Read More >>"> Titip Salam (Chapter 5 - Perkara IPK) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Titip Salam
MENU
About Us  

               Sepanjang perjalanan pulang ke indekos aku enggan bicara. Bahkan, ketika sampai aku segera mengambil motorku dan pergi lagi tanpa berpamitan. Aku tahu teman-teman pasti akan membicarakanku di belakang, tapi aku tidak peduli. Malam ini akan terasa panjang karena aku tidak punya tujuan.

               Aku menjauh dari area kampus, berhenti di minimarket untuk membeli kopi kaleng dan duduk di bangku yang tersedia di teras toko. Baru sepuluh menit aku sudah bingung mau apa. Sebuah motor sport berwarna merah berhenti tepat di depanku dengan lampunya yang menyala terang. Sialan! Banyak sekali perkara hari ini.

               Sampai dia berhenti pun, si pemilik motor masih saja menyalakan lampunya. Benar-benar tidak beradab. “Mas, itu lampu bisa dimatiin, kan? Enggak sopan banget!” sungutku kesal. Si pemilik motor tertawa. Bisa-bisanya dia tertawa, hah!

               “Lo ngapain di sini, Jav?”

               Aku menyatukan alis heran. “Ryo?” Aku mengenal suaranya. Tidak salah lagi.

               Ryo melepas helm yang dia gunakan, lalu meletakkannya di salah satu spion. “Sendirian? Atau sama June?”

               “Sendiri.” Aku menyeruput kopi kalengku lagi.

               “June kenapa enggak ikut lo?”

               “Udah, deh. Lo lihat, kan, kalau gue sendirian. Enggak perlu nanyain yang enggak ada,” decakku sebal.

               “Ih, gitu aja ngambek.” Ryo menarik kursi di seberangku, lalu duduk di sana.

               “Lo juga ngapain tiba-tiba duduk di sini?”

               “Gue mau pulang, malah nyokap telepon minta dibeliin minyak goreng sama gula sekilo.”

               Mau tidak mau aku tertawa. “Serius?”

               “Ini masih mending, dulu pernah udah cakep mau berangkat kuliah malah disuruh beli terasi!”

               Aku makin terbahak-bahak. “Nyokap lo ngerjain lo kali, Yo.”

               “Iya, kayaknya.” Tiba-tiba Ryo mengeluarkan ponselnya dari saku celana karena bergetar. “Panjang umur, Nyonya telepon gue,” ucapnya sambil memperlihatkan layar ponselnya padaku, bertuliskan ‘Nyonya’.

               “Iya, Nya? Mang Ryo masih di minimarkeeet ….” jawab Ryo sambil cengengesan.

               Aku tertawa lagi gara-gara mendengarkan obrolan Ryo dengan ibunya. Dari cara Ryo berbicara, sepertinya laki-laki itu dekat dengan sang ibu. Selesai menjawab telepon singkat dengan diikuti beberapa kali tawa, Ryo menyimpan ponselnya lagi. lalu dengan seenaknya mengambil kopi kaleng di meja dan menenggaknya hingga tandas.

               “Ryo! Itu, kan, punya gue!”

               “Sumpah, tinggal dikit, Jav. Cuma tiga teguk doang.”

               “Ih, lo tuh, ya. Kebiasaan banget ngambil makanan atau minuman gue.” Aku mencubit lengan Ryo karena terlalu kesal.

               “Sakit, woi!” seru Ryo sambil mengusap lengannya.

               “Beliin gue kopi! Buruan!”

               “Tiga teguk lho, kenapa jadi sekaleng full?”

               “Bodo amat.”

               Ryo beranjak dari duduk. “Dari tadi ngamuk-ngamuk melulu.”

               Aku hanya meliriknya di tengah memainkan ponsel. Tak lama, Ryo keluar dengan menjinjing tas kain berwarna cokelat, sepertinya dia membawanya dari rumah karena tas supermarket yang kulihat hanya warna merah dan biru. Kemudian menyodorkan Magnum Almond padaku. “Kok es krim?”

