Rasanya aku harus berterimakasih kepada Rianti karena Rianti juga jualanku menjadi laku dan karena Rianti aku jadi memberanikan diri untuk berinovasi selain kerja di kantor.
Selain perlakuan manisnya mendengarkan seluruh ceritaku. Ia juga memberikan aku solusi dan hiburan ketika aku mengalami masalah keuangan.
Aku sangat menghargai jerih payahnya untuk bisa menyenangkan aku, mungkin ini terlihat sepele. Tetapi semua itu sungguh sangat berharga untukku. Terutama untuk ibukku. Aku sebenarnya ingin menceritakan kisah tragis yang menimpa diriku saat aku kecil kepada Rianti. Tapi aku terus berpikir ulang, masalah kelaurga biarlah aku yang akan tanggung. Tidak semua orang bisa mengetahui privasi keluarga. Biarlah semua orang mengetahui kalau aku baik-baik saja, agar aku tidak pernah merepotkan orang banyak.
Aku membuat brownies ketan hitam berukuran sedang untuk Rianti. Semoga saja Rianti suka dengan ini. Pasti Rianti bahagia dengan pemberian dariku.
-!!-
Menjelang makan siang di kantor, aku menunggu Rianti dan Mbak Yanti turun dari lantai atas. Lagi- lagi aku menutupi brownies itu pelan-pelan. Seolah-olah Rianti akan ulang tahun saja. Yap, aku sangat terharu dengan pencapaianku pada minggu-minggu terakhir ini. Ini hadiah untuk Rianti. Hadiah yang terlihat murah tapi pasti Rianti menyukainya.
Aku hanya mendapati Mbak Yani." Hai Lita," seru Mbak Yani ia datang sambil membawa botol minuman ditangan kanannya.
"Rianti nggak makan siang?" tanyaku aneh. Aku mengernyitkan keningku.
"Owh Lo nggak tahu Lita Rianti sudah resign dari kantor ini." Mbak Yani memegang tangan kananku.
"Hah resign, karena apa? Kok dia nggak ngasih tahu aku?" Jawabku penasaran.
Mbak Yani mengajaku pergi menuju kantin. Aku mengiyakan dia.
-!!-
Menjelang makan siang, kantin kantor sudah dipadati oleh karyawan-karyawan kantor. Mereka satu persatu mengerumuni warung yang berjejeran. Kami berdua menepi dan duduk dibangku-bangku yang memang terisi kosong. Bangku-bangku kantin terlihat penuh, banyak yang mengisinya karena padatnya jam makan siang. Aku mengantri ketoprak kemudian Mbak Yani memesan soto ayam khas Betawi.
Ada dua orang karyawan yang sedang menyantap asyik dua kebab di pinggir Mbak Yani. Ia menceritakan tentang keadaan Swiss yang sedang musim salju. Dengan enteng kedua karyawan tersebut akan Kesana naik becak. Yah mungkin meraka sedang bercanda. Pikirku. Aku sudah tidak bisa berkonsentrasi kembali karena perilaku Rianti yang aneh.
Untungnya Mbak Yani sudah bagus pikirannya. Mbak Yani terus-terusan menasehatiku bahwa kita berdua dikantor harus kuat menghadapi Mrs. Laura tanpa Rianti. Syukurlah Mbak Yani tetap bisa bercerita dan tersenyum lebar.
Aku tidak tahu harus bagaimana, mungkin aku akan melamun terus jika tidak ada Mbak Yani di sampingku, melihat Mrs. Laura yang killer juga aku merasa kantor ini bukan tempatku. Kantor ini juga sudah tidak kondusif untuk karyawan yang memang mau memperpanjang karirnya disini. Semua tertunduk pada bos. Sang manager yang tak lain adalah Mrs. Laura.-
-!!-
"Apa rencanamu kedepan Mbak Yani," tanyaku pelan. Aku menyendok ketupat sedikit demi sedikit kemudian menyeruput jus alpukat kesukaanku.
