Menjelang suasana akad nikah. Semua sudah bersiap dengan peran masing-masing.
“Mari kita atur posisi duduk.”
Zakaria mengatur posisi tempat duduk. Shafwan duduk di sofa didampingi Ayah Abraham. Di depan Shafwan, sudah siap Ayah Ahmad dengan Dokter Yanto sebagai saksi. Zakaria juga bertindak sebagai saksi. Dua orang perawat ikut menyaksikan di dalam kamar. Sonya sudah menyiapkan smartphone-nya untuk live streaming. Tak lupa, ia membagikan link Youtube ke Queen dan anak-anak Rumah Belajar supaya tetap bisa menyimak dari jauh.
Pengantin putri, Azkadina, didampingi ibunya dan Mama Sinta dan Sherine. Ia tak kalah dag-dig-dug menantikan momen sakral itu. Tak banyak senyum yang ditampakkan. Tangannya memegang erat tangan ibunya.
“Minum dulu semuanya. Biar tidak tegang begitu, jelek di kamera.” Suara Sonya memecahkan kebekuan suasana. Farel berinisiatif membawakan air mineral gelas kepada semua hadirin. Shafwan menyambut air minum lalu meneguknya sampai tak bersisa. Keringat dingin itu berangsur berkurang.
Tangan Ayah Ahmad diulurkan ke depan lalu Shafwan menyambutnya. Kedua tangan mereka saling berjabat erat. Ayah Ahmad merasakan kesungguhan pemuda berkulit putih dan berbadan gempal itu melalui erat jabat tanganya.
“Bismillahirrohmanirrohim. Saya nikahkan, putri kami, Azkadina Jasmine Irawan binti Ahmad Irawan dengan mas kawin perhiasan emas, dibayar tunai.” Suara Ayah Ahmad mengawali ijab kabul pernikahan.
“Saya terima nikah dan kawinnya, Azkadina Jasmine Irawan binti Ahmad Irawan dengan mas kawin perhiasan emas, dibayar tunai.” Ucapan balasan Shafwan menandakan sah sebuah pernikahan.
“Sah,” sahut Zakaria dan Dokter Yanto bersamaan.
Tak terasa air mata menitik dari sudut mata Shafwan. Lega. Haru. Bahagia. Campur aduk.
Ia memeluk Ayahnya erat.
“Doakan Shafwan Pa,”ucap Shafwan.
“Barokallahu laka wa baroka alaika wa jama’a bainakuma fii khair.”
Kemudian Shafwan beralih mencium tangan Ayah mertuanya dan memeluknya erat.
“Kuserahkan Azkadina kepadamu. Jaga dia, cintai dia, didik dia dengan cara yang lebih baik dari saya, ayahnya. Gandeng dia ke surga seperti yang kau janjikan.”
Shafwan tak mampu berkata-kata. Air mata terus mengalir dari kedua matanya. Hatinya menghangat mendengar perkataan Ayah mertuanya. Ia beralih ke Ibu mertua. Salim takzim sebagai menantu.
“Apapun kekurangan Azkadina, kami sumbernya. Kami yang tak sempurna mendidik Azkadina. Ingatkan istrimu dengan baik. Dia kesayangan kami semua.” Terbata ibu Azkadina berpesan kepada Shafwan. Tangisnya pecah. Begitu pula dengan Shafwan. Ia telah mengambil tanggung jawab sebagai wali Azkadina, yang bertanggung jawab dan melindunginya.
Suasana haru menghiasi kamar VIP berukuran 7x7 meter persegi itu. Mama Sinta juga memeluk Azkadina. Keduanya tenggelam dalam tangis bahagia.
“Terima kasih, sudah menjadi akhir dari penantian putraku,Shafwan. Terima kasih sudah berkenan menjadi anak mantu Mama Sinta.”
“Mohon bimbingan dan doa restu Mama Sinta.”
Dokter Yanto dan dua perawat yang turut menyaksikan, memberikan ucapan selamat dan doa kepada pengantin.
Si kecil Farel berjalan ke arah Shafwan seraya memanggilnya,”Om Shafwan.” Shafwan memeluk bocah tampan itu. Ia tak menduga, menjadi guru Farel, siswa pindahan itu, menjadi jalan menuju jodohnya. Ia mencium pipi gembul Farel seraya berkata, “halo anak salih sekarang sudah jadi keponakan Ustaz ya.” Gigi kelinci Farel menyembul tampak saat tersenyum lebar kepada Shafwan.