               “Lo tuh bukan butuh kopi pahit, tapi butuh yang manis-manis biar enggak bête.”  Ryo duduk lagi, kemudian sudah sibuk menikmati es krimnya.

               Aku juga ikut tenggelam makan es krim di tanganku. Manis banget, sebenarnya aku tidak terlalu suka cokelat, tapi mungkin Ryo benar. Aku butuh meningkatkan kadar hormon dopamin dalam tubuhku agar kembali nyaman dan menghilangkan stres.

               Es krim sudah habis, jalan raya sudah jarang pengendara karena sekarang hampir jam dua belas malam. Ryo menyuruhku pulang. Bahkan, dia sengaja mengikutiku hingga lima ratus meter dari indekos untuk memastikan aku tidak keluyuran malam-malam. Tentu saja tanpa melupakan salam untuk June.

               Aku mengalami pergulatan batin begitu hebat di depan pintu kamar. Dua pintu kamar yang lain sudah tertutup, tumben mereka tidur cepat. Tanganku melayang di atas kenop pintu, menghabiskan satu menit untuk menimbang keputusan ‘membuka pintu kamar atau tidak’.

               Tiga kali aku mengambil napas panjang untuk menenangkan hati. Aku akan terganggu sepanjang hari jika memiliki masalah dengan orang di sekitarku, karena itu aku berusaha menjauhi masalah dengan siapa saja. Pasti canggung rasanya, dan aku paling benci berada dalam situasi itu. Alasan itu juga yang membuatku pindah ke indekos dan enggan pulang ke rumah.

               Cekrek!

               Empat pasang mata menatapku. Aku terkejut karena ternyata semuanya sedang berada di kamarku.

               “Cuy, lo dari mana, sih? Tiba-tiba pergi, ditelepon juga enggak bisa!” Aya beranjak mendekatiku sambil marah-marah.

               “Jav,” panggil June. Dia juga beranjak dari duduk. “Sorry, ya.” June mengalungkan tangannya ke leherku.

               “Kalau lo butuh bantuan, bilang ke kita, ya, Jav. Kita, kan, hidup bareng-bareng.” Wita ikut-ikutan memelukku.

               “Jangan kayak ABG yang tiba-tiba kabur dong, Jav! Kita semua khawatirin lo tahu!” Tiar mendaratkan telapak tangannya di bahuku dengan keras.

               “Aw! Sakit, Yar!”

               “Biar kapok!”

               Hangat. Ditambah malu. Sikapku tadi memalukan karena langsung pergi begitu saja. Mereka yang hidup bersamaku setahun ini. Bukan orang tuaku. Karena itu, wajar jika kami saling mengkhawatirkan satu sama lain. Apakah Papa dan Mama juga mencemaskanku yang tidak pulang?

               Hari-hari mendekati UAS menjadi hari tersibuk bagi mahasiswa dan tentu saja penghuni kos, tidak termasuk aku. Aku tetap pergi ke kampus, tapi tidak untuk belajar atau menyalin materi dan contoh ujian dari senior. Ada beberapa hal yang harus aku urus untuk kastrat yang diadakan di akhir minggu nanti.

               “Jav!”

               Aku menoleh karena mendengar suara Ryo memanggilku. Dia berlari dengan cengirannya yang menyebalkan. “Apa?”

               “June ke mana?”

               “June melulu! HP lo, tuh, jangan cuma berguna buat nonton bokep doang!”

               “Anjir! Gue serius, nih. June punya salinan soal-soal ujian dari senior, kata anak-anak UAS rangkaian listrik lanjut sama kayak tahun kemarin. Lo enggak punya, Jav?”

               “Lo salah orang kalau tanyanya ke gue,” decakku. “Tinggal whatsapp ke June, lo kok repot amat, sih.”

               “Enggak bakal dibales.”

               “Tanya ke Wita atau Tiar, atau Aya.”

               “Oke, coba gue chat mereka bertiga aja.”

               Aku berbalik badan, melanjutkan jalanku menuju sekretariat BEM yang terhenti.

               “Lo mau ke mana, Jav?” seru Ryo lagi.