"Iya aku akan tetap bekerja disini Lita, walaupun Miss Laura killer apa boleh buat. Aku tetap akan bekerja disini, karena aku sudah tidak punya keluarga juga Lita." Mbak Yani mengusap pelipihnya yang penuh dengan keringat. Ia menuangkan beberapa sendok sambal ke dalam mangkok soto ayam.
Tentang kehilangan dan perpisahan sekarang aku mengerti keduanya saling berhubungan dan saling melengkapi. Sampai- sampai sama sekali aku tidak mengetahui dimana Rianti tinggal. Akh entahlah aku akan bertemu lagi dengan Rianti atau tidak.
Aku mencoba menghubungi Rianti memvideo call Rianti tetapi tidak pernah ada jawaban sama sekali.
Kehilangan dan perpisahan adalah cara Tuhan menunjukan pada kita bahawa kita tidak boleh menyia-nyiakan kebersamaan terutama dengan keluarga dan sahabat kita.
Kamu tahulah bagaimana kita hidup rukun dengan seseorang adalah hal tersulit yang aku alami, aku juga jarang bertetangga dengan rumah kontrakanku di Tebet. Hanya dengan teman SMAku dan kantorku sekarang aku bisa mengobrol panjang lebar.
Tiba-tiba hidupku merasa aneh aku telah kehilangan waktu bersama dengan Rianti.
Rerumputan di dekat kantin Telah meninggi dan bergoyang tertiup semilirnya angin. Udara Jakarta yang panas membuat rerumputan itu berubah menjadi warna sedikit kekuningan.
Semuanya sudah lebih dari cukup. Aku mendapatkan yang aku inginkan adalah menciptakan usaha brownies semua perlahan sudah berjalan lancar. Sepertinya aku harus mengajukan resign juga dari kantor ini. Akan aku gapai mimpi-mimpi dan cita-citaku di tempat yang lain.
Aku sudah bertekad akan membuat keputusan Minggu depan. Aku telah belajar banyak disini dan usaha bisnis brownisku mulai lancar setiap minggunya, mungkin aku juga tidak akan mengcancel orderan yang akan datang di hari biasa bukan weekend.
-!!-
Setiap orang memili tujuan, seperti aku. Aku menyusuri jalan pulang kerumah. Aku melewati gang-gang kecil yang menuju kontrakan rumahku. Aku menggenggam tumpukan berkas-berkas kantor yang akan aku bereskan dirumah saja. Semua tentang gaji karyawan. Ya, terkadang Rianti yang menyuruhku mengerjakan semua ini. Tetapi sekarang menjadi tugas aku yang membuat semua laporan ini.
Memang Rianti yang mengajariku semuanya tentang administrasi kantor. Aku menghabiskan siang hari yang panas diruang tamu kontrakan. Sibuk mengipasi wajahku yang berkeringat dengan di depan laptop kantor. Cuaca di Jakarta memang saat ini susah di prediksi bisa kadang panas tinggi kadang hujan. Jika sedang pana tak henti-hentinya aku meminum minuman dingin karena aku nyaris mati dari kepanasan.
Dengan celana jeans dan kaos oblong berwarna ungu kesukaanku, aku duduk mengangkat bahuku.
"Astaga Lita, ibu lupa menaruh remot tv dimana kamu tau nggak?" Ibu bolak balik mencari remot di lemari dekat tv.
"Oh iya lupa ibu, itu kan di kamar Lita." Aku menunjuk kamar.
Tanpa menunggu responku. Ibu sudah masuk kamar. Tak lama kemudian dia balik ke ruang tamu kontrakan kami.
"Mau makan bakso?" tanya ibu. Dia duduk disampingku.
"Boleh banget ibu, uangnya ada? Ya Tuhan, aku belum kasih uang ke ibu ya?" Aku mencari tasku yang tergeletak di ruang tamu.
"Sudah..sudah ini dari ibu ada kok," seru ibuku. Ia mengambil uang dari saku celananya.
"Wah kok ibu bisa ada uang, dikasih sama Om Charlie ya?" Tanyaku heran.
