“Maafkan aku Dewanti. Andai aku dapat memutar ulang waktu, pasti aku takan pernah meninggalkanmu. Duhai Allah, bahagiakanlah dia,” lirih Yudis dalam doa.
Sementara tangannya terus menari-nari memainkan kuas pada kanvas. Ia tak tahu sedang melukis apa, ia hanya mengikuti ke mana tangannya bergerak. Sesekali Yudis menghela napas dalam. Puntung rokok berserakan. Tiga botol minuman berenergi tergeletak pada meja kecil di sampingnya, sebagian ada yang tumpah. Tapi Yudis tak berusaha membetulkannya.
Semenjak masalah dalam rumah tangganya datang, Yudis lebih menghabiskan malam di galerinya di Jalan Taman Sari. Sebenarnya galeri itu belum sepenuhnya ia miliki karena sang pemilik masih belum mau menjualnya. Tapi karena Yudis sangat butuh tempat itu, Yudis pun mengontraknya.
Yudis sangat malas jika harus bersama dalam satu kamar dengan Ratri. Karena Yudis tak pernah bisa menahan emosinya kepada Ratri yang ia anggap telah mendustainya. Cacian dan hinaan selalu ia lontarkan kepada Ratri. Semua ia lakukan di hampir setiap kali mereka sedang berduaan. Maka dari itulah Yudis selalu pergi ke galerinya setelah ibunya tidur dan baru kembali setelah azan subuh terdengar. Ia tak ingin ibunya tahu kalau ia selalu keluar malam.
Sedang Ratri hanya mampu menangis dan menangis menerima perlakuan kasar Yudis kepadanya. Ratri tak mampu membela dirinya. Bahkan Yudis tak percaya ketika ia mengatakan dengan jujur bawa ia adalah korban perkosaan. Hati Ratri benar-benar hancur sehancur-hancurnya. Tapi ia selalu berusaha bertahan karena tak ingin apa yang sebenarnya terjadi tercium oleh mertua dan kedua orangtuanya.
Malam-malamnya kini selalu basah dengan air mata. Setiap sendiri, airmatanya selalu berderai meski ia sudah berusaha untuk menahannya. Kecuali ketika ia berada di dekat Bu Farida. Sebisa mungkin ia tak pernah menunjukan kesedihan. Meskipun itu semakin membuatnya tersiksa. Dalam kondisi terjepit seperti ini, ia tak punya teman untuk berbagi. Ingin sekali dia berteriak kepada semua orang bahwa ia hanyalah korban kebiadaban seorang laki-laki yang bahkan tak dikenalnya.
Sebenarnya sejak dulu, ketika Ratri mengalami pemerkosaan itu, ingin sekali ia melaporkannya ke Polisi. Tapi Ratri takut akan menjadi aib di keluarga besarnya. Ratri pun tak menyangka jika perbuatan biadab pria itu akan membuatnya hamil dan menjadi malapetaka baginya di kemudian hari.
Kejadian itu terjadi ketika Ratri sedang berkunjung ke rumah sahabatnya yang bernama Salwa di Jakarta. Teman satu kampus dulu. Juga pernah mengajar di Pondok Pesantren milik ayahnya. Namun setelah lulus, Salwa segera kembali ke Jakarta. Kunjungan Ratri saat itu, selain untuk bersilaturahmi juga ingin menyampaikan pesan ayahnya kepada Salwa untuk membatu mengajar di Pesantrennya kembali.
Ratri pergi sendiri. Sebenarnya Ustad Suhada menyuruhnya mengajak beberapa orang santri, tapi Ratri menolaknya dengan alasan ini bukan kali pertama ia bepergian sendiri. Setiba di Jakarta langit sudah gelap. Ratri segera mencari alamat rumah sahabatnya itu dengan menggunakan GPS dan sedikit tanya-tanya dengan orang yang ditemuinya. Akhirnya tepat pukul tujuh malam Ratri pun tiba di rumah Salwa dan disambut sangat ramah. Orangtua Salwa sedang tak ada di rumah ketika itu. Tanpa banyak basa-basi, Ratri segera mengutarakan maksud kedatangannya. Tapi sangat disayangkan, ketika itu Salwa telah mengajar di salah satu sekolah di Jakarta. Meskipun sedikit kecewa, Ratri tak bisa memaksa.
Malam itu pun Ratri terpaksa menginap di rumah Salwa. Bahkan Ratri ditempatkan di sebuah kamar khusus karena Salwa tahu kebiasaan Ratri yang selalu melakukan salat pada malam hari. Ratri sangat senang dengan pengertian sahabatnya itu. Setelah puas melepas kerinduan, mereka pun masuk kamar masing-masing.