               “BEM,” jawabku dengan suara agak keras.

               “Ikut, dong!”

               Sontak aku balik badan lagi. “Ngapain lo ikut gue? Lo anak BEM aja bukan.”

               “Ya, elah, emang ada tulisannya di depan pintu kalau bukan pengurus BEM dilarang masuk?” ucap Ryo sambil memiting leherku.

               “Lepas, sakit, bego!” Aku memukul punggung tangan Ryo berkali-kali. Ryo mengendurkan tangannya sambil cekikikan. “Lo enggak punya temen, ya?” tanyaku sinis sambil melirik laki-laki di sampingku yang selalu dan terlalu menarik perhatian.

               “Iya, nih. Anak-anak tiba-tiba pada ngilang kalau pas UAS begini. Gusi juga gue telepon dari tadi enggak direspons.”

               “Mereka semua emang jadi alim kalau pas ujian,” tambahku. “By the way, Yo, lo bener-bener enggak pernah ngomong sama June sejak kejadian itu?”

               Ryo melepas tangannya yang sejak tadi di bahuku. “Enggak. Makanya gue nyesel sekarang, kenapa dulu gue setolol itu?”

               “Lo masih suka sama dia?”

               “Pertanyaan lo berat banget buat dijawab, Jav. Seberat waktu lo tanya ke gue, ‘gue cantik enggak’. Gue bingung jawabnya.”

               “Sampah banget lo!” Telunjukku mendorong dahi Ryo pelan. Aku tahu dia bercanda walaupun memang agak keterlaluan.

               Ryo hanya tertawa terbahak-bahak.

               Dia tidak jadi mengikutiku sampai ke sekretariat karena Aya membalas pesannya dan berjanji bertemu di fotokopi perpustakaan pusat, untunglah. Aku sudah was-was kalau dia benar-benar ikut dan membuat sedikit keributan. Ryo tidak akan betah diam, pasti ada saja yang dilakukan. Kalau diingat-ingat kelakuannya hampir mirip Salam yang sedang aktif-aktifnya.

               Sebenarnya, Ryo tidak buruk-buruk amat, walau kadang tingkah dan ucapannya memang tidak bisa di-filter jika sudah terlalu akrab. Aku tahu ada banyak mahasiswi yang suka Ryo, tapi Ryo masih kukuh ingin dekat dengan June, bahkan lebih dari dekat. Sayangnya, setelah kejadian di makrab tahun lalu, June menghindari Ryo sampai sekarang, atau mungkin justru membenci laki-laki itu.

               “Jav, persyaratan daftar menteri udah keluar, tuh!” ucap Bang Dito ketika kami bertemu di depan sekretariat BEM. Sepertinya Bang Dito dari kantin karena menenteng kantong plastik berisi nasi.

               “Lah, kok cepet, Bang? Presbem baru aja belum dipilih.”

               “Ini persyaratan umum aja, sih. Toh, nanti keputusan siapa menterinya tetep presbem baru yang nentuin. Kayaknya Pak Pres bikin step ini buat menetapkan standar menteri ke depan. Tahun sebelumnya mana ada kayak begini.”

               Aku mengangguk-angguk. Segera kuraih kenop pintu sekretariat dan menatap poster di papan info. Bang Dito mengikutiku dan berdiri di sampingku.

               Syarat pertama, merupakan mahasiswa aktif Universitas S minimal semester tiga. Kedua, telah lulus ospek saat tahun pertama dengan menunjukkan kartu anggota HMJ masing-masing. Mataku melotot ketika membaca persyaratan ketiga, IPK minimal 3!

               “What the fuck!” gumamku pelan. Aku berhenti membaca persyaratan berikutnya karena terlalu terkejut dengan poin ketiga.

               “Jav?” Bang Dito menatapku heran.

               “Sori, sori, Bang.” Aku menelungkupkan tangan bermaksud meminta maaf.

               “Gue yakin lo bisalah ….” ungkap Bang Dito mendukungku.

               “Hah?”

                “Kenapa?”

               “Apanya, Bang?”

