Tak perlu dandan terlalu cantik. Ceritakan semua masa lalumu. Dengan mengenal kamu apa adanya akan membuat Shafwan membuat keputusan yang tepat.
Kalimat yang disampaikan Queen, terus mengiang di benak Azkadina sejak kemarin. Setelah melewati pertemuan makan malam dengan orang tua Shafwan, pagi ini ia harus melewati satu acara lagi yang tak kalah mendebarkan. Taaruf namanya.
Azkadina tak pernah tahu apa itu Taaruf. Ia juga tak tahu apa saja yang harus dia jelaskan nanti. Beberapa pertanyan berputar-putar di kepala Azkadina.
Apakah semua tentang masa lalunya wajib disampaikan kepada Shafwan? Dan apakah penjelasannya akan berbalik membuat Shafwan membencinya?
Pukul delapan lebih lima menit, Azkadina berangkat menuju suatu tempat. Mendung tipis mengiringi keberangkatan Azkadina. Kali ini dia tidak bersamai Queen. Sahabatnya sedang ada acara keluarga di kampung halamannya.
Dengan berbekal tilawah Al Quran dua lembar shubuh tadi, Azkadina merasa tenang menuju lokasi taaruf. Rok jeans dan blouse longgar warna putih serta pashmina biru tua dipilihnya untuk acara istimewa itu.
Perumahan Putra Utama Blok A nomor 5, begitu alamat yang harus dituju Azkadina. Setelah agak berputar-putar mencari alamat, ia sampai juga di depan rumah berukuran 6 x 12 meter persegi. Pemilik rumah mempersilakan Azkadina masuk setelah menyadari kehadirannya. Perempuan berkerudung lebar itu menyambut Azkadina dengan pelukan ramah.
Di ruang tamu, telah hadir Shafwan dengan kaus turtleneck warna navy. Ia menatap Azkadina dari kejauhan lalu menunduk. Di samping Shafwan, hadir pula Raditya, guru mengaji Shafwan. Perempuan yang menyambut Azkadina tadi, duduk di samping Raditya. Ia adalah istri Raditya.
“Mbak Sonya…” Sapa Azkadina kepada perempuan itu yang tak lain tak bukan adalah kakaknya.
“Bismillah ya Ka.”
Agenda perdana adalah pembukaan yang disampaikan oleh Radit. Setelah memperkenalkan diri sebagai guru mengaji Shafwan, Raditya menyitir sebuah ayat pada Al Quran yaitu Surat Al Hujurat ayat 13.
"Hai manusia sesungguhnya kami telah menciptakan kalian dari seorang pria dan seorang wanita, lalu menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal”
Kemudian Raditya menjelaskan tentang konsep taaruf dalam Islam. Taaruf harus diniatkan untuk menikah, bukan untuk mempermainkan pihak lain. Radit juga berpesan selama proses taaruf juga tidak boleh banyak berinteraksi karena dikuatirkan akan menjurus ke maksiat dan dosa.
“Karena Mas Shafwan dan Mbak Azkadina sudah saling kenal sebelumnya, maka tahapan tukar biodata langsung kita lewati. Sekarang monggo saling bertanya saja di sini untuk memperdalam proses perkenalan calon.”
Suasana hening. Baik Azkadina maupun Shafwan tak ada yang memulai bertanya. Menyadari hal ini, Rania, istri Raditya, memecah kebekuan dengan mempersilakan mereka untuk minum.
“Barangkali dimulai dari Mbak Azkadina dulu bagaimana?” tawar Raditya.
Mendengar namanya disebut, Azkadina langsung mendelik. Ia mengucap basmallah dalam-dalam lalu memberanikan diri bersuara.
“Pernikahan seperti apa yang pak guru harapkan?” tanya Azkadina.
“Bismillah. Karena pernikahan adalah ibadah yang paling panjang, maka saya berharap pernikahan berlandaskan ketaatan dan keimanan kepada Allah Swt. Suami istri saling menguatkan untuk menjadi mukmin yang lebih baik.” Shafwan menjawab pertanyaan dengan tenang.
“Saya tidak sempurna. Bahkan baru saja berhijab entah besok-besok apakah masih berhijab. Apakah mungkin saya bisa menjadi istri yang seperti pak guru sebutkan?” tanya Azkadina lagi.
“Saya juga tidak sempurna. Mencari istri atau suami yang sempurna itu mustahil. Tidak akan mungkin dapat. Utopis. Tapi prinsip saya, bagaimana suami istri bisa saling melengkapi ketidaksempurnaan yang ada. Ya sangat tidak mudah. Saya yakin, selama kita taat kepada Allah, dengan sebenar-benar taat, maka pertolongan Allah akan hadir.”
