Gua terlahir sebagai anak yang pendiam, bukan waktu lahir gua ga nangis atau semacamnya ya, aneh-aneh aja lu. Maksudnya sewaktu gua TK atau SD gua bener bener jarang ngomong, ke siapapun. Sehingga sulit untuk gua buat dapet temen.
Pas gua pertama kali masuk SD gua cukup bingung dengan keadaan baru ini, karena beberapa anak sudah ada yang punya temen, ada juga yang sudah punya genk, ada juga yang udah bawa anak. Pokoknya ga ada yang sendiri deh.
“Nanti pas Adek masuk kelas langsung cari temen yang satu TK ya.” Itu lah petuah nyokap sebelum gua masuk ke kelas 1 SD petama kali. Sebagai anak yang menjunjung tinggi surga di telapak kaki ibu, hal pertama yang gua lakukan adalah menyari paras yang gua kenal. Azeh.
Posisi saat ini, gua masih berdiri di depan kelas mencari-cari muka yang familiar. Sayangnya waktu SD temen gua juga ga banyak, gua cuma punya 3 orang temen. Itu juga gara-gara nyokap gua temenan sama nyokap mereka, jadi gua ga bener-bener tau apakah mereka menganggap gua teman atau tidak.
Kepala gua mulai pusing, pandangan gua mulai kabur, keringat mulai muncul di berbagai bagian tubuh, otak mulai memikirkan hal-hal tidak masuk akal. Intinya gua mau pulang.
Sesaat sebelum gua berbalik badan tiba-tiba ada sesosok bocah yang sepertinya gua kenal, melenggang melewati gua yang sudah putus asa ini. Dan ya benar, saja itu adalah salah satu dari teman gua di TK. Harapan untuk masuk SD pertama kali telah muncul.
“Oii, Niko!” panggil gua ke harapan tersebut. Dia memalingkan wajahnya ke arah gua. Di otak gua saat itu dia berdiri dengan gagah berani seakan-akan seorang pahlawan yang siap untuk membasmi seluruh kejahatan di SD ini. Ciamik.
“Ehhh Kii, masuk SD ini juga?” tanya sang harapan ke pada gua.
“Iya nih, dulu saudara gua juga sekolah disini jadi nyokap nyuruh gua masuk ke sini juga,” jawab gua sambil menyapu air mata yang sudah sedikit keluar.
“Terus lu mau duduk di mana? Belakang aja mau ga? Depan udah pada di dudukin anak cewe nih.”
“Boleh boleh.” Gua langsung bergegas duduk di paling belakang barisan tengah. Gua meletakkan backpack gua di kursi, dan duduk dengan melipat tangan gua di meja seperti anak SD pada umumnya. Setidaknya itu yang gua kira anak SD lakukan.
Tapi saat gua melihat ke arah sobat baik gua yang akan duduk di sebelah gua, doi lagi bicara dengan orang lain. Dan mereka terlihat cukup akrab, apakah dia dari TK gua juga? Apakah dia salah satu teman gua juga sewaktu TK? Kalau iya kehidupan SD gua akan sangat menyenangkan.
Namun pas mereka berjalan ke arah gua, gua sama sekali ga familiar dengan wajahnya. Hmm apakah dia anak TK gua tapi dari kelas sebelah? Karena gua bener-bener ga inget sama mukanya.
“Ki ini saudara gua, Farras,” kata Niko sembari mengenalkan gua ke sosok bocah di sebelahnya.
Ini salah satu keadaan yang sangat gue benci. Ini akan terdengar sangat lebay, lemah, lesu dan lain-lain, tapi gua sangat canggung kalau baru pertama kali kenalan dengan orang baru. Walaupun pada saat itu gua masih SD tapi itu benar-benar terjadi. Gua secanggung itu.
Di otak gua pada saat itu muncul berbagai macam tindakan yang gua harus lakukan. Mulai dari menyodorkan tangan dan bersalaman, menganggukan kepala ke arah dia, atau tiba-tiba merangkul mereka berdua dan berkata “kita semua bersaudara wahai sahabat,” semua terdengar salah.
“Halo,” kata si Farras membuyarkan bengongan gua. Syukurlah dia yang memulai percakapan. Yang harus gua lakukan saat ini hanyalah mengatakan halo dan mungkin mengangkat telapak tangan gua supaya terlihat ramah. Ya itulah yang harus gua lakukan, gampang.