"Lita..Lita.. Om Charlie terus." Timpal Ibu kesal.
"Ya kalau bukan dari Om Charlie ibu punya uang darimana?"
Ibu hanya menggeleng kemudian pergi kelaur. Ia pasti mencari bakso bang Udin yang biasanya lewat depan kontrakan kami.
Tak lama kemudian ibu berbalik lagi ke dalam ruangan tamu kontrakan kami. Matanya berkilat-kilat menahan cengiran kecil di bibirnya.
"Tau nggak Lita lucu banget tadi Om Charlie masa sih dia mau jadi badut keliling. Hahah.."
"Masa sih Bu? Ada-ada saja Om Charlie." Aku yang saat itu terbengong-bengong dan memegang laptop menutup laptop.
Apakah aku harus menanyakan sesuatu ini kepada ibuku. Tapi apakah ibuku akan marah?
Ibuku sangat asyik menonton video Om charlie menjadi badut. Ia tertawa sendiri seolah-olah sedang mengagumi Om Charlie.
Ibu sedang kesurupan setan apa sih sampai ia harus mengagumi Om Charlie? Apa jangan-jangan matahari saat ini sedang melelehkan sayapnya. Ibu begitu sangat bahagia hanya karena video itu. Apakah ibu menyukai Om Charlie. Entahlah apa yang sedang ibu pikirkan. Aku hanya ingin membuat ibuku bahagia.
Belum selesai rasa penasaranku. Aku dikejutkan kembali dengan ibuku memakai baju gamis warna pink. Ibuku sangat anggun dengan pakaian tertutup itu. Aku hanya bersyukur ibuku sudah bahagia walaupun tanpa kehadiran ayahku.
Ibu menghentikan laptopku dan memandangku dalam-dalam. Merah bibir meronanya membuat ibu seperti sedang puber kedua. Hatiku sampai meleleh dibuatnya.
"Ibu bolehkan aku menanyakan sesuatu." Aku mematikan laptopku.
"Ya bolehlah apa sih yang nggak buat Lita?" Ibu merapihkan hijabnya yang menempel di kepalanya. Ia duduk kembali disampingku.
"Ibu tidak kangen dengan Ayah, ayah Taufik?" Jantungku mulai berdebar kencang.
"Sudahlah Lita itu masa lalu. Ibu sudah berpisah dengannya. Sudah lama sekali kita melanjutkan saja hidup kedepannya ya Lita." Ibu tersenyum tipis. Ia menundukkan kepalanya.
"Maaf ibu aku tanya, apakah rumah yang di harmoni itu rumah ayah dan nenek?" Aku mendekati ibuku. Memandangnya serius
"Lancang sekali kamu kembali ke rumah itu Lita... Semua gara-gara temanmu itu Rianti. Ya ibu Rianti yang telah merusak segalanya." Ibuku pergi meninggalkanku. Dia masuk kamarnya.
-!!-
Aku mengetuk kamar ibu yang tertutup rapat. Bebererapa kali. Lalu terdiam dan menunggu suara Ibu. Hal ini kulakukan karena aku sangat penasaran mengapa Ibu Rianti dan rianti ada hubungan keluarga dengan kami. Apakah ibu Rianti pengganggu rumah tangga ibuku?
Aku hampir saja melewati jalan belakang kamar ibu dan kulihat dari jendela. Ibu sedang menangis kesal. Ia sesekali mengahapus air mata yang mengalir basah ke pipinya.
Aku berbalik lagi kerumah kemudian aku mencari ponselku. Aku melihat status Rianti sedang berada di Stasiun Gambir. Tampaknya Rianti akan pergi dari Jakarta. Aku buru-buru menyewa ojek online agar lebih cepat pergi ke stasiun.
Ojek online menyusuri jalanan ibu kota Jakarta. Panas terik sudah tidak lagi aku rasakan.
Seluruh tubuhku seperti mati rasa seolah di Gilas orang truk, pikiranmu kacau, persendianku ngilu. Aku sangat penasaran dimana ayah berada. Apakah ayah masih hidup atau tidak. Hanya Rianti yang tahu. Jadi Rianti adalah adik kandungku? Sungguh aku tidak mengerti kalau benar hal ini bisa terjadi kepadaku.
