Secarik senja begitu indah. Dewanti duduk di halaman belakang rumahnya. Menatap gemawan yang berarak ke arah kiblat. Rambutnya meriap diembus angin. Mata coklatnya masih terlihat sayu. Seorang pria berpakaian rapi mendekati dan langsung duduk di sampingnya.
“Sendiri aja nih!” sapa pria itu.
“Eh, Dokter. Saya kira siapa,” jawab Dewanti.
Ternyata pria itu adalah Dokter Bagas. Orang yang banyak berjasa atas kesembuhan Dewanti sehingga dalam jangka lima minggu saja, Dewanti sudah diizinkan pulang meskipun harus memakai tongkat. Dewanti hanya menatap sekilas. Karena detik berikutnya ia kembali menatap arakan awan di langit senja.
“Bagaimana kondisi kakimu?” tanya Dokter Bagas. Sambil melihat kaki Dewanti yang saat itu memakai rok di bawah lutut sehingga betis jenjang berbulu halus itu mampu membuat Dokter Bagas menelan ludah.
“Lebih baik, Dok!” jawab Dewanti singkat.
“Aku sudah katakan kalau di luar jangan panggil Dokter, panggil Bagas saja atau Kak,” sahut Bagas.
Hubungan mereka sebagai dokter dan pasien rupaya berlanjut setelah Dewanti diizinkan pulang. Dokter Bagas memang telah jatuh hati pada gadis berdarah campuran Belanda-Jawa itu. Kecantikan Dewanti, kulitnya yang putih bersih ditambah dengan sepasang mata coklat membuat Dokter Bagas jatuh cinta. Dewanti memiliki semua itu karena ayahnya Pak Jovan adalah warga asing sedang ibunya asli darah Jawa.
Dewanti hanya tersenyum dan matanya masih tetap melihat arakan gemawan di atas sana.
“Kok diem, De!” seru Bagas.
“Eh maaf, Dok, eh Kak! Aku sedang memperhatikan gemawan itu. Lihat deh sama kakak!”
Bagas mendongak. Benar saja, awan berarak itu sangat indah. Laksana bunga kol yang mengapung di permukaan telaga nan biru, “Hmm ... indah.”
“Bukan cuma indah, Kak. Tapi awan berarak itu ibarat doa-doa umat manusia menuju kiblat di mana ijabah Tuhan berada,” sahut Dewanti.
“Awan berarak itu juga ibarat cita dan cinta manusia yang tak semua berhasil mencapai puncak tujuan. Ada angin kencang, bahkan cita dan cinta umat manusia itu harus berakhir terbakar matahari di kiblat sana. Ya, hanya sedikit awan yang berhasil mencapai malam nan tentram,” sambung Dewanti.
Bagas terdiam. Ia tak menyangka kalau Dewanti ternyata memahami ilmu filsafat. Untuk beberapa saat, tak ada yang bersuara. Dewanti masih khusuk menatap awan berarak. Ada senyum getir ketika ia melihat awan yang hancur tak mampu bertahan diembus angin kencang.
“Seperti cintaku, usahaku yang tak mampu mempertahankan Yudis untuk selalu berada di sampingku. Tapi aku Ikhlas, Tuhan. Berikanlah kebahagiaan untuknya dan wanita yang menjadi istrinya,” lirihnya dalam hati. Air mata mengembun di sudut matanya.
“Malah pada ngelamun. Ngobrol dong! Nih Mama bawain teh manis dan kue keju biar ngobrolnya makin asik.” Tiba-tiba Bu Nining muncul diikuti oleh Mbok Inah sambil membawa dua cangkir teh manis dan satu toples kue keju kesukaan Dewanti.
Bagas langsung menyambut dengan senyum ramah. Beda dengan Dewanti yang masih saja mendongak ke langit menatap awan berarak.
“Duh jadi ngerepotin. O iya, Pak Jovan mana, Bu?” tanya Bagas.
“Nggak repot kok. Bapak sedang di Singapura mengurus bisnisnya,” jawab Bu Nining.
“Memangnya ada apa, Nak Bagas?” tanya Bu Nining kembali.
“Ah, tidak apa-apa kok. Hanya saya ingin minta izin untuk mengajak Dewanti makan malam saja. Itu pun kalau diizinkan.” Bagas bicara dengan nada lembut dan santun. Dewanti meliriknya.
“O kirain ada apa. Silahkan saja kalau Dewanti bersedia dan tidak merepotkan Nak Bagas. Kaki Dewanti kan belum pulih benar,” jawab Bu Nining.
Bagas tersenyum.”Gimana, De?” tanya bagas pada Dewanti.
Yang ditanya tak menjawab. Dewanti malah menatap ibunya. Bu Nining mengerti apa yang dikatakan oleh tatapan mata putrinya itu.
“Nggak apa-apa, De. Kalau kamu mau silahkan saja. Lagian sudah lama juga kamu tidak keluar rumah. Yah, hitung-hitung cari hiburan biar pikiranmu segar kembali,” sahut Bu Nining.
“Apa nggak merepotkan, Kak?” tanya Dewanti.
“Ya nggak lah! Justru Kak Bagas senang bisa jalan sama kamu. Anggap saja ini salah satu terapi. “ Bagas menjawab dan tersenyum. “Gimana?”
Dewanti pun mengangguk tanda mau. Bu Nining tersenyum. Bagas terlihat senang.
“Oke deh. Sekarang Kak Bagas pulang dulu ya. Masih ada sedikit tugas di rumah sakit. Nanti malam sekitar jam delapan Kak Bagas jemput,” kata Bagas.