“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.” Yak, otak dan mulut gua ga sinkron.
Dia diem, gua diem, Niko diem. Sekali lagi gua sukses membuat keadaan canggung, gua blom tau apakah ni orang islam atau engga. Bahkan gua ga tau si Niko ini islam apa engga. Benar-benar teman yang baik engkau Rizki.
“Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh, haha aneh dah lu.”
Walaupun gua di bilang aneh gua hanya bersyukur dia jawab salam gua.
“Lu ngapain dah, Ki? Malu nih gua,” kata Niko sembari meletakan tasnya di meja sebelah gua. Hal lain yang gua syukuri saat ini adalah Niko duduk di sebelah gua, tadinya gua pikir dia bakal duduk bareng saudaranya di depan gua. Ternyata dia lebih memilih duduk di sebelah gua. Gua pengen selebrasi.
“Eh Niko, jagain meja depan lu ya, itu di depan ada temen gua,” kata si Farras sambil menunjuk ke salah satu cewe yang lagi berdiri di depan kelas.
“Aduh gua mau pipis nih,” jawab Niko sambil berdiri.
“Gua aja yang jagain,” gua berharap dengan tawaran ini akan mempergampang apapun hubungan gua dan dia di masa depan. Amin.
Setelah masalah besar ini terselesaikan, Farras pun pergi ke depan untuk nyamperin temannya, dan Niko langsung cabut ke toilet. Gua hanya duduk diam dan mengamati para calon-calon teman gua ini.
Gua melihat sekeliling dan memang ga ada orang lain selain Niko yang gua kenal. Dan kebanyakan orang di kelas ini adalah cewe. Dan setelah gua sadari sepertinya banyak juga orang yang belum punya temen, karena kebanyakan dari mereka ga ngobrol sama temen sebangkunya. Mungkin mereka satu TK tapi tidak kenal dekat, tidak seperti gua dan Niko. Hmm kasihan kamu cil.
Di tengah lamunan gua tiba-tiba ada dua orang cewe yang lagi berdiri di depan kelas yang menunjuk ke kursi di depan gua. Gua yakin 100% mereka mau duduk di kursi itu, dan atas dasar dari permintaan calon sahabat sejati gua, gua harus melindungi kursi-kursi di depan. Itu harga mati.
Dan otak gua mulai memikirkan hal-hal yang gua lakukan agar kursi-kursi itu tidak di rebut, mulai dari menarik kursi-kursi itu ke sebelah gua, atau saat mereka sudah di dekat meja itu gua bakal ngomong, “Stop kalian, kursi-kursi itu sudah ada yang punya. Tolong mundur perlahan dengan tangan di atas.” Tapi itu terlalu western sepertinya.
Gua masih berfikir bagaimana cara yang tepat dan tidak jahat, tapi mereka sudah mulai jalan ke arah gua. Gua berfikir dengan keras bagaimana cara yang tepat untuk menolak mereka duduk di situ. Akhirnya otak gua memberikan solusi terbaik, yaitu gua meletakan tas gua di meja depan agar mereka tau ada orang yang duduk di situ.
Mantap, rencana yang tidak ada celah nya. Tiba-tiba gua terfikir kenapa ga dari pertama kali si Farras ke depan dia ninggalin tasnya di meja depan ya? Ah memang kebiasaan calon sahabatku ini ada-ada saja.
Oke gua sudah memegang tas gua dan bersiap melemparnya ke depan, gua bersiap menghitung di dalam hati agar semuanya sesuai dengan perhitungan gua. Lalu gua mulai menghitung satu… dua.. dan yak, ntah apa yang terjadi bukannya melempar tas gua ke depan gua malah memindahkan seluruh tubuh gua ke depan. Tanpa gua sadari gua sudah duduk di kursi depan. Ternyata selain tidak sinkron dengan mulut, otak gua juga ga kompak dengan badan ini. Hebat.
Dalam keadaan ini gua hanya diam, dan kedua cewe yang sepertinya mau duduk di kursi ini hanya diam melihat gua. Mata kita bertiga bertemu, tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut kami. Dan otak gua kembali berulah, gua berfikir untuk menjadi the bigger person di keadaan itu. Walaupun sampai sekarang gua ga mengerti apa arti kata-kata tersebut.
“Kursi ini dan kursi belakang ada yang dudukin,” gua ga ngerti sampe sekarang kenapa gua harus ngomong kaya gitu. Padahal bisa aja gua bilang kalau temen gua duduk di sini atau kata-kata friendly lainnya.
