Tempat yang paling kubenci, ah akhirnya aku ke sini lagi. Rumah sakit. Aku tidak suka, lebih tepatnya ngeri, melihat peralatan medis. Jarum suntik, spuit, botol infus, gunting, pisau bedah, dan teman-temannya. Semua berasa ngeri saja membayangkan benda-benda tajam itu melewati kulit manusia. Belum lagi bau-bau sebangsa alkohol, karbol dan obat-obatan yang menjadi bau khas rumah sakit.
Jika ayah tidak memaksaku kemari, aku mungkin sudah tewas. Betapa tidak, perutku berisik, segaduh kepalaku. Mual, muntah, perih di ulu hati, sebah, menjadi santapan dalam dua pekan ini. Diperparah dengan pening yang seakan tak pernah usai dengan sebutir paracetamol. Kata dokter, penyakit asam lambungku kambuh, dan sekarang menyerang liver karena konsumsi alkohol. Kulitku agak menguning, kata Ayah. Aku juga jarang buang air kecil dalam sehari. Kalaupun buang air kecil, urine-ku berwarna kuning pekat kemerahan. Sepertinya parah.
Dokter memasukkan jarum infus menembus kulit punggung tangan kiriku. Aku bisa merasakan cairan bening itu merambat di pembuluh darah tanganku. Entah berapa kali dalam sehari, perawat menyuntikkan obat melalui selang infus. Aku menutup mataku rapat-rapat saking nyerinya.
Perawat yang baik itu memintaku menampung urine-ku pada wadah khusus. Lalu mereka akan memeriksa warnanya secara berkala. Kata mereka, warna urine yang normal adalah bening. Sedangkan urine-ku lebih mirip air teh, hitam pekat.
Aku hanya bisa sesekali duduk untuk meringankan punggung dan kepala. Selebihnya, aku hanya berbaring dengan makan bubur halus pun harus disuapin Ayah.
Aku bersyukur, dengan sakitku sekarang, aku jadi lebih punya banyak waktu untuk merenung. Aku menyesali perbuatanku kemarin-kemarin. Perbuatan bodoh yang penuh dosa. Aku terlalu depresi hingga tak lagi harus kemana. Alkohol dan Mike yang menjadi pelampiasanku. Aku lupa, aku punya Allah, yang selalu membersamaiku.
Sepanjang hari kuhabiskan untuk me-restart kembali keruwetan pikiranku. Menemukan bening hati. Aku mengingat kembali apa saja yang Mbak Sonya katakan. Ikhlaskan karena Allah. Murnikan karena Allah.
Ah Allah… aku begitu kerdil di hadapanMu…
Aku memejamkan mata, merenung kembali, mencoba mengimani takdir. Sebuah pelajaran yang pernah aku dapatkan ketika usia sekolah dasar dulu. Rukun Iman ke-enam.
Aku yang sekarang ini, tentu saja karena kebaikan dan rahmat Allah. Semua yang terjadi, bagian dari takdir terbaik Allah. Termasuk keberadaan ayah. Aku yang awalnya, denial dengan sikap dan perilaku Ayah, sekarang mencoba memahami, walaupun tetap tidak sepakat juga dengan pilihan hdup Ayah.
Menyesalkan perilaku Ayah, tapi itu sudah menjadi bagian dari takdir yang harus aku hadapi lebih baik. Tidak bisa lagi, aku bersikap kekanak-kanakan seperti kemarin-kemarin. Bagaimanapun, aku anak Ayah. Beberapa hal baik pada diriku, berasal dari Ayah. Membenci Ayah, itu sama dengan membenci diriku.
Ah, Ayah… kamu-lah sosok cinta pertamaku…
Ibu datang bersama keluarga Mbak Sonya. Mereka tampak lega ketika “menemukanku”. Aku pergi tanpa pamit. Tentu saja, aku tak mau merepotkan mereka untuk mengantarku ke rumah Ayah. Tapi justru, sikapku malah merepotkan mereka. Mbak Sonya sampai harus membuat status di media sosial, mencariku. Queen juga tak kalah repot katanya. Ia merasa bersalah karena tidak bisa menjagaku dengan baik. Queen kuatir, aku akan bunuh diri. Seharian Queen menangisi kepergianku.
Duh! Azkadina, kamu bego banget sih.
Sekilas, hatiku menghangat ketika melihat Ibu tersenyum kepada Ayah. Sudah lama aku tidak melihat senyum Ibu seperti itu. Begitu juga dengan Ayah. Mungkin mereka saling merindu. Entahlah. Tidak ada cinta yang benar-benar berakhir, bukan? Ada setitik keinginan, supaya mereka rujuk kembali. Namun, aku tak berani berharap banyak. Mungkin mereka lebih nyaman pada situasi sekarang, tanpa harus banyak bertengkar seperti dulu saat aku SMP.