“Apakah ada masa lalu pak guru yang belum usai sampai sekarang?” tanya Azkadina to the point.
“Maksudnya?”
“Masa lalu dengan seorang perempuan mungkin.”
“Karena Azkadina bertanya, saya akan jawab dengan dengan jujur.”
Shafwan berhenti sejenak. Mengambil nafas dalam-dalam.
“Lima tahun lalu, saya memiliki hubungan dengan seorang gadis. Aida namanya. Ia adalah gadis impian saya sejak kuliah. Melankolis, lemah lembut, pandai memasak, dan sebagainya. Waktu itu, kami sudah berjanji untuk menikah setelah saya kuliah profesi keguruan. Kebetulan saya harus kuliah profesi dua tahun di luar kota. Dia mau menunggu saya sampai lulus.”
“Sampai kemudian, belum satu tahun saya kuliah, saya mendengar, Aida sudah menikah dengan pemuda lain. Saya terkejut. Dan makin terkejut ketika tahu alasan dia meninggalkan janjinya. Aida ingin suami yang mapan secara ekonomi. Dia tahu, saya berasal dari keluarga berada, namun saya memilih jalur guru yang dianggap kurang mapan secara ekonomi. Dan dia tidak mau nanti kehidupannya sederhana seperti visi saya.”
“Lalu?” Azkadina tidak sabar mendengar lanjutan cerita. Matanya sibuk menatap Shafwan. Beberapa kali, Sonya mengingatkan Azkadina untuk menundukkan pandangan.
“Saya kecewa. Depresi. Saya menutup diri. Tidak membiarkan hati saya terbuka untuk setiap perempuan. Bahkan ketika Mama menyodorkan beragam biodata perempuan untuk saya. Hati saya tetap dingin dan kaku. Saya takut jatuh cinta. Saya takut melangkah lagi dan gagal. Kamu tahu Renata?”
Azkadina mengangguk.
“Ia adalah salah satu gadis yang Mama jodohkan dengan saya. Kami sama-sama menolak dan akhirnya berteman baik. Ia sempat berseloroh bahwa saya gay, karena di usia 30 tahun belum juga menikah.”
Azkadina tertawa namun segera ia menahan diri supaya tidak terlalu keras. Malu.
“Semua benteng pertahanan saya runtuh perlahan sejak beberapa bulan lalu saat mengenal seorang gadis. Gadis yang datang bagai angin, menghalau semua luka. Gadis yang berhasil membuka mata saya, banyak hal indah untuk digapai.”
“Ustaz Shafwan, siapa gadis itu?” Sonya ikut bertanya penasaran.
Shafwan tersenyum, lalu berkata,“Gadis itu, ada di samping Bunda Sonya.”
“Eh kamu Ka. Kamu gadis itu. Selamat ya..” goda Sonya kepada Azkadina yang sedang menunduk malu. Badannya kaku. Serasa terpaku di dasar bumi.
“Sonya, jangan godain adikmu terus. Kasian,” ujar Rania yang ternyata adalah teman masa SMA Sonya.
Sonya tersenyum geli.
“Baik, sekarang Shafwan, apa yang mau ditanyakan ke Azkadina.” Radit menyilakan Shafwan bertanya kepada Azkadina.
“Apa ada masa lalu Azkadina juga yang belum usai?” tanya Shafwan.
“Pak guru mau tahu masa lalu saya?” tanya balik Azkadina.
Shafwan mengangguk.
“Kelas dua SMP saya pernah pacaran sama teman sekelas. Kami putus karena dia selingkuh. Tapi sebenarnya saya juga bosan sih pacaran. Gak seru. Kelas satu SMA pernah juga pacaran dengan kakak kelas. Lagi-lagi cuma sebentar, dua bulan aja. Selingkuh juga dia. Kelas tiga juga pernah. Eh dianya mutusin karena aku gak mau dicium. Ya udah gitu aja.”
Shafwan tertawa kecil mendengarnya lalu bertanya,“Ada lagi?”
“Tidak. Semua sudah selesai. Tidak ada rasa yang tertinggal. Kuliah malah gak pernah pacaran, sama cowok malah anti banget.”
“Kenapa anti?”
“Karena semua cowok itu brengsek.”
“Apa alasannya? Aku juga brengsek?”
“Entahlah. Pokoknya begitu. Pak guru mungkin tidak yang termasuk brengsek saat ini. Tapi besok-besok, saya gak tahu.”
“Wow.”
“Kenapa? Mau protes?” Azkadina melotot tajam ke arah Shafwan. Raditya dan Rania terkejut dengan reaksi Azkadina. Tapi tidak dengan Shafwan. Ia sudah sering melihat reaksi serupa dari Azkadina. Dan ia suka.
“Ka, tenang. Jangan emosian gitu kenapa. Jelek ah!” Sonya mengingatkan adiknya.