               “Kok lo jadi konslet gini, sih, habis baca persyaratan daftar menteri.” Bang Dito terkekeh. “Lo memenuhi semua persyaratan, kan?”

               “Hm … kenapa kudu ada syarat IPK, sih, Bang?”

               Bang Dito masih menatapku. “IPK lo di bawah itu?”

               Aku ragu menjawabnya. Malu banget, gila! Kupilih anggukan kepala lesu dengan senyum kecut sebagai responsku.

               “Kalau masih di atas 2.8 gue bisa bantu ngomong ke Pak Pres biar lo lolos syarat. Gimana?”

               Aku menelan ludah. Di atas 2.8? Masalahnya IPK-ku hanya 2.2! batinku.

               “Jangan, deh, Bang. Nanti malah timbul kasak-kusuk nepotisme gara-gara gue,” ucapku beralasan.

               “Iya juga, sih.” Bang Dito mengusap tengkuknya. “Terus, lo enggak jadi daftar, dong?”

               Aku menggeleng. “Kayaknya enggak dulu, deh, Bang.” Bukan enggak dulu, tapi enggak bakal bisa daftar! lanjutku dalam hati.

               “Ogi udah siapin berkas, tinggal maju doang. Kalau Ogi yang jadi menteri, biar gue suruh dia narik lo jadi Dirjen.”

               “Hm … lihat besok aja, Bang. Gampanglah, itu.” Aku menggigit bibir. Sialan, sialan! Kalau Ogi bisa daftar, berarti IPK dia di atas 3.00, dong! Bukannya aku tidak suka, tapi aku tidak menyangka kalau Ogi yang kelihatannya tidak minat kuliah itu bisa punya IPK lumayan tinggi.

               “Atau begini aja, Jav. Waktu aksi masa besok, lo usahain jadi mahasiswa vokal, paling enggak lo ‘kelihatan’ gitu. Paham, kan, maksud gue? Kandidat calon presbem, kan, pasti ikut semua, tuh, pas aksi masa besok!”

               “Berarti gue boleh ikut, nih, Bang?” tanyaku bersemangat.

               “Ya, gimana lagi. Minimal biar mereka melirik lo walaupun lo enggak bisa masukin berkas pendaftaran menteri. Lo kayaknya semangat banget gantiin gue, manajemen organisasi lo juga bagus. Berani enggak?”

               “Siap 86, Bang!” Aku membuat gestur hormat pada Bang Dito dan dia hanya mengacungkan jempol. Masih ada harapan.

               Sejak tercetusnya misi tersembunyi antara aku dan Bang Dito, aku jadi maksimal mengerjakan persiapan aksi masa besok. Mulai dari perijinan tempat untuk kastrat yang awalnya kukeluhkan, aku handle dan kuselesaikan semua. Memastikan bahwa seluruh tahapan menuju aksi masa berjalan lancar dan aku mendapat kesempatan untuk memperlihatkan kualitas diriku.

               Iya. Walaupun aku tidak bisa menunjukkannya lewat prestasi akademik, akan kutunjukkan di bidang lain. Aku menjadi sibuk mondar-mandir ke sekretariat BEM ketika mahasiswa lainya sibuk belajar untuk UAS yang akan dilaksanakan minggu depan.

               “Jav, kita mau belajar, nih! Ayo, ikutan!” ajak June ketika aku baru saja pulang ke indekos dengan wajah lusuh.

               Aku memandang June dari bawah hingga atas. Dia terlihat rapi. “Belajar di luar?”

               “Iya, bareng anak-anak lain. Kalau enggak di perpus, mungkin di kontrakannya Dion.”

               “Emang enggak ada Ryo?” tanyaku memastikan, karena kalau ketemu Ryo, June sudah pasti langsung minta pulang.

               “Kata mereka, dia ke kosan Agus, sih. Ayo ikut, Jav. Ada Putri, Mila, Kiki, juga selain kita.”

               Aku mengembuskan napas. “Gue capek, Jun.”

               “Lo, tuh, capek ngurusin BEM melulu. Giliran UAS enggak diurusin. Enggak kebalik, tuh?” June mulai mengomel.

