Read More >>"> Titip Salam (Chapter 3 - Titip Salam) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Titip Salam
MENU
About Us  

               “Kalau Wita aja lagi kelas, bukannya lo juga harusnya ada kelas?” tanya Ogi sambil menyeruput es tehnya setelah menghabiskan seporsi soto Lamongan.

               Aku menggigit kebab dagingku sedikit sebelum menjawab pertanyaan Ogi. Karena sedang malas makan nasi, aku memilih ini sebagai pengganjal lapar. “Gue lagi ‘M’ aja.”

               Ogi mengangkat alisnya yang panjang dan agak menjulang, kalau dilihat-lihat bentuk alis Ogi menyerupai bentuk alis Tiar. “Apa hubungannya, Markonah, antara lo lagi dapet sama kuliah!” serunya heran.

               “Gue ‘M’ bukan dapet, Gi. Tapi, males.” Aku nyengir. Tadi aku memang sempat chat Wita karena Ogi terus memaksa, dia tidak percaya kalau aku sebenarnya ada kelas pagi ini. Tentu saja Wita menolak, bahkan menegurku karena bolos padahal kami berangkat berlima tadi pagi.

               “Dua minggu lagi UAS, lho, Jav.”

               “Iya, gue tahu. Udah, deh, jangan mulai ceramah kayak anak kosan. Mending bahas teknis aksi masa besok gimana, nih, jadinya?”

               “Gue sambil sebat, ya. Lo enggak terganggu, kan?” tanya Ogi sambil mengeluarkan kotak rokok Marlboro merah dari saku celana.

               “Selow aja, sih.” Aku menggigit kebabku lagi. Hidung dan mulut Ogi sudah seperti cerobong berasap. “Rencana gue, weekend ini kita kastrat1. Masih ada cukup waktu, kan, buat sebar memo ke HMJ?”

               Ogi mengembuskan asap rokok ke arah lain terlebih dahulu sebelum menjawab. “Boleh. Kalau gitu segera bikin memo dan poin yang mau disampaikan di kajian. Sekalian lo list juga beberapa nama yang kira-kira cocok jadi narsum kajian besok. Jadi, nanti malam atau besok pas ketemu Bang Dito, kita udah punya grand design-nya mulai kastrat sampai aksi masa.”

               “Menurut lo, ormek perlu diundang enggak, sih, Gi? Gue takut mereka malah provokasi atau bikin black campaign, deh.”

               Ogi mengisap rokoknya kuat. Dia tampak berpikir sejenak. Aku tahu betul bahwa kampus kami tidak mengijinkan organisasi mahasiswa ekstra kampus menjadi organisasi kemahasiswaan resmi yang dinaungi birokrat. Dari cerita Bang Dito, ormek tidak hanya menerima anggota dari kalangan mahasiswa, tapi juga non-mahasiswa. Yang dikhawatirkan adalah, adanya beberapa oknum yang memanfaatkan ormek untuk kepentingan politik dan memecah-belah mahasiswa. Karena itu pula, Bang Dito selalu mewanti-wanti kami agar tidak sembarangan bicara dengan orang tidak dikenal walaupun di area kampus. Takutnya, kami kena brainwashing.

               “Gimana, Gi?” Aku mengulangi pertanyaan karena Ogi terlalu lama berpikir.

               “Gue enggak bisa mutusin ini sendiri, Jav. Kudu ngobrol dulu sama Bang Dito. Ormek, tuh, butuh enggak butuh, sih. Tergantung komit mereka juga. Enggak lucu, dong, aksi masa yang kita bawa damai berakhir ricuh gara-gara ada penyusup.”

               Ogi benar. “Oke, kalau gitu, gue list HMJ dulu, ya.” Kebabku beralih ke tangan kiri, sedangkan tangan kananku sibuk mengetik di ponsel. “Selain evaluasi kinerja tiga tahun pemerintah kota, ada rencana bawa isu apa lagi, Gi?”

