Dari Diary Lutfi Nurtika
20 Mei 2020
Mobil melaju tanpa menyalakan sirine, berbaur dengan para pengemudi lain yang mengarahkan kendaraan mereka ke Shibuya. Alih-alih menuruti Tatsuya untuk kembali ke Bandar Udara Intertasional Tokyo, aku memutuskan mengambil jalan berbeda.
Shibuya menjadi pilihan paling tinggi untukku setelah memprediksi kendaraan lain yang kemungkinan membawa dia. Meski berulang kali Kyoko memaksa mengejar Tatsuya, karena merasa kalau pria itu memiliki hubungan khusus dengan si orang Eropa. Namun aku berusaha meyakinkannya kalau hubungan itu hanya sebatas dendam, barang kali. Aku hanya menebak.
Ada begitu banyak kemungkinan memang, tapi yang menjadi prioritasku kini adalah menyelamatkan kekasihku. Apa pun risikonya.
Kabar yang ditunggu akhirnya tiba. Dari rekaman CCTV yang masuk ke ponsel Kyoko, kami melihat ada dua mobil—van hitam dan van putih—dengan plat nomor yang sama. Menuju ke arah berlawanan. Kini kami sadar, bagaimana van itu bisa berganti warna, karena pada kenyataannya memang sejak awal mereka ada dua.
Tapi yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah, “Bagaimana bisa dua mobil memiliki plat nomor yang sama? Apalagi di Jepang?”
“Mari anggap mereka bisa melakukannya karena punya banyak koneksi,” Aku menyaut.
“Benar, akan membuang waktu berharga memikirkan hal itu,” kata Kyoko.
“Jadi, apa kamu bisa mendapatkan informasi mengenai van hitam itu? Mungkin saja, van itu yang seharusnya kita cari,”
“Ada beberapa pesan baru masuk,”
Kyoko menepikan kendaraannya ke sebuah taman dekat Aoyama Gakuin Elementary School. Aku meminta ia memarkirkan mobil di balik pohon yang sukar terlihat dari arah belakang pun seberang, juga tak mematikan mesin. Berjaga kalau-kalau hipotesisku benar—si orang Eropa bakal melalui jalur ini—kami takkan kehilangan banyak waktu mengejar dengan menunggu mobil menyala.
Selagi polwan di sisiku mengecek ponselnya, aku mengamati sekeliling. Belum sampai satu menit berlalu mobil yang dicari-cari melaju melalui kami. Dan sekali lagi aku melihat dengan jelas si orang Eropa. Ekspresinya cukup panik, sangat berketerbalikan dengan cara menyetirnya.
“Itu dia!” sontak aku berseru.
“Ada apa Lutfi-san?” Kyoko terkejut.
“Si orang Eropa, dia baru saja lewat,”
“Mustahil!” Kyoko berteriak sambil menginjak gas keras, membuat mobil melaju kencang.
Si pengendara van hitam bagai menyadari kalau ia tengah diburu polisi. Sehingga membuat mobilnya berjalan lebih cepat.
Ketika sirine polisi dibunyikan dan Kyoko meminta si supir menepi melalui pengeras suara, respons yang diberikan adalah van itu benar-benar menepi.
Kami terkejut dan cukup kebingungan dibuatnya. Sampai aku berpikir, barang kali kami salah tangkap orang.
Namun saat kedua mobil telah sangat dekat, si orang Eropa dengan lihainya melesatkan amunisinya. Kalau saja aku tidak menghindar, peluru itu takkan bersarang pada lengan atas Kyoko.
“Aaah!” erang polwan di sebelahku.
Tak mau kalah. Aku meraih pistol dari pinggang Kyoko dan menembaknya tepat mengenai roda kiri mobil yang kembali berusaha kabur.
Van itu meliuk-liuk meninggalkan goresan di jalanan yang akan terus berbekas. Namun si supir enggan menyerah, ia tetap memaksa mobilnya pergi sejauh mungkin dari hadapan kami.
