Queen : [Ustaz Shafwan, bantu saya mencari Azkadina. Ia pergi dalam keadaan kacau. Ia motoran ke arah genteng kali.]
Shafwan : [Baik. Share loc posisi Queen. Saya menyusul.]
Demi membaca pesan dari Queen, Shafwan panik setengah mati. Ia menyambar cepat kunci mobil dan jaketnya. Shafwan bergegas menuju garasi rumahnya dan memasuki Avanza hitam. Shafwan melajukan mobil itu mengikuti jejak lokasi Queen yang sedang membuntuti Azkadina. Dinginnya malam tak menyurutkan langkahnya untuk menemukan Azkadina yang sedang menghilang.
Mobilnya terhenti ketika petunjuk GMaps memintanya berbelok ke arah bangunan yang penuh dengan lampu-lampu gemerlap dan tertuliskan “Club Platinum”.
Shafwan menelan ludah. Ia keluar dari dalam mobil. Matanya sibuk mencari Queen dan tentu saja Azkadina. Sejurus kemudian ia dikejutkan oleh Queen dari belakang.
“Ustaz, aku melihat motor Azkadina parkir di sana,” sapa Queen sambil menunjuk ke arah tempat parkir.
“Astaghfirullah, Azkadina ngapain ke tempat beginian. Apa dia janjian sama seseorang?”
“Aku tidak tahu. Terakhir kita ngobrol ya tadi jam sembilan. Ia tak banyak bicara denganku.”
“Queen pernah ke situ dengan Azkadina?”
“Kagak lah. Tapi dulu, Azkadina pernah cerita kalau dia pas SMA pernah dugem sama teman-teman cowoknya.”
“Astaghfirullah, kenapa jadi seperti ini?”
“Ini semua salah Ustaz Shafwan! Azkadina udah menggantungkan cintanya kepada Ustaz. Dan sekarang ia patah hati. Depresi. Semuanya salah Ustaz Shafwan yang sudah membuatnya hancur.”
Shafwan menunduk. Ia tak kuasa mendongakkan kepala. Shafwan memilih memasuki tempat dimana orang menghabiskan waktu di tengah malam.
“Aku mau masuk, Queen, kamu tunggu di sini. Jaga-jaga kalau Azkadina kabur dariku.”
“Kenapa aku harus menuruti Ustaz Shafwan?”
“Tolong! Hanya kamu yang bisa kamu andalkan saat ini untuk membantu Azkadina.”
“Iya deh. Btw, Ustaz yakin mau masuk ke situ?”
Shafwan mengangguk. Namun hatinya masih tak yakin, seumur hidup, belum pernah ia pergi ke tempat hiburan malam.
“Semoga Allah mudahkan.”
Shafwan melangkahkan kaki menuju bangunan yang didominasi warna merah menyala dan hijau itu. Begitu membuka pintu kaca berwarna gelap, keraguan di hatinya bercampur dengan aroma alkohol dan dentuman musik malam. Ia melangkahkan kaki dengan perlahan berbaur dengan hilir mudik pengunjung dan karyawa.
Gadis-gadis malam mulai menyapanya dengan genit. Menawarkan seteguk minuman memabukkan dan segala promonya. Mendadak kepalanya pusing. Ia menguatkan diri. Matanya fokus melihat ke segala penjuru ruangan. Hatinya kebat kebit merapal doa, berharap segera menemukan Azkadina dan segera keluar dari bangunan itu.
Langkah kaki Shafwan terhenti, matanya berusaha mendelik lebih lebar ketika melihat sosok perempuan dengan postur mirip Azkadina di pojokan dekat lantai disko. Gadis itu sedang menghabiskan segelas minuman dengan kepala tertunduk. Di sebelahnya ada laki-laki tinggi kurus, bertopi hitam dan berjaket denim. Ia tampak menuangkan minuman beralkohol ke gelas si gadis.
Shafwan berusaha mendekat. Ia mengucek matanya. Rambut ombre sebahu dengan jaket hoodie hitam. Tak salah lagi, ia Azkadina. Tapi sedang mabuk. Sedang kacau. Lelaki di sebelahnya tampak sedang memanfaatkan situasi. Ia berusaha mencium Azkadina yang tengah mabuk. Darah Shafwan mendidih melihat pemandangan gila itu.