               Asap rokok mengepul lagi di samping Ogi. Dia selalu membuang asapnya ke arah yang berlawanan denganku duduk. Biasanya, dia akan mencoba sekali untuk mencari arah angin. Ketika sudah memastikan bahwa asap rokoknya tidak mengenaiku langsung, dia akan membuangnya ke arah itu terus. “Kayaknya, sih, sekalian bawa isu dampak dari revitalisasi pesisir utara.”

               Aku menganggukkan kepala, lalu mengetik lagi. Kantin mulai ramai, kulihat arlojiku yang menunjukkan pukul setengah dua belas siang. Gerombolan mahasiswi baru saja masuk, ada delapan orang tengah berjalan menuju counter yang berbeda. Empat orang yang sangat kukenal berjalan mendekati mejaku.

               “Gi, Wita, tuh!”

               Sontak Ogi menoleh dan mengikuti arah pandanganku. “Gue cabut, lah.” Ogi membersihkan barang-barangnya.

               “Lah? Tadi katanya mau ngajak makan bareng?” Aku menaikkan alis.

               “Kalau cuma lo sama Wita masih oke, Jav. Tapi kalau ada dua temen kos lo yang berisik itu, mending gue melipir, deh.”

               Aku tergelak, aku sepertinya tahu yang dimaksud Ogi. Pasti Tiar dan Aya yang suaranya bisa mencapai seratus desibel.

               “Jav!” panggil Aya sambil berlari kecil ke mejaku.

               Aku melambaikan tangan.

               “Eh, sama Ogi? Halo, apa kabar, cuy? Mawar dari lo baunya semerbak, btw. Boleh banget lho kalau mau bawain buat Wita lagi. Iya, kan, Jav?”

               Aku terkikik geli melihat Ogi yang nyengir kebingungan. Aya kalau bicara memang suka dijadikan satu, tidak peduli itu nyambung atau tidak.

               “E-eh, iya. Gue cabut duluan, ya.” Ogi mengusap tengkuknya. Sepertinya dia merinding setelah disapa Aya.

               Aku tidak kuat menahan tawa. Apalagi ketika semuanya sudah mendekat ke meja. June, Aya dan Tiar sibuk ‘ciye-ciye’, sedangkan Wita dan Ogi hanya saling melempar senyum kikuk. Sumpah, Ogi kenapa bisa berubah seratus delapan puluh derajat begini, sih? Baru beberapa menit lalu kami membahas kastrat untuk aksi masa, sekarang dia malah seperti laki-laki naif.

               Kabar baik dari aku membolos kelas mata kuliah persamaan differensial biasa dan parsial adalah tugas tidak jadi dikumpulkan saat itu, tapi ketika kuis besok. Besok. Iya, besok pagi mendadak ada kuis dari mata kuliah yang kubenci ini. Katanya, sebagai final exam warm-up. Yang benar saja!

               Malamnya, sudah bisa dipastikan semua tiba-tiba menjadi rajin. Teman-teman seangkatanku akan membentuk kelompok sesuai circle pertemanan mereka dan belajar bersama. Empat gadis rempong, dan aku memutuskan pulang lebih cepat sebelum gelap. Sebenarnya, aku belum ingin pulang karena ingin membahas memo HMJ dengan Bang Dito. Namun, mereka mengomeliku.

               Ketika June tengah serius menerangkan deret fourier, Bu Nur—pemilik indekos—tiba-tiba saja naik ke lantai dua. “Neng, maaf, nih, Ibu mau minta tolong.”

               Kami serempak menoleh ke arah Bu Nur yang berdiri di dekat tangga.

               “Ada apa, Bu?” Wita beranjak dari duduk dan mendekat.

               “Ibu titip Salam sebentar, ya. Ada telepon dari sekolahan katanya penting untuk persiapan UN minggu depan. Ibu kudu ke sekolahan, tapi Salam sendirian di rumah.”

               “Mm ….” Wita menoleh ke arah kami, meminta persetujuan. Semuanya bergeming. Raut wajah Bu Nur sudah seperti orang memohon pertolongan.

