masalah besar, putus asa seperti orang yang jatuh dalam peperangan.
Widi masih membisu hanya dengarkan suara ombak, Febrian mendatangi Widi lalu duduk disebelahnya. Sedangkan aku dan kawan-kawan yang lain hanya memperhatikan mereka yang berlagak mirip kecoa yang sedang jatuh cinta saja.
Febrian seperti tikus yang takut ditangkap kucing, jalannya perlahan hingga Widi tak menyadari Febrian sudah ada disebelahnya. Kami ketawa keciciran, aku bersumpah tidak ingin terbelenggu dalam cinta lokasi. Tidak ingin, alasan sebetulnya sederhana saja karena di bumi ini lelaki bukan hanya Andrean, Miko, Febrian dan Alfian.
Kalaupun di bumi ini hanya bersisakan 4 orang lelaki yang kini sudah menjadi sahabatku. Aku tentu tidak akan memilih keempatnya. Tidak sama sekali. Aku sudah tau sifat mereka. Matahari masih saja tersenyum, gelap belum menerka, kami semua menikmati keindahan itu, Febrian hanya duduk menunggu momen yang tepat agar dia terkesan tak mengganggu.
Matanya memancar mencari tau, mungkin bertanya sedikit di dalam hatinya, ada apa gerangan dengan Widi yang lebih banyak diam.
"Kenapa?" Tanya Febrian
"Ah enggak." Jawab Widi
"Kamu lagi ada masalah."
"Aku cuma lagi gak enak hati aja."
"Lagi mikirin apa emangnya? Mungkin aku bisa bantu,Wid."
"Yakin kamu bisa bantu, bukannya setiap hari kamu yang suka buat ulah, nyelesain masalah sendiri aja kelimpungan, yakin bakal bantu?!" Widi melirik Febrian sambil senyum berusaha mencairkan suasana
"Ish" Tungkas Febrian singkat
"Ayolah keluarkan kameramu." Ajak Widi mengalihkan keadaan kepada Febrian.
Kami hanya mendehem-dehem dari kejauhan. Melakukan pertaruhan apakah Febrian akan diterima atau ditolak Widi. Sebagian dari kami sesumbar dan berani bertaruh bahwa Febrian tidak akan pernah diterima, kalau aku percaya Febrian akan diterima karena sebetulnya Widi menyukai Febrian sudah sejak lama.
Febrian bertanya lagi, memastikan keadaan Widi. Ia menatap Febrian sebentar, ada binar-binar yang berbeda di matanya. Febrian menunggu jawaban, saat bersamaan matahari mulai meninggalkan kami. Febrian terlihat seperti pangeran yang duduk di sisi Widi. Aku pun sampai baper melihat dua insan yang terjatuh dalam lubang percintaan diantara persahabatan kami, cinta memang selalu tidak terduga. Widi hanya kembali menatap wajah Febrian dan kembali menunduk, sedang Febrian tetap setia menunggu jawaban.
Aku geli sekali melihat mereka. Mendadak, pantai ikut menguping mereka berdua. Kami saling berbisik dan sesekali tertawa kecil. Widi berubah seketika menjadi perempuan anggun yang pemalu di depan Febrian.
Padahal Widi selalu berteriak jika memanggil namaku dan bercanda sudah macam playgirl kelas kakap, ia selalu mengaku bahwa ia pandai menaklukan hati lelaki. Aku dan Tary hanya tertawa mendengarnya.
"Kamu mau jadi pacar aku?" Febrian bertanya sekali lagi.
Wajah Widi masih menimbulkan tanda tanya, sedetik kemudian sang puteri pemalu mengangguk pelan, anggukannya dibuat perlahan sudah macam penari profesional. Febrian pun akhirnya tersenyum lebar mendengar jawaban Widi.
"Diterima oy, diterima oy." Teriak Febrian kepada kami yang dari tadi menunggu jawaban Widi.
Tanda itu menjadi tawaan sekaligus jawaban pertaruhan kami. Bukan semata-mata ingin menyaksikan sepasang insan yang saling jatuh cinta. Itu amat menjijikan sekali, aku tidak pernah peduli kalau mereka harus merasakan jatuh cinta sekalipun, jawaban itu yang aku pedulikan dan begitu empuk bagiku karena aku menang pertaruhan.
Andrean dan Miko bersorak-sorai, bukan karena bahagia dengan jawaban Widi kepada Febrian. Melainkan Andrean dan Miko pun menang juga. Yang kalah taruhan harus membayar makan kami bertiga selama liburan, tak kalah gila : yang kalah harus memakai jaket di siang hari walau panas menerpa pantai pangandaran.
Miko dan Andrean tertawa puas. Sedangkan Febrian berubah menjadi lelaki yang amat acuh tidak memperdulikan keadaan. Dia dan Widi asyik berdua dan sedang terkena virus mematikan yang sebetulnya berbahaya bagi tiap manusia, yaitu virus cinta.
Keesokan harinya ...
"Njasss panas gila." Teriak Alfian
"Gile lu parah ini ide siapa sih." Kulutus Desti
"Udah pake aja ampe matahari terik ngilang, pada berisik." Miko ketawa puas
"Ampun kamu gak ngerasain sih, aku udah mandi keringet nih." Teriak Tary
"Apa-apaan sih kalian siang bolong gini pake jaket segala" Tiba-tiba Febrian mendatangi kami yang sedang ngumpul di teras luar penginapan.
"Iya gak ada kerjaan banget emang." Aku menanggapinya dengan pura-pura polos
Alfian : "Ah gara-gara lu sih kamvret emang."
Febrian : "Lha emang apaan, perasaan gak lakuin apapun deh, aku juga gak nyuruh pake jaket kan?"
