Pukul delapan malam. Shafwan mengantarkan pulang Aida. Sepanjang perjalanan, mereka diam membisu. Tak ada percakapan. Keduanya larut dalam kelebatan pikiran masing-masing.
Avanza hitam Shafwan memasuki gerbang perumahan Babatan Indah. Setelah melewati dua blok perumahan, Shafwan menghentikan perlahan mobilnya di depan rumah Aida. Rumah sederhana bercat kuning dengan taman kecil di depannya.
“Kamu yakin, kita cukup sampai di sini?” tanya Aida mengkonfirmasi balik sikap hening Shafwan.
Shafwan mengangguk mantap.
“Tak ada keinginan untuk kembali?” Aida bertanya lagi. Ia menatap lembut Shafwan, berharap ada setitik harapan.
“InsyaAllah tidak ada. Azkadina adalah pilihanku.” Ujar Shafwan sambil membuka sabuk pengaman mobil.
“Lalu aku bagaimana?”
“Kamu bisa memperbaiki hubunganmu dengan Bagas. Atau memulai kehidupan baru di sini.”
Aida terdiam. Bukan pilihan yang nyaman untuknya. Apalagi tanpa Shafwan. Namun apa daya, kembali kepada Shafwan adalah sebuah kemustahilan. Sebelumnya, Aida yakin, Shafwan akan kembali kepadanya. Namun sekarang, keyakinan itu terbirit-birit menjauh.
Aida menyeka air mata yang sedari tadi terbit. Ia keluar dari mobil Shafwan. Dengan bantuan Shafwan, Aida mengeluarkan barang-barang belanjaan dari bagasi mobil.
Sementara itu…
Sosok perempuan berkerudung hijau lumut, mengamati Shafwan dan Aida dari kejauhan. Dari motor tua kesayangannya, hati perempuan itu gerimis. Dengan perasaan kesal, ia turun dari motor dan menghampiri Shafwan.
“Azkadina..” Mata Shafwan terbelalak, terkejut melihat sosok yang mendekatinya.
“Jadi? Ini hasil istikharah pak guru? Kembali lagi ke pelukan perempuan impian pak guru?” Wajah Azkadina memerah, tapi bukan karena malu seperti biasanya. Wajahnya merah memendam amarah.
“Tidak, Azkadina. Ini bukan seperti yang kau bayangkan.”
“Omong kosong!” Mata Azkadina melotot. Keringat dingin menyelimuti dirinya. Irama jantungnya mulai tak beraturan.
“Azkadina, kita bisa bicara baik-baik ya,” ajak Shafwan lembut.
“Apa lagi yang mau dibicarakan? Bahwa pak guru sudah kembali menemukan perempuan idamannya? Lalu berkata, maaf Azkadina, saya tidak bisa melanjutkan proses taaruf kita. Mbelgedhes! Ternyata pak guru sama saja dengan cowok manapun di dunia ini. Sama-sama brengsek!” murka Azkadina.
“Azkadina. Kumohon. Mari kita bicara baik-baik. Jangan seperti ini. Malu dilihat orang.”
“Lalu, saat bersama perempuan itu, pak guru tidak malu?” Azkadina menunjuk perempuan yang ada di samping mobil Shafwan, Aida.
“Azkadina. Aku mohon. Kita masuk mobil ya. Kita bisa bicara di mobil.” Pinta Shafwan dengan nada mengiba.
“Cih, Gak sudi aku masuk mobil yang sudah dipakai bermesraan dengan perempuan lain,” elak Azkadina.
“Azkadina. Please. Jangan asal menuduh!”
“Ah sudahlah,” tukas Azkadina, “Selamat bertemu kembali dengan pujaanmu, Pak Guru.”
Azkadina berbalik dan berlari meninggalkan Shafwan. Shafwan berteriak memanggil Azkadina. Namun yang dipanggil tak menoleh sedikitpun. Shafwan melangkahkan kaki, mengejar Azkadina.
“Tunggu Azkadina. Tunggu aku.” Teriak Shafwan. Ia mempercepat langkahnya.
“Jangan kejar aku! I hate you pak guru.” Suara Azkadina berteriak menuju motornya tanpa menoleh sedikitpun. Azkadina mengacungkan jari tengah ke arah Shafwan. Ia menaiki lalu menyalakan motor dan ngegas, melajukan motor kuat-kuat.
Shafwan masih terus berlari mengejar motor Azkadina. Namun sayang, mata Shafwan tak awas. Ia tidak menyadari ada bongkahan batu kecil menghalangi larinya.
Shafwan terantuk batu dan terjatuh. Pergelangan kaki kanan Shafwan cidera. Lutut Shafwan juga berdarah terkena gesekan aspal. Shafwan bangkit dan terus mengejar gadis yang dicintainya itu. Dengan tertatih-tatih, menahan perih dan memar, ia terus mengejar Azkadina.