Tidak semua cinta juga harus bersama, bukan?
Aku merenungi kembali apa yang Mbak Sonya sampaikan. Lagi-lagi Mbak Sonya, aku sering tak sependapat dengan perilaku over protektifnya kepada Farel. Namun, aku juga tak dapat menolak beberapa hal nasihatnya.
Tentang hijab dan hijrah. Aku mungkin tidak ikhlas memakai penutup kepala ini. Ada keinginan lain, ada tujuan lain, selain mendapatkan ridho Allah. Yaitu, dicintai pak guru Shafwan. Mbak Sonya, kembali mengingatkan diriku tentang hadits arbain nomor satu tentang niat. Innamal a’malu bin niyat. Wa innama likullim ri’im ma nawa. Setiap amal bergantung kepada niatnya. Dan seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya.
Aku benar-benar bodoh. Sependek itu pikiranku. Berhijab hanya berharap cinta dari seorang laki-laki yang kukagumi. Ya, memang pada akhirnya, aku dekat dengan pak guru, sesuai tujuanku. Tapi aku tidak dapat keberkahannya. Tidak dapat ridho Allah. Hanya dapat gerah dan panas di kepala. Dan pada akhirnya, pak guru memilih orang lain yang mungkin lebih ikhlas berhijab. Astaghfirullahal azhim.
Aarrgh…. Perutku masih terasa perih dan begah…
Dulu, aku meragukan, bagaimana bisa orang bisa bersyukur ketika sakit. Sakit kok senang? Namun, kali ini, aku bisa memahami semuanya. Bahkan aku bisa bersyukur dengan rasa sakit ini. Setidaknya, Allah akan mengampuni dosa-dosaku. Dosa selama tidak ikhlas kemarin-kemarin. Dosa ketika bermaksiat beberapa hari yang lalu. Ya Allah, aku malu. Aku hampir saja terjerumus jurang nista bersama Mike. Ya Allah, aku beruntung dan bersyukur, Kau masih menyelematkanku.
Hari keempat opname. Perawat masih saja rutin memeriksa warna urine-ku. Katanya, sudah tidak sepekat hari pertama. Sebah dan perih di perutku, sudah berkurang, tapi masih ada. Aku juga mulai terbiasa menahan nyeri ketika perawat menyuntikkan obat di selang infusku. Aku menikmati setiap kesakitan yang kurasakan, berharap Allah mengampuni dosaku.
Tentang pak guru, tak luput menjadi bahan perenunganku. Aku terlalu sempurna memandang pak guru. Sampai aku lupa, dia hanya manusia biasa yang juga banyak salah. Aku terlalu kecewa dan marah saat melihatnya bersama Aida. Aku benar-benar cemburu.
Mungkin aku mencintai pak guru. Dia memang istimewa. Namanya selalu bertahta di pikiran dan hatiku dalam beberapa bulan ini. Klise ya? Hahaha ya namanya juga cinta. Beberapa kali aku pacaran, tapi yang berhasil membuatku mabuk kepayang hanya pak guru. Tapi aku tahu, aku sudah mengusirnya dua kali. Berharap dia kembali, hanya akan membuatku sedih dan kecewa.
Aku tak berharap banyak, dia akan kembali. Aku juga tidak akan menghubunginya. Biarkan pak guru bahagia bersama apa yang diinginkan. Namanya juga cinta. Tak semua cinta itu harus bersama, bukan? Aku bahagia, melihatnya bahagia. Cukup kusimpan saja rasa itu sampai akhirnya akan lenyap dan menguap. Aku ingin dewasa dalam mencintai. Tidak ugal-ugalan seperti remaja kemarin sore.
Ough…. Azkadina…ingat umurmu…
Hari ketujuh opname. Seorang pria masuk ke dalam ruangan tempat aku dirawat. Bersama kedua rekannya, pria itu membawa beberapa rangkaian bunga melati. Kami sekeluarga, terkejut dengan kiriman bunga itu. Ayah mengira itu berasal dari kolega-nya. Ibu menduga itu dari keluarga Pakde Tirta yang tinggal di Kediri. Mbak Sonya, menebak itu kerjaan usilnya si Queen dan anak-anak Rumah Belajar Ceria.
Semua dugaan mereka salah semua. Betapa terkejutnya diriku, saat membaca sebuah nama pada kartu pengirim. Sebuah nama yang tak asing bagiku. Sekejap ragaku serasa menguat seribu kali lipat. Sekejap hatiku dipenuhi beraneka bunga yang bermekaran. Indah …
Ah, masih adakah secercah harapan dengan Pak Guru?