Nah sekarang tolong katakan kepadaku bagaiman aku bisa menjalani hidup yang tidak sempurna ini. Apakah aku harus membenci Rianti.
Setengah jam aku sampai stasiun Gambir. Aku berlari menyusuri kereta-kereta yang akan menuju Yogyakarta. Aku tahu tidak ada yang sempurna di dunia ini. Begitu juga Aku dan Rianti. Aku baru tahu mengapa Rianti sangat dekat dengan diriku. Mungkinkan kita ada hubungan darah. Entahlah aku hanya berlari mengejar Rianti.
Setelah beberapa menit, aku menemukan seseorang mengenakan jaket jeans biru. Pasti itu Rianti.
"Riantiii tunggu....." Aku berteriak kencang memanggil Rianti. Kemudian berlari mengejar Rianti.
"Lita, kamu ada disini? Selamat atas kemenanganmu ya Lita." Rianti mengulurkan tangannya ia ingin berjabat tangan denganku.
"Rianti, Lo menghancurkan hidupku bersama ibuku, Rianti Kartika Dewi. Kau yang membuat hidup ibuku hancur. Puas kau Rianti." Aku menepis tangan Rianti.
"Maksudmu?" Hidup ibumu?" Rianti memaksaku untuk jalan ke samping kereta dan duduk di tempat duduk ruang tunggu kereta.
"Iya hidup ibuku hancur gara-gara kamu Rianti. Kamu sudah puas kan?" Aku terbawa emosi . Mataku membelalak.
"Ya Tuhan Lita, aku tidak tahu ibumu itu Ibu Lina, ayahmu menitipkan ini padaku." Rianti memberiku sepucuk surat.
"Sudahlah Rianti aku akan merobek surat ini. Aku muak dengan kamu dan keluargamu. "Aku meremas surat-surat itu.
"Lita tolong dengarkanlah Ibuku hanya sabahat ayahmu aku hanya tetangga nenekmu dikampung sana, tolong tenang dan baca suratnya dulu Lita." Rianti duduk di depan kakiku. Ia terus memohon.
Aku membuka surat Ayah :
Lita. Jangan kau membenci Rianti dan Ibunya. Dia hanya sahabat ayah. Ibumu salah paham dengan kami. Ayah dahulu tersulut emosi mengusirmu. Bisnis ayah bangkrut nak. Ayah tertipu dengan klien lama Ayah, saat itu hanya ibunya Rianti yang sangat baik membantu ayah, hingga ayah menjadi lumpuh. Rumah ayah tidak bisa dijual, karena hutang ayah yang sudah menumpuk. Hanya keluarga Ibu Riantiah yang merawat Ayah. Tolong sampaikan maaf kepada ibumu itu Lita. Tolong maafkan Ayah tidak bisa menjagamu bertahun-tahun. Sehat dan gapailah impianmu itu Nak.
Tidak terasa air mataku terus menetas. Aku tidak percaya kejadiannya akan seperti ini. Aku kangen ayah sudah bertahun-tahun aku tidak bertemu dengan ayah. Aku ingin memeluknya. Semoga ibu memamaafkan Ayah.
"Rianti tolong kasih tahu dimanakah ayah berada." Aku menggenggam tangan Rianti. Perasaanku begitu kalut.
"Maaf Rianti setaun yang lalu ayahmu sudah ada di surga. Kita sangat susah mencari-cari tahu tentang ibu dan kamu. Hingga saat itu aku bertemu dengan ibumu dan aku melihat foto ayahmu di rumahmu." Rianti menggenggam tangan Lita.
Ya Tuhan, ayah. Aku sangat menyesal tidak pernah bertemu ayah lagi. Aku hanya punya fotonya di kamarku. Ya Tuhan semoga ayah tenang di alam sana.
Bening diwajahku terus menetes. Aku memeluk Rianti.
TAMAT