Perlahan, Shafwan menghampiri pengantinnya yang masih duduk di atas ranjang dengan infus terpasang. Dadanya serasa mau meledak saat menatap lekat Azkadina yang juga menatapnya mesra. Mata keduanya masih basah oleh air mata. Shafwan tak lagi harus mengalihkan pandangannya. Ia menikmati setiap tatapan indah itu.
Azkadina meraih tangan Shafwan dan menciumnya takzim. Shafwan membalasnya dengan mencium kening Azkadina dan mengucapkan doa.
“Allahumma baarik lii fii ahlii, wa baarik lahum fiyya. Allahummazuqnii minhum warzuqhum minni. Allahummajma' baynanaa maa jama'ta ila khairin, wa farriq baynanaa idza farraqta ilaa khairi.”
“Ya Allah, berikanlah keberkahan kepadaku dan kepada istriku, serta berkahilah mereka dengan sebab aku. Ya Allah, berikanlah rezeki kepadaku lantaran mereka, dan berikanlah rezeki kepada mereka lantaran aku. Ya Allah, satukanlah antara kami (berdua) dalam kebaikan dan pisahkanlah kami (berdua) dalam kebaikan.”
Azkadina semakin tenggelam dalam tangisnya. Air mata tak berhenti mengalir dari kedua matanya. Shafwan mengusap air mata Azkadina dengan kedua tangannya. Mata mereka lekat menatap tanpa banyak bicara. Semua yang akan diungkapkan sudah terbaca jelas dari tatapan penuh berkah itu.
“Semoga aku bisa menjadi istri yang kau impikan.”
“Salihah saja sudah cukup bagiku. Taat kepada Allah dengan sebenar-benar taat.”
Azkadina menenggelamkan kepalanya ke dada Shafwan. Dengan lirih ia berucap, “I love you, pak guru. I love you so much.”
Shafwan tersenyum. Ia mendekap Azkadina dengan rasa syukur. Hati keduanya menghangat. Tak henti kalimat hamdallah mewarnai lisan mereka.
“Aku mencintaimu karena Allah, Azkadina.”
Sonya yang sedari tadi sibuk memegang smartphone mengabadikan momen, meminta bantuan Sherine untuk membantu sejenak. Sonya ingin memeluk adiknya.
Suasana haru dan bahagia, terus mengalir di kamar VIP itu. Tak henti-hentinya kedua keluarga itu mengucap syukur sembari menikmati hidangan yang disediakan Mama Sinta.
Jantung Ayah Ahmad terasa nyeri. Ia memegangi dan menahan nyeri yang muncul tiba-tiba itu. Tak ingin merusak suasana bahagia putrinya, Ayah Ahmad memilih keluar dari kamar. Ia berjalan perlahan menuju sofa di area lobi rumah sakit. Dokter Yanto, mengikuti langkah Ayah Ahmad. Ia duduk di samping Ayah Ahmad.
“Serangan ini semakin sering, Dok.”
“Iya. Sebaiknya, kamu memberitahu keluargamu tentang penyakit ini.”
“Tidak perlu,” ujar Ayah Ahmad. Ia mengatur nafasnya. Berusaha untuk tenang supaya nyerinya tidak bertambah.
“Waktu saya masih cukup kah Dok? Setidaknya sampai putri saya resepsi,” tanya Ayah Ahmad. Ia menoleh ke arah Dokter Yanto.
Dokter Yanto menarik nafas panjang. “Aku tak bisa menjanjikan apa-apa. Kamu bisa bertahan sampai sejauh ini, adalah keajaiban dari Allah.”
“Aku tidak salah pilih menantu, kan?” Ayah Ahmad mengalihkan pembicaraan.
“Tentu saja. Aku melihat sekilas pemuda itu pemuda yang baik. Ia bisa menjadi pendamping Azkadina yang baik sesuai harapanmu.” Tangan Dokter Yanto memeriksa denyut nadi Ayah Ahmad. Sesekali dahinya berkerut.
“Terima kasih ya, sudah membantuku sejauh ini, bahkan sampai mengizinkan akad nikah di rumah sakit.” Ayah Ahmad masih tersengal dalam bicaranya.
“Sudah jangan bicara lagi. Tenangkan dirimu. Aku senang, impianmu menikahkan Azkadina sudah kesampaian.”
“Aku tidak ingin mati dulu, sampai Azkadina mengenakan baju pengantin.”
“Bertahanlah, Mad. Semoga Allah memampukan.”
Ayah Ahmad mengangguk. Ia tak banyak bicara, supaya bisa lebih tenang. Namun nyeri di dada sebelah kirinya masih belum banyak berkurang. Ia menyandarkan badannya. Kemudian Ayah Ahmad memejamkan mata dan menggumamkan zikir perlahan.
“Astaghfirullahal azhim…”