               Tiba-tiba Bu Nur muncul di anak tangga teratas. Membuatku dan June terkejut bukan main karena langkahnya tidak ada suara sama sekali, tahu-tahu sudah memanggil.

               “Neng Javitri, ibu bisa minta tolong enggak? Mau takziah ke rumah Pak RT, tapi Salam enggak ada yang jaga. Pamali kalau ngajak anak kecil takziah, soalnya jenazahnya masih di rumah,” tutur Bu Nur panjang.

               June melempar tatapan tajam ke arahku sambil menggeleng superpelan.

               Aku melihat Bu Nur dan June bergantian.

               “Titip Salam bentar, ya, Neng. Enggak lama, kok. Saya enggak ikut ke makam,” lanjut Bu Nur.

               Aku melepas ranselku dan kuletakkan begitu saja di lantai kamar. “Salam di mana, Bu?”

               “Di bawah, Neng. Maaf, ya, Neng. Enggak lama, kok.”

               “Iya, Bu.” Aku mengikuti Bu Nur turun.

               “Javitri! Besok ujian!” desis June sebelum aku turun.

               “Bentar doang katanya. Lo sama yang lain ke Dion aja, enggak apa-apa. Nanti gue belajar sendiri.” Kemudian aku menuju lantai bawah.

               Sepertinya ucapan Bu Nur ‘bentar’ ini perlu dikoreksi. Karena sejak kemarin, kata ‘bentar’ bagi Bu Nur itu bisa mencapai lebih dari dua jam. Ini sudah tiga puluh menit berlalu dan Bu Nur belum juga datang.

               “Kak Jav, Salam lapar,” keluh bocah yang sejak tadi memainkan ponselku, sementara kutinggal mandi sebentar. Badanku sudah gatal dan aku tidak sanggup menahan lebih lama lagi.

               “Ke McD, yuk, Kak Jav!” ajak Salam setelah meletakan ponselku dan beranjak dari duduk.

               Aku mengernyit. “Emang tadi udah minta uang ke Ibu?”

               Salam menggeleng sambil tertawa, aku baru tahu dia kehilangan salah satu gigi susunya. Padahal beberapa hari lalu, gigi Salam masih lengkap.

               “Ih, aku, kan, bokek!”

               “Bokek?” Alis Salam menyatu, dia lucu kalau raut wajahnya sedang mempertanyakan sesuatu.

               “Enggak punya uang.”

               Salam meletakkan telunjuknya di kening, seolah sedang berpikir keras. “Sedikit aja? Kak Jav, bisa minta ke ibunya Kak Jav. Cepetan.”

               “Mana ada, ibuku jauh. Kan, Kakak udah ingetin Salam, kalau Ibu pergi, kamu minta uang dulu. Kakak gorengin telur aja, ya. Ayo.”

               Salam diam saja. Bibirnya bergerak-gerak pelan, matanya berair. Dia menangis. “Salam maunya McD ….”

               Napasku melenguh. Kalau sudah begini, tidak ada jalan lain. Kududukkan Salam di jok motor, kubawa dia ke McD, sesuai kemauannya. Yang punya anak siapa, yang repot siapa. []

              