Ratri tak tahan gerah. Ia pun memutuskan untuk mandi. Bahkan cukup lama ia di kamar mandi. Beda dengan di rumahnya. Ratri tak pernah lama-lama berada dalam kamar mandi. Setelah itu, ia memakai gamis tanpa kerudung. Setelah rambutnya di rasa kering, ia pun merebahkan tubuhnya di tempat tidur yang empuk itu. Mungkin karena tubuhnya lelah, maka tak perlu bermenit-menit Ratri pun langsung tertidur lelap.
Lewat tengah malam, Ratri terbangun karena merasakan tubuhnya berat. Seperti ada yang menindihnya. Alangkah kaget Ratri ketika ia membuka mata, seorang pria berambut tipis sedang menindihnya. Kedua matanya yang merah menatapnya penuh hasrat. Dari mulutnya tercium bau alkohol. Ratri berusaha melepaskan diri. Tapi ternyata kedua tangannya telah diikat disatukan dengan pinggiran tempat tidur. Mulutnya tak mampu bersuara, karena disumpal oleh kain. Hati Ratri menjerit kepada Tuhan. Air matanya berlinang, namun semua itu sia-sia. Pria itu dengan beringas terus menggagahinya secara berulang-ulang. Hingga akhirnya Ratri pun pingsan.
Pagi harinya Ratri baru tersadar. Tubuhnya terasa sakit, dan hampir saja Ratri berteriak ketika melihat noda darah pada seprei. Ratri sadar apa yang telah dia alami. Ia segera berlari ke kamar mandi, mengguyur tubuhnya yang sudah ternoda. Tak ada lagi yang tersisa pada dirinya saat itu. Ratri merasa dirinya hina, sehina-hinanya. Sekotor-kotornya.
“Siapa Pria biadap itu!” serunya dalam hati sambil terus mengguyur tubunya.
Dari luar terdengar sahabatnya Salwa memanggil-manggilnya. Ratri segera keluar dari kamar mandi. Ia ingin menceritakan semua yang telah dia alami kepada sahabatnya itu. Ia tak akan pernah memaafkan orang yang telah merusak kehormatanya. Ratri pun segera berganti baju lalu turun ke bawah dengan mata yang sembab.
Salwa sedang menata makanan ketika Ratri menghampirinya dan langsung duduk di hadapanya. Namun, baru saja Ratri membuka mulut hendak berkata, dari arah dapur masuk seorang pria berambut tipis, bermata bulat dan tajam.
“Kau!” seru Ratri dan langsung berdiri.
“Kalian rupanya sudah saling kenal ya? Ini kakakku,” timpal Salwa.
“O jadi pria biadab ini kakakmu? Dia telah memperkosaku, Salwa. Dia telah menghancurkan hidupku!” Ratri berteriak.
Namun pria itu malah menyeringai.
“Apa yang kau katakan Ratri! Jangan kau bicara seenaknya. Tak mungkin kakakku melakukan hal keji itu,” sahut Salwa
“Kau tidak percaya, Salwa? Lihat tempat tidurku. Ada darahku di sana. Semalam aku diikat dan mulutku disumpal hingga aku tak bisa melawan,” teriak Ratri matanya menatap pria di depannya penuh amarah dan kebencian.
Salwa menatap kakaknya. Kemudian mendekatinya. “Benar apa yang dia katakan, Kak?” tanya Salwa kepada kakaknya.
Kakak laki-lakinya itu hanya tersenyum sinis. “Halah jangan sok suci deh. Kamu suka kan!” jawabnya tenang. Matanya yang bulat menatap Ratri.
Ratri tak kuasa lagi menahan emosinya, dihampirinya pria itu dan segera ia menghujaminya dengan tamparan. Namun, sekuat apapun tenaga Ratri, dia tetaplah seorang wanita. Ia tak mampu berkutik ketika pria itu menangkap kedua tangannya.
“Hey! Jangan banyak tingkah atau kau mau aku melakukannya lagi di hadapan adikku!” bentak pria itu.
“Kakak sudah gila ya!” seru Salwa sambil berusaha melepaskan tangan Ratri dari cengkaraman kakaknya dan langsung memeluknya.
Tangis Ratri pun kembali terdengar. Diiringi cacian kepada pria yang telah merenggut mahkotanya. “Aku kotorr ... aku hinaaaa ...,” teriak Ratri. Namun dengan wajah sedingin mayat, pria itupun pergi. Seolah tak pernah terjadi apa-apa.
***