               June angkat bicara. “Maaf, Bu Nur, kita besok juga a—“

               “Sama saya aja, Bu. Salam di mana?” selaku, kemudian berdiri menjejeri Wita.

               “Alhamdulillah, sebentar aja, kok, Neng. Terima kasih, ya.” Bu Nur meraih tanganku. Aku hanya tersenyum tipis.

               “Ssst! Jav, lo udah gila? Kuis lo besok gimana?” bisik Wita, diikuti tiga pasang mata yang melotot ke arahku.

               “Kalian lanjutin aja belajarnya. Gue gampanglah!” Aku melambaikan tangan sambil menuruni anak tangga.

               Akan tetapi, setelah satu setengah jam bermain dengan Salam di rumahnya, Bu Nur tidak kunjung pulang. Salam mulai bosan dan merengek. Anak balita ini mulai menangis mencari ibunya. Karena kebingungan mengurus balita, akhirnya tercetuslah kata es krim dari mulutku dan Salam melonjak kegirangan. Untungnya, kesukaan Salam sama denganku.

               Aku membonceng Salam dengan motor ke McD yang tidak jauh dari kampus. Bahagianya bukan main, dia sibuk menunjuk-nunjuk gambar paket nasi ayam. Bahkan, dia minta dibelikan satu set Happy Meal yang ada hadiahnya. Yang benar saja!

               “Salam, uang Kak Jav kurang, nih. Beli es krim aja, ya,” bujukku sambil menunjukkan selembar uang dua puluh ribuan.

               Anak kecil itu pura-pura memasang tampang lemas.

               “Besok-besok kalau Ibu pergi, minta uang jajan, nanti Kak Jav antar ke sini lagi, deh,” bisikku mengajarkan sesuatu yang buruk pada Salam agar meminta uang ke ibunya. Ya, bagaimana lagi. aku saja masih minta ke Mama.

               “Oke, deh!” teriaknya ceria.

               Ha-ha-ha. Aku berhasil melakukan brainwashing pada Salam.

               Sambil menunggu es krim selesai dibuat, Salam berlarian ke sana-ke mari sambil merentangkan kedua tangannya. Aku menegurnya sekali, tapi tidak didengarkan. Kupanggil nama Salam lagi, tetap tidak diperhatikan, Dia seolah masuk ke dunianya dan tidak mendengar suaraku.

               Brukk!

“Ya ampun ….” pekik seorang perempuan yang blouse putihnya kini menjadi warna cokelat di bagian bawah. Float ice-nya tumpah ke lantai.

Salam juga terkejut, tangannya tidak sengaja mengenai perempuan itu. Semua orang melihat ke arah kami yang berada di tengah-tengah toko.

“Duh, sorry, Mbak. Maaf, ya, adik saya enggak sengaja. Saya ganti, ya, float-nya.” Aku buru-buru mendekat. Salam sudah memepetkan tubuhnya di kakiku. Dia pasti ketakutan.

“Gimana, sih. Makanya, adik lo, tuh, dijaga, dong! Gue enggak peduli lo ganti float-nya atau enggak, tapi baju gue gimana, nih! Gue, kan, mau belajar!”

Aku juga bingung. Aku celingukan, berharap menemukan solusi agar perempuan yang aku tebak dia pasti juga masih mahasiswa ini tidak marah-marah lagi.

“Pakai ini aja,” ucap seseorang sambil menyodorkan jaket varsity hitam ke perempuan di depanku.

               Aku sontak menoleh. Ryo berdiri di sampingku masih sambil memegang jaketnya.

               “E-eh? Enggak usah,” tolak perempuan itu.

Keningku mengerut. Lah, tadi ngamuk-ngamuk? Sekarang malah nolak. Caper doang, nih, cewek! batinku.

               “Udah, pake aja.” Ryo memaksa.

               “A-aku balikinnya ke kamu gimana?”

               Sialan, tadi aja ngomong pakai lo-gue, sekarang tiba-tiba pakai aku-kamu! geramku dalam hati.

               “Oh, enggak usah. Enggak apa-apa,” jawab Ryo santai.

