“Yakin kamu gak mau ketemuan dulu sama si pak guru itu?” Queen menepuk punggung Azkadina yang sedang mengetik.
“Yep!” Mata dan tangan Azkadina masih berfokus pada layar laptop di depannya.
“Gak kangen?” tanya Queen lagi.
“Entahlah.” Azkadina mengangkat bahunya.
“Harus gitu ya prosesnya?” Queen masih belum yakin dengan keputusan temannya itu.
Azkadina menghentikan mengetiknya, lalu melirik Queen yang sedang menyisir rambutnya.
“Iya dong. Aku harus istikharah. Dan katanya, kalau istikharah, tidak boleh bertemu dengan si doi. Biar gak kecampur dengan bisikan syetan. Aku manut aja.”
“Wow. Kamu berubah banget yak. Dulu aja kamu tahunya cuma istirahat, sekarang istikharah. Kamu berubah seperti ini karena pak guru ganteng itu kah?”
Azkadina terkekeh, lalu berujar, “Mungkin. Tapi ya gak sepenuhnya gitu juga sih.”
“Maksudnya?”
“Pak guru Shafwan memang luar biasa. Aku suka padanya. Ketika aku tanya kriteria calon istri, dia menjawab madrosatul ula. Berhijab jelas menjadi indikatornya. Mau gak mau, aku berubah dong. Berharap mendapatkan cinta pak guru itu gak salah kan ya?”
“Hati-hati Ka, niatmu harus benar kalau berhijab. Jangan hanya supaya dapat cinta Pak guru ganteng.”
“Semoga aku bisa meluruskan niatku ya Queen. Lama-lama aku terbiasa juga berhijab. Awalnya saja gerah, rambut lepek dan berketombe. Sekarang sudah gak.”
Queen mengangguk setuju. Setelah rambutnya rapi terkuncir, ia berdiri dan mengambil sebuah buku dan stabilo.
“Eh, tapi kata Mbak Sonya, berharapnya sama Allah saja. Jangan sama manusia. Biar gak kecewa katanya. Maka aku berharap takdir terbaik saja. Semoga aku bisa ikhlas.” Terang Azkadina.
“Biyuh… berat beudh. Setahun kemarin kamu gak kayak gini deh.” Komen Queen sambil memasang kacamata.
“Hahaha…siapapun bisa berubah, jelas Azkadina,“Kedua, aku sudah tambah tua, helloo skripsi sudah sampai mana? Aku bahkan belum beranjak dari Bab 3.”
“Iya ya. Ayo ndang selesaikan. Ntar kita wisuda bareng.”
“Maka dari itu, aku mau minta bantuan ke kamu. Kamu sering-sering ke markas ya. Apalagi pas ada jadwal mengajar beliau. Aku gak ke sana ya. Kamu aja.”
“Ntar kalau Pak guru suka sama aku gimana?” goda Queen.
“Ya udah buat kamu aja.”
“Yakin?”
“Nggak. Hehehe jangan ya. Buat aku aja. Kamu sama Arya aja.”
“Dasar kamu!” pungkas Queen. Ia mengoyak rambut Azkadina yang ikal.
“Arya sukanya sama kamu, Ka. Bukan aku. Lagian dia bukan tipe-ku.”
“Oh ya? Bukannya kamu pas semester dua kemarin naksir Arya?”
“Iya. Sekarang nggak. Aku mau kayak kamu, cari laki-laki yang baik dan solih. Barangkali ada temannya Ustaz Shafwan, aku mau dikenalin.”
Azkadina terkekeh. Ia melanjutkan lagi proses pengetikan skripsinya yang masih separuh jalan. Banyak hal yang harus ia lakukan. Apalagi setelah mendaftarkan kelas mengaji. Bertambah satu kesibukan Azkadina selain kuliah dan ngurus distro baju. Untuk urusan markas Rumah Belajar Ceria, ia percayakan sepenuhnya kepada Queen.
Telepon Azkadina berbunyi. Mom is calling.
Azkadina berdiri dan mengambil ponselnya. Ibu Azka menelfon, menanyakan kabarnya. Sudah lama Azkadina tidak pulang. Azkadina menjelaskan bahwa ia sekarang sibuk skripsi dan belajar ngaji. Azkadina juga meminta doa restu ibunya supaya dimudahkan semuaya.
“Tumben kamu relijius begini. Hehehe tapi bagus sih.”
“Doakan ya Bu. Semoga anak Ibu ini cepet lulus”
“Siap nona muda. Eh ada undangan nikah anak teman ibu. Ibu diundang. Kamu bisa temenin Ibu ya Azka. Tiga hari lagi di Gedung Juang jalan Ahmad Yani. Bisa ya Ka?”