“Iya Kak. Dewanti tunggu. Terima kasih ya,” jawab Dewanti.
Bagas pun pamit. Dewanti dan Bu Nining mengantarnya sampai halaman. Setelah Bagas keluar dan tak terlihat lagi, Bu Nining dan Dewanti kembali masuk. “Dokter Bagas baik ya, De,” kata Bu Nining.
Dewanti hanya menjawab dengan senyum. Namun, baru saja pintu rumah ditutup, terdengar suara motor di luar pagar. Tak lama terdengar juga pintu pagar dibuka. Suara motor pun terdengar masuk dan berhenti tepat di depan teras rumah.
“Arya,” lirih Dewanti. Ia kembali membuka pintu. Sedang Bu Nining masuk kamar.
Benar saja, ketika Dewanti keluar, di halaman Arya baru saja mematikan motor dan membuka helmnya. Dewanti langsung menyambutnya dengan senyum dan lambaian tangan. Bagaimana tidak, Arya lah yang selama ia sakit dengan tulus membantunya untuk mencari Yudis. Meskipun pada akhirnya ia menemukan Yudis dalam sebuah kolom berita bahagia pada koran.
Arya segera menghampiri Dewanti. Kemudian mengajaknya untuk duduk pada kursi di sudut teras rumah yang lumayan luas itu. Kali pertama yang ditatap Arya adalah kaki Dewanti. Namun tatapannya beda dengan tatapan Dokter Bagas yang disertai birahi. Tatapan Arya lebih pada sebuah perhatian dan sedikit kecemasan karena Dewanti masih harus memakai tongkat untuk berjalan.
“Bagaimana kakimu, De?” tanya Arya.
“Hmm ... pertanyaan yang sama dengan Dokter Bagas tadi. Jadi, kamu bisa tanya ke Dokter Bagas apa jawabannya,” canda Dewanti.
“Idih ... Dokter Bagas mulu. O iya De, jalan-jalan yuk. Cari hiburan!” seru Arya.
“Hmm ... ajakan yang sama dengan Dokter Bagas tadi.” Dewanti tersenyum kembali.
“Yah ...,” sahut Arya memasang wajah kecewa.
“Lagian kamu telat sih!” timpal Dewanti.
“Iya sih. Tapi nggak apa-apa deh. Lagian Dokter Bagas pasti bisa menjaga kamu dengan baik. Dokter gitu loh!” sahut Arya.
Dewanti tersenyum. “Nanti deh, kalau aku udah pulih lagi. Aku sediakan waktu khusus buat kamu, Ar!”
“Jangan bohong ya ....”
“Janji!” sahut Dewanti sambil mengacungkan jari telunjuk dan jari tengan bersamaan.
“Okeh aku pegang janjimu. ‘Waktu khusus’.” Arya tersenyum meski hatinya kecewa.
“Haha ... kamu ini. Lagian aku mau jalan sama siapa lagi kalau bukan sama kamu Ar. Aku kan sekarang jomblo,” timpal Dewanti memasang muka memelas.
“Udah jangan didramatisir begitu, kayak pemain opera mati peran aja!” seru Arya, “o iya, aku bawa sesuatu nih buat kamu!” Arya sambil membuka tas gendongnya. Kemudian mengeluarkan sebuah boneka kucing bebulu lebat dan langsung diberikan kepada Dewanti.
“Ih ... lucunya. Dapet darimana, Ar?” Dewanti nampak senang dan langsung memeluk boneka kucing tersebut.
“Dari temen. Bukan cuma lucu loh, dia juga nakal.”
“Hah masa!”
“Ho oh. Coba deh kamu berdiriin di meja. Dan kupingnya kamu tekan.”
Dewanti segera menuruti apa yang dikatakan Arya. Ia segera menekan telinga boneka kucing itu. Maka terdengarlah suara meong kecil. Namun makin lama meongan itu melambat dan lebih kepada suara kucing sedang menangis. Dewanti tertawa hingga bahunya bergerak-gerak.
“Bukan cuma itu!” kata Arya.
“Apa lagi?”
“Coba kamu angkat ekornya hingga terdengar suara klik.”
Dewanti segera melakukannya. Boneka kucing itu tiba-tiba mengangkat sebelah kakinya dan serrr ... keluar air dari selangkangan boneka itu hingga membasahi tangan Dewanti. Namun Dewanti malah tertawa.
“Iiihhh ... dia pipiss ...,” serunya sambil kembali mengangkat ekor boneka itu. Lama-lama boneka itu pun tak mengeluarkan air lagi.
“Kok nggak pipis lagi sih. Ayo dong, Pus! Pipis lagi!” seru Dewanti dan tetap tertawa.
“Airnya udah habis. Kamu harus mengisinya melalui hidungnya.” Arya bahagia sekali melihat Dewanti tertawa.
“Makasih ya, Ar. Kamu memang paling baik sedunia deh.” Dewanti berkata sambil menatap Arya.
“Apa pun yang bisa membuatmu bahagia akan aku lakukan, De.” jawab Arya.
“Idih, gombal ah.” Dewanti memajukan bibirnya.
Mereka kembali tertawa bersamaan dengan azan maghrib berkumandang, Arya pun pulang. Sebenarnya Dewanti mengajaknya untuk pergi nanti malam bersama Dokter Bagas. Tapi Arya menolak. Takut jadi kambing conge, katanya.
“Lain kali aja, nggak apa-apa,” kata Arya sebelum menyalakan motornya dan pulang.
***