               Aku mendelik ke arah laki-laki bego di sampingku. Jaket lo harganya jutaan, Dodoool! Lagi-lagi aku cuma bicara di dalam hati.

               “Jangan! Kamu jurusan apa? Mahasiswa Universitas S, kan?”

               Ryo diam sejenak. “Iya. Gue Ryo, Elektro 2021.”

               “Aku Lauren, Arsitektur 2021. Secepatnya aku kembalikan ke kamu, thanks, ya!” Kemudian perempuan yang ternyata seangkatan denganku itu berlalu dengan senyum yang luar biasa lebar.

               Aku berdecak. “Kalau sama cowok aja, baiknya kebangetan!”

               “Kak Jav, es krim ….” Salam menarik ujung bajuku.

               Oh, iya! Aku segera menuju counter karena Salam sudah ingat dengan es krimnya lagi.

               Setelah Salam berhenti membuat keributan dan sedang asyik memainkan lidah di permukaan cone, aku baru mengucap terima kasih ke Ryo.

               “Thanks, ya. Untung ada lo. Berguna juga ternyata punya temen cakep,” ucapku sambil cengengesan.

               Ryo mengangkat wajahnya yang sejak tadi memainkan sedotan di es kopinya. Aku baru sadar kalau sedang dikelilingi bocah-bocah yang sibuk bermain dengan lidah. “Tumbeeen, lo muji ketampanan gue.”

               “Terpaksa, sih, sebenernya.”

               Ryo manggut-manggut. “June mana? Kok lo sendirian?”

               “Di kosan.”

               “Ini anak siapa?” Ryo menunjuk Salam yang sejak tadi diam karena mulutnya sibuk dengan es krim dan sesekali mencuri pandang ke arah Ryo.

               “Anak ibu kos gue, tadi titip. Katanya bentar, enggak tahunya lama.” Aku menyeruput hot coffee-ku yang sudah kuberi tiga sachet gula.

               “Jav, setelah gue perhatiin, gelang lo bagus juga,” ucap Ryo sambil memperhatikan tanganku seakan sebentar lagi dia akan memintanya secara paksa.

               Aku sontak menyembunyikan gelang rajut hitam di tangan kananku. “Enggak bakal gue kasih ke lo, Monyet!”

               “GR amat, siapa juga yang mau minta gelang lo! Gue cuma mau bilang kayaknya gue pernah punya yang mirip begitu, deh.”

               Aku mengedikkan bahu. “Ya, elah, gelang begini banyak yang punya.”

               Salam yang sejak tadi diam, tiba-tiba menunjuk cup Ryo. “Om, itu es apa?”

               Aku tertawa mendengar panggilan Salam untuk Ryo.

               “Sshh! Gue belum om-om, panggilnya Kakak aja.” Ryo meletakkan telunjuknya di depan mulutnya sendiri sambil berbisik.

               Salam menyatukan alis. Dahinya membentuk sedikit kerutan. “Om bukan Om?”

               “Gimana, sih?” Ryo bertanya padaku.

               Aku mengedikkan bahu sambil menahan tawa.

               “Om kenapa bukan Om?”

               “Hah?” Ryo jadi ikutan bingung. “Om ini sebenarnya Kakak. Kak Ryo, jangan panggil Om.”

               Salam mengangguk, pura-pura mengerti. “Oke, Kakak Om. Jadi ini es apa?”

               Ryo mengarahkan bola matanya ke atas, menyerah. “Es kopi. Udah, kamu makan es krim itu aja. Kalau minum ini kamu enggak bisa tidur.”

Salam mengangguk lagi.

               “Btw, lo ngapain di sini?” tanyaku yang sejak tadi penasaran.

               “Belajarlah, kan, besok kuis. Tuh, anak-anak di sana.” Ryo menunjuk smooking area di bagian luar yang berada di belakangku.

Aku mengikuti menoleh telunjuknya. Ada tiga meja dijadikan satu oleh sepuluh laki-laki di sana, aku mengenal mereka semua. Mereka dikelilingi asap tebal. Bukan kabut. Itu asap rokok mereka! Semuanya memang ahli hisap termasuk Ryo. “Oh ….”