Setelah mendengar kata-kata songong dari gua, mereka cuma diem sambil menunjukan muka sinis khas bocah-bocah yang sering di bilangin sama emaknya buat jangan deket-deket sama orang aneh. Yup mereka memang sedang berhadapan dengan orang aneh.
Akhirnya mereka duduk di kursi kosong lainnya, yang mana kursi itu ada tepat di sebelah gua. Dan mereka berdua duduk sambil melihat ke arah gua yang baru saja mengusir mereka. Ga lama dari kejadian pengusiran tersebut, Farras kembali dengan temannya. Gua yang melihat mereka berjalan menuju ke arah gua pun pindah balik ke meja gua yang sebenarnya.
“Makasih ya Ki, dah jagain,” kata dia ke gua. Dan sekali lagi otak ini membuat gua tidak tahu harus menjawab apa, ya gua tau gua hanya harus mengucapkan, “Sama-sama.” Tapi gua harus manggil dia apa? Far? atau Ras? Atau si fullan?
Kalau namanya seperti gua kan gampang ya, kalau ga Riz ya lu bisa manggil gua Ki. Sama-sama enak didenger, tapi kalau Farras gua ga tau harus manggil apa. Maafkan saya wahai Farras-Farras lain di luar sana.
Takut membuat suatu kesalahan ga penting lainya akhirnya gua cuma senyum sambil mengangguk saja. Pilihan yang tidak mungkin salah. Mereka pun duduk dan meletakkan tasnya di depan gua, mereka terus mengobrol tanpa menghiraukan gua yang Cuma bisa bengong di belakang mereka. Gua berusaha keras untuk tidak mendengarkan percakapan mereka, takutnya mereka sedang membicarakan rahasia negara. Maklum, anak-anak imajinasinya masih sangat liar.
“Eh lupa, kenalin nih temen gua, Ayu. Yu ini Rizki, temen baru gua,” si Farras tiba-tiba ngenalin gua ke temennya. Dan dia menganggap gua temen barunya. Awal sekolah gua udah buat 1 teman baru? Mama pasti bangga.
“Halo, Ayu,” kata si Ayu sambil melambaikan tangannya. Belajar dari 3 halaman di sebelah, gua memutusakan untuk hanya meniru dia, yaitu melambaikan tangan dan memperkenalkan diri. Sip ga bakal ada yang menganggu kali ini, walaupun kita tau otak gua bakal menganggu.
“Hehe halo,” sip kali ini otak gua bisa di bawa kompromi. Akhirnya si Farras dan si Ayu ngobrol sambil sedikit ke arah ke belakang, sepertinya agar gua juga bisa ikut dalam percakapan mereka. Sungguh dewasa sifat anak-anak ini. Terharu.
Ga lama gua mendengarkan percakapan mereka yang ga begitu gua mengerti tentang game kartu yang bernama Yu-Gi-Oh, si Niko pun balik dari kamar mandi. Yah dia pergi cukup lama sih, mungkin dia nyasar dan tidak tau arah kembali. Sungguh malang nasibnya.
“Lah kalian masuk SD sini juga?” tiba-tiba Niko sebelum ke tempat duduknya, dia berbelok ke arah cewe-cewe yang gua usir tadi. Apakah hubungan mereka? Apakah salah satu dari cewe tadi adalah mantan Niko? Apakah Niko dulu di TK seorang playboy? Kenapa gua tidak pernah mendengar hal ini sebelumnya?
“Oy Ki, ini si Caca sama si Lia nih. Ternyata masuk SD sini juga.” Mereka bertiga melihat ke arah gua. Dan gua cukup familiar dengan muka mereka ternyata, gua bener-bener ga sadar sebelumnya. Sepertinya mereka berdua dari TK yang sama dengan gua, tapi gua ga ingat kami dari kelas yang sama atau ga.
Mereka cuma diem ngeliat ke arah gua, fix mereka nunggu gua ngomong duluan. Dan seperti masalah-masalah di halaman sebelumnya, gua ga tau harus ngapain. Apakah melambaikan tangan? Atau memeluk mereka terus teriak, “Kita semua bersaudara?” atau ngucapin salam lagi? Ah apa aja deh yang keluar dari mulut gua.
Gua pun mulai menghitung mundur satu… dua…
“Bonjour. . .” Gua pengen balik ke TK.