“Azkadina! Ayo kita pulang.” Ajak Shafwan.
“ooh…pak … gu…ru…”suara Azkadina mengerang dan berusaha mengeja nama pak guru.
“Oh jadi ini ustaz kesayangan Azka. Yang membuat Azka mabuk kepayang lalu patah hati.”
“Kamu siapa? Aku mau bawa Azkadina pulang.”
“Kalau aku tidak mau gimana?” Azkadina menolak ajakan Shafwan. Kepalanya pening.
“Azkadina, ini tidak baik. Ini hal yang dibenci Allah.
“Ustaz pulang aja gih. Tempat Ustaz itu di masjid. Ceramah.Bukan di sini.”
“Ayo Azkadina, kita pulang.” Tangan Shafwan menggandeng lengan Azkadina. Secepat kilat, Azkadina mengempaskan ajakan Shafwan.
“Aku mau di sini sama Mike! Ustaz pulang saja sana! Sama A…iiii….daaaaaa….” racau Azkadina.
“Azkadina tidak begitu. Ayo kita pulang.”
“Sudah ya Ustaz, jangan memaksa. Azka tidak mau pulang, ia mau bersenang-senang di sini denganku.” Tangan pemuda bernama Mike dengan sigap merangkul dan memeluk Azka yang sudah teler, mengajaknya berjalan meninggalkan Shafwan.
Darah Shafwan semakin tak karuan mendidih. Ia mendekat lalu melayangkan pukulan tepat ke hidung Mike.
“Kurang ajar! Bangsat kau!” sumpah serapah si Mike berusaha bangun. Ia ingin membalas pukulan Shafwan tapi kondisinya terhuyung membuat Shafwan melayangkan pukulan lagi ke pipi kanan Mike.
“Kamu, jangan pernah sekalipun menyentuh Azkadina!” geram Shafwan
“Mas jangan bikin ribut di sini! Silakan kalau mau pukul-pukulan di luar atau sampeyan saya habisi di sini!” penjaga club mengancam Shafwan. Shafwan tak menggubris. Ia kembali menggandeng Azkadina.
“Ayo, Azkadina. Kita pulang!”
“Aku tidak mau! Pak guru pulang sana!” Azkadina kembali mengempaskan tangan Shafwan. Azkadina berjalan menjauhi Shafwan yang tertunduk malu. Namun, karena kondisinya yang mabuk berat membuat Azkadina terhuyung dan jatuh menabrak meja. Seketika ia ambruk dengan kepala berdarah.
Secepat kilat, Shafwan menghampiri Azkadina dan menggendong Azkadina keluar dari ruangan gemerlap itu.
***
“Kau mau mati? Setidaknya mati yang elegan. Jangan mati karena cinta. Ridiculous!” bentak Sonya dengan mata melotot. Kedua tangannya berkacak pinggang melihat adiknya terbaring di tempat tidur.
“Siapa yang mau mati? Aku cuma lagi mencari jawaban,” Ujar Azkadina. Ia masih mengalihkan pandangan matanya ke arah langit-langit kamar. Azkadina tak mau melihat kakaknya.
“Lalu kau mau apa, Ka? Ayolah. Dewasalah! Shafwan sudah ke sini menunjukkan niat baiknya. Kau malah tidak mau menemuinya bahkan memilih bersama si brengsek Mike. Mabuk-mabukan, merokok. Kembali ke masa jahiliyah. Kamu mau jadi apa, huh!” Keringat dingin memenuhi dahi Sonya. Jantungnya berdegup kencang. Dilemparnya pandangn mata ke meja di samping kasur. Seperangkat obat-obatan minum dan beberapa obat luka terhidang dengan beberapa botol air mineral.
“Aku membenci diriku, Mbak. Aku sudah berubah sedemikian rupa, tapi ternyata pak guru masih saja tertarik dengan mantannya. Aku memang tak selembut mantannya. Aku memang bodoh. Kenapa juga aku suka dengan pak guru. Ternyata dia sama aja dengan cowok lain. Suka melompat dari satu bunga ke bunga lain.” Omel Azkadina panjang lebar.