“Lo udah belajar, Jav?”

“Nanti aja, gampanglah.”

“Gampang gundulmu! Prof. Budi killer banget, lho, perkara nilai.”

“Hmm ….” Aku membuang pandangan ke objek lain. Sesekali mengusap mulut Salam yang berlepotan karena es krim.

“Empat cewek di kos lo, enggak ada yang mau diajak belajar bareng, Jav?”

“Hm?” Aku memandang Ryo yang duduk di depanku. Cara Ryo melihatku, tidak bisa ditebak. Tapi, anehnya aku tidak merasa dihakimi. “Justru mereka obsessed banget sama nilai. Yaah, gue aja yang enggak bisa ngimbangin mereka.”

“Bukan enggak bisa, Jav. Lo-nya yang enggak mau.” Ryo menyeruput es kopinya. “Lo, tuh, cerdas lagi. Sekali atau dua kali diajarin juga pasti bisa. Sayangnya, lo enggak fokus dan enggak serius.”

Aku mendengus. “Sotoy, lo, Yo.”

“Lo, tuh, mirip seseorang yang gue kenal. Sebenernya lo bisa, tapi lo enggak mau.”

“Ya udah, mau diapain lagi. gue emang enggak niat kuliah.”

Ryo melotot. “Terus tiga semester ini lo ngapain di kampus, hah? Nawaitu gebet cowok? Mending itu duit semesteran buat traktir gue sampai muntah.”

“Yee … itu, sih, maunya lo!” dengusku. Ryo benar, selama tiga semester ini aku ngapain, dong kalau tidak niat kuliah?

“Jav, beli apa gitu, kek. Minum melulu, kembung perut gue.”

“Iya, Kak Jav, aku mau burger,” timpal Salam yang ternyata es krimnya sudah habis sejak tadi.

“Gue mau kentang goreng!” seru Ryo ikut-ikutan dengan alis naik turun sambil memandang Salam.

Salam mengacungkan jempol mungilnya ke Ryo. “Sip, Kakak Om. Kita bisa bagi dua.” Lalu keduanya cekikikan.

               “Kalian, tuh, ya. Bisanya malak orang kere, doang!”

               “Enggak boleh gitu, Jav. Orang kalau banyak sodaqoh tuh bikin cepet kaya.” Lagi-lagi Ryo mengompori.

“Enggak ada sodaqoh, adanya lo yang kayak Sadako! Nakutin dompet gue aja!” Sepertinya aku salah mempertemukan Salam dengan Ryo yang kini berduet maut menjadi pemalak.

               Karena aku sendiri bingung bagaimana cara menemani Salam agar dia tidak bosan dan merengek seperti tadi, akhirnya aku  beranjak menuju counter lagi. Bu Nur juga belum membalas chat-ku, sepertinya beliau belum pulang ke rumah.

               “Asyiiik, burger!” teriak Salam girang.

               Aku yang lesu.

               Ryo mencomot kentang goreng di nampan. “Jav, kalau lo pulang, salam ke June, ya. Gue pengin ngajak dia jalan.”

               “Yo, HP lo mending digadai, deh. Enggak guna banget!” sindirku dengan tatapan sinis. []

 