“InsyaAllah Bu. Ibu kirim undangannya ya. Biar aku gak lupa.”
Lima menit mereka ngobrol. Ibu Azka menutup pembicaraan dan mengirim foto undangan via Whatsapp. Betapa terkejut Azkadina melihat nama yang tertera pada undangan berwarna perak itu.
Humaira Putrina, S.Psi dan Hanif Ahsan Seputro, S. T.
****
POV Shafwan
Aku merapikan kembali perlengkapan perangku. Sebuah laptop, jurnal siswa, serta segebok lesson plan yang sudah kususun. Beruntung aku berada di sekolah yang punya konsep lesson plan sederhana namun efektif. Lesson plan alias Rencana Pelaksanaan Pembelajaran ibarat menu harian makanan wajib bagi guru namun hampir semua guru se Indonesia, sepakat bahwa berat sekali mengerjakannya. Karena terlalu banyak aturan keseragaman dan idealisme yang tidak membumi. Akibatnya cuma jadi formalitas. Bahkan ada guru yang sibuk menyusun RPP se-sempurna mungkin tapi tidak dipakai. RPP itu dijual di luaran dalam bentuk e-book berbayar. Parah!
Hari ini siswa di kelasku relatif lebih tertib. Anisa yang biasanya ngompol, sudah sepekan ini tuntas toilet training. Tak ada lagi adegan pipis di celana seperti kemarin-kemarin. Farel yang biasanya emosional, sekarang lebih tenang. Ia tak lagi mudah memukul temannya. Begitu juga dengan Faiq. Ia yang biasanya meninggalkan banyak barang di kelas, sekarang hanya satu dua barang saja yang tertinggal. Lumayan meningkat. Hehehe…
Namun ada yang aneh dengan Amelia. Di saat, teman-temannya berubah lebih baik, Amelia malah sebaliknya. Hari ini aku jumpai dia berbicara kotor. Menyebut umpatan khas Suroboyo.
Dari mana Amelia mendapatkan kata-kata itu? Apakah dari kakak kelas? Atau dari lingkungan rumah?
Aku membuka sejenak jurnal siswaku. Aku menuliskan temuan terkait Amelia. Aku juga merencanakan tindak lanjut padanya. Rencananya besok, aku akan mengajaknya bicara. Menemukan alasan mengapa dia mengucapkan itu. Aku meletakkan kembali jurnalku ke laci meja.
Hening kembali menyelimuti diriku. Sudah tiga hari ini aku tak berjumpa gadis sanguinis itu. Gadis yang selalu hangat kepada siapapun. Gadis yang jika dia bercerita membuatku tertawa. Gadis yang seringkali membesar-besarkan masalah kecil. Gadis yang mewarnai hidupku beberapa bulan ini.
Biasanya aku ke markas walaupun tidak ada jadwal mengajar. Namun kali ini, aku enggan. Apakah karena Azkadina tidak di sana ya? Ah, jangan-jangan aku rajin ke markas karena Azkadina. Duh!
“Ustaz Shafwan maaf, ada tamu mencari Ustaz?” Tetiba Ustaz Ari, karyawan yang baru sepekan bertugas sebagai admin dan humas kantor itu menemuiku.
“Tamu? Siapa?”
“Saya lupa tanya namanya. Perempuan muda, pakai kerudung hitam.”
Pasti dia Azkadina. Tumben. Biasanya dia langsung ke sini.
“Baik saya akan ke sana. Terima kasih Ustaz Ari.”
Aku mempercepat beres-beresku. Segera aku cangklongkan tas ransel di pundakku. Aku bergegas melangkahkan kaki ke luar kelas menuju kantor. Wajahku, entah mungkin sudah memerah jika ada yang memergoki. Aku tak sabar bertemu Azkadina. Gadis itu akan merajuk seperti biasanya. Marah-marah gak jelas. Tapi aku suka.
Aku akan bilang kepadanya bahwa aku akan melamarnya as soon as possible. Eh, iya kalau dia juga lanjut. Kalau nggak? Kalau istikharah-nya justru tidak mantab bersamaku bagaimana? Ah, aku terlalu takut dengan keputusan yang akan diambil gadis itu.
Aku memasuki ruang tamu kantor.
“Azkadina…” panggilku bersemangat kepada gadis berkerudung di kantor itu.
“Halo Shafwan…”
Betapa aku tak menduga sama sekali dengan kehadiran tamu ini. Mataku tak percaya dengan kenyataan di depanku. Alis mataku naik. Keningku berkerut. Bibirku masih saja tak mampu berucap. Ternyata gadis yang ada di depanku bukan Azkadina. Gadis itu adalah …
“Aida…”