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • moonmaker

    kaya gue yg nunggu ngisi air sambil main game WKWKWK

    Comment on chapter Chapter 1 - Aku Javitri
Similar Tags
ARSELA: Perjodohan si Syar'i dan Ketua Geng Motor
90      83     3     
Romance
Memiliki hutang budi dengan keluarga Dharmendra, Eira mau tidak mau menyetujui perjodohan dengan putra sulung keluarga itu, Arsel, seorang ketua geng motor tersohor di kampusnya.
Samudra di Antara Kita
17916      3521     136     
Romance
Dayton mengajar di Foothill College, California, karena setelah dipecat dengan tidak hormat dari pekerjaannya, tidak ada lagi perusahaan di Wall Street yang mau menerimanya walaupun ia bergelar S3 bidang ekonomi dari universitas ternama. Anna kuliah di Foothill College karena tentu ia tidak bisa kuliah di universitas yang sama dengan Ivan, kekasihnya yang sudah bukan kekasihnya lagi karena pri...
Moira
20711      1957     5     
Romance
Diana adalah seorang ratu yang tidak dicintai rajanya sendiri, Lucas Jours Houston, raja ketiga belas Kerajaan Xavier. Ia dijodohkan karena pengaruh keluarganya dalam bidang pertanian dan batu bara terhadap perekonomian Kerajaan Xavier. Sayangnya, Lucas sudah memiliki dambaan hati, Cecilia Barton, teman masa kecilnya sekaligus salah satu keluarga Barton yang terkenal loyal terhadap Kerajaan Xavie...
Bee And Friends 2
1667      578     0     
Fantasy
Kehidupan Bee masih saja seperti sebelumnya dan masih cupu seperti dulu. Melakukan aktivitas sehari-harinya dengan monoton yang membosankan namun hatinya masih dilanda berkabung. Dalam kesehariannya, masalah yang muncul, ketiga teman imajinasinya selalu menemani dan menghiburnya.
Mencari Malaikat (Sudah Terbit / Open PO)
4482      1609     563     
Action
Drama Malaikat Kecil sukses besar Kristal sang artis cilik menjadi viral dan dipujapuja karena akting dan suara emasnya Berbeda dengan Viona yang diseret ke luar saat audisi oleh mamanya sendiri Namun kehidupan keduanya berubah setelah fakta identitas keduanya diketahui Mereka anak yang ditukar Kristal terpaksa menyembunyikan identitasnya sebagai anak haram dan mengubur impiannya menjadi artis...
Gurun Pujaan Hujan
6296      1885     6     
Romance
Setelah setahun meninggalkan kota, aroma desa dan pegunungan kembali akrab menyapa penciumanku setiap hari. Semua terasa amat dekat untuk mereka yang masih menganggapku asing, siapa sangka bahwa ternyata kenangan dan pengalaman punya bahasa tersendiri untuk menceritakan keinginannya agar diingat dan muncul di masa sekarang, seolah-seolah mereka ingin aku tahu bahwa dulu aku juga pernah merasakan ...
Segitiga Bermuda
3460      1197     1     
Romance
Orang-orang bilang tahta tertinggi sakit hati dalam sebuah hubungan adalah cinta yang bertepuk sebelah tangan. Jika mengalaminya dengan teman sendiri maka dikenal dengan istilah Friendzone. Namun, Kinan tidak relate dengan hal itu. Karena yang dia alami saat ini adalah hubungan Kakak-Adik Zone. Kinan mencintai Sultan, Kakak angkatnya sendiri. Parah sekali bukan? Awalnya semua berjalan norm...
The Ruling Class 1.0%
1161      474     2     
Fantasy
In the year 2245, the elite and powerful have long been using genetic engineering to design their babies, creating descendants that are smarter, better looking, and stronger. The result is a gap between the rich and the poor that is so wide, it is beyond repair. But when a spy from the poor community infiltrate the 1.0% society, will the rich and powerful watch as their kingdom fall to the people?
Antic Girl
80      64     1     
Romance
-Semua yang melekat di dirinya, antic- "Sial!" Gadis itu berlalu begitu saja, tanpa peduli dengan pria di hadapannya yang tampak kesal. "Lo lebih milih benda berkarat ini, daripada kencan dengan gue?" tanya pria itu sekali lagi, membuat langkah kaki perempuan dihadapannya terhenti. "Benda antik, bukan benda berkarat. Satu lagi, benda ini jauh lebih bernilai daripada dirimu!" Wa...
Aku Biru dan Kamu Abu
487      263     2     
Romance
Pertemuanku dengan Abu seperti takdir. Kehadiran lelaki bersifat hangat itu benar-benar memberikan pengaruh yang besar dalam hidupku. Dia adalah teman curhat yang baik. Dia juga suka sekali membuat pipiku bersemu merah. Namun, kenapa aku tidak boleh mencintainya? Bukannya Abu juga mencintai Biru?