Shafwan berhenti mengejar ketika bayangan Azkadina lenyap ditelan jalanan. Nafasnya tersengal-sengal. Keringat membasahi sekujur tubuhnya. Ia memegang kepala dengan kedua tangannya. Rasa penyesalan menusuk hatinya.
Kedua mata Aida kembali membening melihat sikap Shafwan. Hatinya remuk redam melihat Shafwan mengejar perempuan yang jauh lebih muda darinya itu.
Aida mengangkut semua barang belanjaannya sembari masuk ke dalam rumah. Dalam hati, ia bergumam Shafwan sudah bukan lagi milikku.
***
Dirimu bagai pelangi di sore hari
Indah berkesan
Namun tak lama bertahan
Sekejap memanjakan netra
Lalu hilang tak berbekas
Hari-hari Azkadina seakan melambat. Setiap detiknya terasa begitu lama. Setiap menitnya, ia teringat laki-laki yang sudah mematahkan hatinya. Hancur berkeping-keping tak bersisa. Azkadina tak menyangka, Shafwan akan tertarik kembali ke masa lalunya.
Azkadina membiarkan hatinya membeku. Ia mematikan ponsel, mengunci diri di kamar dan tak mau melakukan apapun bahkan ke kampus. Makan pun hanya sesedikit yang dia mau.
Semua kerudung dan pashmina Azkadina dihamburkan di kamar. Beberapa malah dibuangnya ke tong sampah di halaman depan.
Queen kerepotan luar biasa menghadapi sahabatnya. Ia harus merapikan kamar Azkadina yang penuh dengan pakaiannya yang dihempaskan begitu saja. Beberapa kali, Queen mengajaknya untuk jalan-jalan, tapi Azkadina tidak mau.
“Ayolah Ka. Sampai kapan kamu mogok begini? Cerita dong sama aku.”
Azkadina menggeleng. Ia masih menutup rapat mulutnya.
“Kamu tuh ya. Biasanya kamu jadi aku untuk curhat. Sekarang kamu lagi ada masalah begini, malah tutup mulut. Ayo dong, aku siap jadi tempat sampahmu. ”
Azkadina menutup wajahnya dengan bantal. Ia menangis keras-keras lalu memukul-mukul bantal helo kitty itu.
“Aku cuma benci dengan diriku sendiri. Kenapa aku bisa sejauh itu suka dengan Pak Guru.”
“Hm…begitu.”
“Dulu-dulu aku gak begini kalau putus cinta. Bahkan terasa bebas sekali lepas dari laki-laki. Sekarang? Aku sakaw. Pak Guru seperti candu bagiku.”
“Mungkin bukan candu. Tapi kamu memang benar-benar jatuh cinta. Tidak sekadar suka.”
“Tapi mengapa aku bisa secinta itu. Dan ternyata Pak Guru juga sama brengseknya dengan …,” suara Azkadina tertahan, “Ayah…”
Azkadina kembali menangis.
“Apa iya Pak guru se-brengsek itu? Kamu sudah dapat penjelasan?”
“Penjelasan apa? Sudah jelas-jelas dia tidak segera memberikan jawaban. Tidak berkabar. Tahu-tahu sudah balik sama mantannya.”
“Kamu pernah bilang kan, apa yang kamu lihat, tidak selalu yang sebenarnya. Bisa jadi bukan seperti dugaanmu.”
“Ah sudahlah, Queen. Kamu tahu apa tentang Pak Guru. Aku kenal banget siapa dia. Laki-laki gagal move on yang sudah telat nikah.”
“Aku bisa bantu kamu apa, Ka?”
“Entahlah…”
“Kamu jarang makan. Sering merenung di atap sana. Dan sesekali aku bau rokok. Kamu merokok lagi?”
“Apaan sih! Suka-suka aku kenapa..”
“Please deh Azka. Kamu sudah berhenti merokok dua tahunan ini. Kenapa kamu merokok lagi? Kamu tahu kan kalau kamu pernah punya masalah kesehatan dengan rokok.”
“Bacot kamu!”
“Tuh kan! Kata-katamu mulai urakan lagi. Hello, kemana bestie-ku yang sudah tobat dan hijrah itu ya…”
“Halah!Diam. Katanya kamu mau jadi tong sampahku. Ternyata sama aja, tukang ceramah doang kayak Pak Guru…Haduh, kenapa jadi ngomongin Pak Guru.”
Queen cekikian melihat Azkadina mengacak-acak rambutnya.
“Tuh kan ketawa. Udah ah!” Sahut Azkadina. Ia menyambar kunci motor, tas dan jaket di atas meja. Setengah gontai, ia melangkahkan kakinya turun ke bawah menuju motor tua kesayangannya.
Azkadina menyalakan motor, lalu menghilang dari balik pagar.
Queen hanya melihat Azkadina dengan cemas.
Mau ke mana gadis itu?