“Oh jadi itu masalahnya. Ternyata kau berubah demi Shafwan. Itu gak ikhlas namanya.” Sonya duduk di samping Azkadina.
“Maksudnya?” Mata Azkadina mulai memandang kakaknya.
“Hijrahmu, bukan karena Allah. Tapi karena laki-laki. Maka dari itu, kau terpukul sekali ketika harapanmu tidak terwujud.”
Azkadina menyimak saja. Tak memberikan respons. Kepalanya masih nyut-nyutan karena benturan malam itu. Perutnya juga begah tak karuan setelah muntah-muntah semalam.
“Kan mbak sudah bilang dulu, pastikan niatmu benar saat berhijab.”
“Lalu aku harus bagaimana?” Azkadina perlahan bangkit dan duduk di ranjang.
Melihat adiknya yang sedang tak baik, hati Sonya melunak. Ia duduk di samping Azkadina. memeluk saudara kandungnya itu dengan erat seraya berkata, “Tanyakan pada dirimu, apa yang kamu inginkan.”
“Aku tidak tahu. Otakku buntu.”
Sonya melepaskan pelukannya. Ia menatap tajam adiknya.
“Dasar kau Azkadina. Adikku yang keras kepala ini, sekarang harus hancur karena cinta.”
Azkadina menyeka kedua matanya yang basah.
“Kau boleh jatuh, tapi tidak boleh seperti ini selamanya. Kamu pernah bilang begitu bukan?”
Azkadina mengangguk.
“Saatnya kamu melakukan prinsip itu,” ujar Sonya, “Ini adalah titik nol-mu. Saatnya kamu memberikan jeda pada hidupmu. Merenung. Apa yang kau tuju? Apa yang kau harapkan? Hijrah-mu ini, kembalikan niatnya karena Allah. Bukan supaya menjadi istri pak guru, atau siapapun.
Azkadina mengangguk. Ia masih sibuk mengusap air matanya.
“Jangan berharap kepada manusia. Pasti kecewa. Maka gantungkan harapanmu kepada Sang Khalik. InsyaAllah tidak akan kecewa.” lanjut Sonya.
“Mbak sudah bertemu Ustaz Shafwan. Ia sudah menceritakan semuanya apalagi kejadian semalam. Ustaz Shafwan ingin kembali kepadamu.”
“Aku tidak mau bertemu dengannya.”
“Sst… tidak perlu memutuskan sekarang. Apalagi dirimu sedang berantakan begini.”
“Lalu?”
“Benahi dulu hati dan pikiranmu. Kalau sudah jernih, baru membuat keputusan.”
Azkadina mengangguk lagi. Ia sudah sedikit lebih tenang sekarang. Namun, kepala dan hatinya masih saja berisik, beradu keluh dan pertanyaan.
“Kau tahu, Ustaz Shafwan harus bertanggung jawab atas kejadian di club semalam. Mike dan pemilik club menuntut Ustaz Shafwan atas insiden itu. Mereka minta ganti rugi.”
Azkadina mendelik terkejut. Ia hanya ingat Shafwan memukul Mike karena sudah berani menyentuh Azkadina. Selanjutnya ia tak ingat lagi, apalagi ketika Queen bilang, Shafwan membopongnya masuk ke mobil dan membawanya ke rumah sakit.
“Terus, pak guru bagaimana?”
“Entahlah. Mbak belum banyak komunikasi dengannya. Semoga urusannya dimudahkan. Urusan yang tidak seharusnya terjadi kalau kamu berpikir waras.”
Azkadina terdiam. Ujung matanya membening. Azkadina sudah kelewat batas dalam mengatasi kesedihannya. Bertemu dengan Mike adalah bencana yang ia mulai. Azkadina kembali ke masa lalunya yang kelam. Karena seorang Shafwan. Namun, Azkadina juga menimpakan masalah baru ke kehidupan Shafwan.
Kepala Azkadina pening. Kepalanya berputar-putar. Di sudutu hatinya, Azkadina ingin menemui seseorang. Seseorang yang teramat penting baginya. Seseorang yang akan memuaskan rasa gelisahnya. Tapi ia tak mau siapapun tahu.