Menanggapi peristiwa itu, aku memaksa Kyoko kembali menginjak gas. Bukan maksud tak peduli akan kondisinya, hanya saja aku merasa kalau itu adalah kesempatan terakhir kami untuk menangkap si orang Eropa dan Kyoko menyetujui hal tersebut meski harus menahan pegal membakar pada tubuhnya.
Kyoko terus berusaha menghentikan van hitam yang melaju membabi buta dengan sengaja menabrakkan mobil tunggangan kami dari arah belakang atau samping. Suara tubrukan mobil kadang tersela oleh ledakan pistol yang saling balas, memaksa pengendara lain menyingkir atau berhenti.
Melihat Kyoko yang makin kepayahan menyetir, mengejar juga menghindar. Aku berusaha memaksimalkan keberuntunganku hari ini, dengan mengarahkan moncong pistol agak menukik. Berharap tepat mengenai tangki bensin, dan….
Duar!
Peluru melesat, membuat ban belakang van itu meledak. Memaksa si pengemudi berhenti dan keluar dari mobilnya.
“Tembakan bagus,” ujar Kyoko terbata-bata. Wajahnya terlalu banyak mengeluarkan keringat, membuatku sadar kalau ia bisa pingsan kapan saja.
Aku meringis, karena itu di luar rencanaku.
“Telepon bantuan, aku akan menahan orang itu di sini,” kataku sambil membantunya keluar dari mobil.
Kyoko mengangguk, lalu menyerahkan 5 peluru kepadaku. “Hanya tersisa itu. Jangan boros,”
Seringaiku lagi-lagi berkilat. Berpikir, mana mungkin aku bisa menghemat tembakan melawan orang yang sudah terlatih seperti si orang Eropa di sana? Lagi pula sejak awal, bagaimana bisa dua orang wanita menghadapi seorang mafia?
Setelah bersandar di balik mobil, Kyoko mulai sibuk dengan ponselnya sambil sesekali menggenggam lukanya. Aku tahu, ia tengah menghadapi kondisi yang sangat sulit. Namun aku tak bisa membantu banyak, karena seperti yang sudah kubilang, kalau ada orang yang perlu kupaksa tinggal di tempat, setidaknya sampai bantuan tiba.
Ketika aku baru saja mulai mengintip, sebuah peluru menyerempet kerudungku. Membikin aku takut setengah mati.
“Menyerahlah, kau sudah dikepung!” Aku berseru, sekaligus meredam rasa takutku.
Namun seperti kebanyakan penjahat, pria itu merespons dengan tembakan ulang yang menembus kaca mobil.
“Dia sangat terlatih,” aku menggerutu.
“Bukannya kau sama?” Kyoko mendadak menyambung. “Dua tembakanmu sebelumnya tepat mengenai sasaran, kau pasti—” belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Kyoko mendadak pingsan. Buat kepanikanku meningkat.
Setelah membaringkan Kyoko dan membalut lukanya untuk mengurangi pendarahan, aku membentur kaca spion menggunakan bahu pistol yang kugenggam. Lalu memakai pecahannya untuk membantuku menangkap gambar di seberang.
Aku terkejut setengah mati saat menyelinguk ke belakang dan mendapati si orang Eropa berdiri tepat di hadapanku sambil menodongkan pistolnya.
Apa aku mendiamkan ia terlalu lama, sampai pria itu berani datang sedekat ini? Memang daripada berusaha kabur, menjadikan kami berdua sebagai sandera adalah pilihan paling tepat untuk bisa lolos dari kepungan polisi.
“I don’t have bussines with you,— “Aku tidak punya urusan dengamu,”
Aku mematung, tak dapat bereaksi. Lebih kepada takut ia akan menembak kalau aku melakukan sesuatu yang ceroboh.