Alfian : "Gara-gara jadian sama Widi sih, ah sialan panas cuy."
Febrian : "Hah maksudnya?"
Tiba-tiba semuanya menjadi senyap, kemudian serentak kami menjatuhkan Alfian dari duduknya. Rahasia ini akan terus tersimpan walau kelak Febrian dan Widi putus sekalipun. Itu sudah menjadi komitmen kami berenam, tanpa terkecuali. Kalau Febrian tau tentang pertaruhan semalam, ah bisa habis kami dimusuhinya. Semua mata memandang Alfian, dia tiba-tiba menjadi anak baik yang bungkam. Dua bulan yang lalu, Febrian marah-marah karena prank yang kami buat berakhir dengan perlawanan bom atom Hiroshima dan Nagasaki darinya. Febrian itu tipikal emosional yang kurang suka dengan kejutan sekalipun, aku harus kena amarahnya dan aku menyesal telah membuat surprize party untuknya.
Hari itu adalah hari ulang tahunnya dan aku membuat adegan seakan-akan motornya hilang di curi orang di kantor dan di hari itu aku membuat seakan menjadi hari apesnya. Sialan aku balik dimarahinya. Kawan-kawan yang lain pun terkena dampratnya. Kue ulang tahun ditinggalkannya, dia tidak suka surprise yang diberikan.
Aku ingat sekali hari itu, hari pertama kali aku dibentak oleh seorang lelaki. Sempat aku ingin mencekik lehernya dan membanting dirinya karena aku kesal sekali aku tidak dihargai sebagai perempuan. Tetapi aku juga sadar aku yang keterlaluan dan sudah membuat harinya begitu mengesalkan. Dimulai dari pagi hingga petang menjelang, aku suruh semua orang untuk membuat mood-nya kesal. Termasuk dalam bekerja, serentak semua orang berubah menjadi alien yang mengganggu dan memperberat pekerjaannya.
Dan bravo, dia kabur dari restoran dan meninggalkan semua hiasan dan lilin yang sedang menyala. Meninggalkan acara makan-makan yang telah kami buat. Semenjak itu, acara surprise dalam kamus kehidupannya telah dihilangkan. Itulah mengapa walau hanya tersisa 4 lelaki di dunia ini, aku tidak akan pernah memacari satu lelaki pun dari mereka. Febrian yang emosian dan keras kepala, urat lehernya terasa tegang dan mau putus saat aku melihatnya marah, matanya merah berubah seperti mata setan, auranya gelap seperti dukun beranak yang sedang kesal, aku tidak sudi kalaupun Febrian menyukaiku, jika aku menjadi Widi tentu aku akan menolaknya mentah-mentah. Febrian menderita penyakit langka yang tidak bisa disembuhkan, si lelaki tempramental.
Tetapi anehnya semenjak kemarin malam jadian dengan Widi, Febrian berubah menjadi lelaki yang lembut dan tidak emosian. Dia tertawa tak karuan, wajahnya memancarkan cinta, aku merasa dia sedang merasakan virus yang mematikan, yang membuat orang seketika berubah, mungkin obat penyembuh Febrian dikarenakan cinta. Andrean adalah tipikal lelaki yang sangat cuek, semenjak umur 17 tahun dia betah menyandang status jomblo hingga kini usianya 23 tahun. Ada dua kemungkinan sebetulnya, karena memang dia cuek atau karena dia masih belum bisa move on ditinggal nikah oleh pacar sebangkunya dulu yang memilih menikah muda karena perjodohan.
Andrean tidak pernah emosian, sifatnya cenderung sabar membuat ku sedikit adem jika mengobrol dengannya, walaupun seringkali aku tidak satu pemikiran dengannya, dia adalah penyuka game. Oh aku tarik kesimpulan kenapa dia betah melajang, dia terlalu sibuk dengan game dan dunianya sendiri. Dalam hatiku selalu ingin bertanya pada dirinya, apakah sebetulnya dia normal?
"Kamu ngerasain ada getaran gitu gak kalau liat cewek yang kamu suka?" Tanyaku waktu itu
"Iyalah, gila aja aku suka sesama jenis." Ketawa ringan
"Oh syukur-syukur." Aku menepuk pundaknya
Lain hal, Miko adalah lelaki yang merasa dirinya paling kece dan supel. Dia termasuk dalam jajaran lelaki yang terlalu percaya diri dan mempunyai slogan bisa dengan mudah menaklukan banyak perempuan. Terkadang aku hanya merasa bahwa dia hanya pandai berbicara, buktinya sampai saat ini dia betah dalam kesendirian.
Tetapi walau sendiri, Miko selalu punya cadangan dengan siapa dia akan pergi menghabiskan waktu makan atau ke mall. Aku pikir dia tidak benar-benar dalam kesendirian. Dia hanya santai saja. Lelaki terakhir, Alfian yang kocak, lucu yang merasa gak pernah peduli dengan namanya perempuan yang bertebaran di bumi ini. Hobinya suka membaca dan workaholic. Kulitnya yang hitam tapi manis, tubuhnya yang tidak terlalu tinggi dan teorinya yang seolah mengalahkan Einstein. Aku hanya tidak bisa membedakan apa dia adalah seorang yang jenius atau mengidap penyakit efek terlalu lama sendirian?
Latar belakang kehidupan dan semua kisah cerita sahabat lelakiku tidak ada yang beres. Mereka semua mengidap kelainan yang hanya mereka sendirilah yang mengetahuinya. Mereka selalu memanggil dirinya "Jomblo Terhormat." Sampai petir datang menerpa tubuh ini, aku tidak sudi harus berpacaran dengan salah satu diantara mereka.
***