1 Kajian Strategis

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • moonmaker

    kaya gue yg nunggu ngisi air sambil main game WKWKWK

    Comment on chapter Chapter 1 - Aku Javitri
Similar Tags
KILLOVE
3053      1038     0     
Action
Karena hutang yang menumpuk dari mendiang ayahnya dan demi kehidupan ibu dan adik perempuannya, ia rela menjadi mainan dari seorang mafia gila. 2 tahun yang telah ia lewati bagai neraka baginya, satu-satunya harapan ia untuk terus hidup adalah keluarganya. Berpikir bahwa ibu dan adiknya selamat dan menjalani hidup dengan baik dan bahagia, hanya menemukan bahwa selama ini semua penderitaannya l...
Potongan kertas
652      304     3     
Fan Fiction
"Apa sih perasaan ha?!" "Banyak lah. Perasaan terhadap diri sendiri, terhadap orang tua, terhadap orang, termasuk terhadap lo Nayya." Sejak saat itu, Dhala tidak pernah dan tidak ingin membuka hati untuk siapapun. Katanya sih, susah muve on, hha, memang, gegayaan sekali dia seperti anak muda. Memang anak muda, lebih tepatnya remaja yang terus dikejar untuk dewasa, tanpa adanya perhatian or...
Let's See!!
1366      662     1     
Romance
"Kalau sepuluh tahun kedepan kita masih jomblo, kita nikah aja!" kata Oji. "Hah?" Ara menatap sahabat kentalnya itu sedikit kaget. Cowok yang baru putus cinta ini kenapa sih? "Nikah? lo sama gue?" tanya Ara kemudian. Oji mengangguk mantap. "Yap. Lo sama gue menikah."
Hello Goodbye, Mr. Tsundere
746      550     2     
Romance
Ulya tak pernah menyangka akan bertemu lagi dengan Natan di kampus. Natan adalah panggilan kesayangan Ulya untuk seorang cowok cool, jenius, dan anti sosial Hide Nataneo. Ketika para siswa di SMU Hibaraki memanggilnya, Hide, Ulya malah lain sendiri. Ulya yakin si cowok misterius dan Tsundere ini punya sisi lain yang menakjubkan. Hingga suatu hari, seorang wanita paruh baya bertopi fedora beludru...
Sweet Equivalent [18+]
2738      773     0     
Romance
When a 19 years old girl adopts a 10 years old boy Its was hard in beginning but no matter how Veronica insist that boy must be in her side cause she thought he deserve a chance for a better live Time flies and the boy turn into a man Fact about his truly indentitiy bring another confilct New path of their life change before they realize it Reading Guide This novel does not follow the rule o...
Ethereal
1100      519     6     
Romance
Ada cowok ganteng, imut, tingginya 173 sentimeter. Setiap pagi, dia bakalan datang di depan rumahmu sambil bawa motor matic, yang akan goncenging kamu sampai ke sekolah. Dia enggak minta imbalan. Dia cuma pengen lihat kamu bahagia. Lalu, ada cowok nggak kalah ganteng dari sebelumnya, super tinggi, cool, nyebelin. Saat dideket kamu dia sangat lucu, asik diajak ngobrol, have fun bareng. Ta...
Anak Magang
25      23     0     
Fan Fiction
Bercerita sekelompok mahasiswa yang berusaha menyelesaikan tugas akhirnya yaitu magang. Mereka adalah Reski, Iqbal, Rival, Akbar. Sebelum nya, mereka belum mengenal satu sama lain. Dan mereka juga bukan teman dekat atau sahabat pada umumnya. Mereka hanya di tugaskan untuk menyelesaikan tugas nya dari kampus. Sampai suatu ketika. Salah satu di antara mereka berkhianat. Akan kah kebersamaan mereka ...
ARSELA: Perjodohan si Syar'i dan Ketua Geng Motor
96      89     3     
Romance
Memiliki hutang budi dengan keluarga Dharmendra, Eira mau tidak mau menyetujui perjodohan dengan putra sulung keluarga itu, Arsel, seorang ketua geng motor tersohor di kampusnya.
Memento Merapi
4333      1730     1     
Mystery
Siapa bilang kawanan remaja alim itu nggak seru? Jangan salah, Pandu dan gengnya pecinta jejepangan punya agenda asyik buat liburan pasca Ujian Nasional 2013: uji nyali di lereng Merapi, salah satu gunung terangker se-Jawa Tengah! Misteri akan dikuak ala detektif oleh geng remaja alim-rajin-kuper-koplak, AGRIPA: Angga, Gita, Reni, dan Pandu, yang tanpa sadar mengulik sejarah kelam Indonesia denga...
Love Arrow
364      236     2     
Short Story
Kanya pikir dia menemukan sahabat, tapi ternyata Zuan adalah dia yang berusaha mendekat karena terpanah hatinya oleh Kanya.