“Apa aku akan mati sekarang?” hatiku berbisik
Beberapa microdetik sebelum jari telunjuknya menarik pelatuk, sepatu pantofel mendarat di kepala si orang Eropa. Melihat fokusnya teralihkan, aku memanfaatkan itu untuk melompat dan menghantam pelipisnya. Namun tanpa menghadapkan wajah ke arahku, ia dengan mudahnya menghalau serangan itu.
Tak mau menyerah aku mengepalkan tinju ke perutnya, tapi sekali lagi pria itu menangkis dengan lebih memilih menangkap tanganku ketimbang menggenggam pistolnya. Ketika kedua tangan telah dijagal erat, aku berusaha menjejak tubuh si orang Eropa, dan lagi-lagi ia mematahkannya dengan membuatku berputar setelah melempar kedua lenganku ke sisi kiri.
Si orang Eropa selalu dapat menghindar juga menangkis walau serangan dilancarkan tiada henti, walau segala barang dilempar tak berjeda: cermin, parfum, lotion, tabir surya, bedak, foundation, juga beberapa alat make up lainnya.
Aku tak tahu siapa yang melempar barang-barang tersebut, tapi itu sangat membantuku mencegah si orang Eropa mengambil kembali pistolnya.
Kala lelah menghampiri dan benda-benda yang melayang telah berhenti, si orang Eropa berdiri dengan angkuhnya. “Need a lil’ chick hat?—Butuh topi anak ayam?”
Belum sempat menjawab, sebuah tas kembali menghantam kepalanya. Kening pria itu mengerut dan kedua alisnya meruncing. “I hat fraud[1] and IED[2]!—Aku paling benci fraud dan IED!”
Saat si orang Eropa berusaha merebut pistol yang masih kugenggam, suara tembakan mengejutkan kami. Ia terduduk menggenggam kaki kirinya yang berdarah.
“Lutfi-san!”
Suara Kyoko menyadarkanku akan keterkejutan sebelumnya. Aku memanfaatkan momentum tersebut untuk menghantam dagu si orang Eropa. Ketika kedua tangannya dijadikan tumpuan, aku bergegas menempelkan moncong pistol ke arah keningnya. “Need a lil’ chick hat?— “Butuh topi anak ayam?” kataku menirukan kalimat pria itu sebelumnya.
Ia terkekeh sambil berkata, “How can a loser like you dare to kill people?— “Pecundang sepertimu mana berani membunuh orang?”
“You think I don't dare?—”Kau pikir aku tidak berani?”
Ketakutan tak terlukiskan di wajahnya walau sekecilpun. “Death has never scared me,— “Kematian tak pernah membuatku takut,”
Aku melirik ke arah Kyoko yang tertatih-tatih bangkit.
“Shit! You want me die at the hands of a wretched woman like her?!—”Sial! Kau mau aku mati di tangan wanita payah sepertinya?!”
Aku menyeringai. “We can’t choose how to be born, but we have to decide how to die. And is this the most appropriate way for you to die?— “Semua orang tak bisa memilih bagaimana ia dilahirkan, tapi semua orang berhak memutuskan seperti apa mereka mati. Dan apakah ini cara paling tepat untukmu mati?”
“F*ck!”
“Why did you kidnap Gilang?— “Kenapa kau menculik Gilang?!” tanyaku akhirnya.
Bola matanya melebar. “Are you the writer's girlfriend?— “Apa kau pacar si penulis?”
“It’s me,— “Itu aku,”
Tawa kejamnya berhenti. Alisnya yang sedari tadi meruncing sambil menunjukkan tatapan tajam, kini berubah serius. “Everyone is after him. He found it, Flor de—“Semua orang mengejarnya. Dia menemukan itu, Flor de—”
Kalimatnya terhenti oleh sebuah tembakan.
------------------------------------------------------
[1] Penipu.
[2] Intermittent Explosive Disorder: seseorang yang selalu melampiasan emosi dengan melempar hingga merusak barang.