Azkadina mulai cemberut.
“Kata Queen, aku harus apa adanya ketika taaruf, supaya pak guru gak ber-ekspektasi terlalu tinggi lalu ternyata aku zonk. Nanti kecewa. Ya udah, aku apa adanya begini.”
Raditya, Rania dan Sonya tertawa mendengar celetukan polos Azkadina.
“Bagaimana hubungan Azkadina dengan keluarga? Saya belum pernah mendengar Azkadina bercerita tentang Ayah. Beliau sehat?” Shafwan bertanya lagi.
Pertanyaan maut itu akhirnya datang.
Raut wajah Azkadina berubah menjadi muram. Suasana menjadi hening. Sorot mata Sonya juga tidak nyaman mendengar pertanyaan Shafwan.
“Saya harus jujur ya?” tanya balik Azkadina.
“Tentu saja Mbak Azkadina. Sampaikan saja apa adanya.” Ujar Rania.
“Saya tidak suka Ayah saya. Ayah tukang kawin. Ia memiliki beberapa istri di berbagai kota. Ibu bercerai dengan Ayah enam tahun lalu begitu tahu kabar tentang istri-istri Ayah. Bahkan istri ketiga Ayah, usianya hampir sama denganku. Aku tidak suka. Aku benci Ayah.”
Azkadina tak bisa menahan genangan air matanya. Ia mengeluarkan semua isi hatinya. Sonya memeluk adiknya. Matanya juga basah melihat adiknya menangis.
Shafwan terkejut dengan reaksi spontan Azkadina, terlebih lagi dengan masa lalunya. Ia tak menduga, gadis se-ceria Azkadina memiliki duka mendalam di masa lalu.
“Sudah hampir enam tahun aku tak bertemu Ayah. Aku juga tidak mau bertemu dengannya. Bagaimana mungkin seorang laki-laki mengatakan cinta kepada banyak perempuan? Aku tidak suka. Bahkan aku pernah berharap Ayah meninggal saja sebelum aku menikah.”
“Azka.. sabar. Istighfar, Ka.” Tangannya masih erat memeluk Azkadina.
“Maafkan kami. Kami tak bermaksud membuka aib keluarga. Tapi memang ini hal yang berat untuk Azka, saya dan Ibu.”
Raditya dan Rania menganggukkan kepala. Berusaha memahami keduanya.
“Gimana Shafwan, apakah cukup?” tanya Radit.
“Tidak. Aku mau melanjutkan ceritaku,”potong Azkadina.
“Apa yang dilakukan Ayah membuat saya membenci laki-laki. Menganggap semua laki-laki itu sama saja. Brengsek. Apalagi laki-laki yang paham agama. Kakek adalah guru ngaji, beliau mendidik Ayah menjadi sosok yang hafal ilmu agama. Tapi ternyata dengan pahamnya agama, membuat Ayah menyakiti kami, keluarganya.”
“Saya menganggap ilmu-ilmu agama itu sesuatu yang utopis. Tidak realistis untuk dijalankan. Banyak kepalsuan dan kemunafikan. Sampai akhirnya saya bertemu pak guru. Pemahaman saya tentang Islam lambat laun berubah. Ternyata Islam itu indah banget. Tidak sekadar surga dan neraka.”
Azkadina kembali mengambil air minum yang disajikan. Ia menenggak sampai habis.
“Saya sudah menceritakan diri saya dan keluarga. Saya tidak menyembunyikan apapun. Saya tidak terlalu paham visi misi pernikahan. Namun saya paham, pernikahan yang diawali dengan ketidakjujuran itu tidak baik. Jika dengan saya menceritakan ini membuat pak guru mundur dan mencari gadis yang normal, saya siap. Anggap saja saya sedang tidak beruntung.”
Azkadina menutup cerita dengan mengelap sisa air matanya dengan tisu. Sejenak ia tersenyum tipis kepada Shafwan. Ia tak lagi menanggung beban di hatinya. Gadis itu berusaha tampak tegar.
Shafwan memandang Azkadina dengan lembut lalu melemparkan pandangan kepada Radit. Perasaan kasih sayangnya kepada gadis itu tak berkurang, malah menguat. Ia ingin menjadi seseorang yang bisa menemani Azkadina melewati kesulitan hidupnya.
Raditya menutup pertemuan. Ia berpesan kepada keduanya untuk istikharah, meminta petunjuk dan kebaikan selama proses taaruf.
Mendung yang bergelayut sedari pagi akhirnya pecah menjadi butiran hujan. Membasahi bumi Surabaya yang gerah.
Kedua insan itu hanyut dalam doa dan harapan masing-masing. Hati mereka telah lapang karena berhasil menceritakan satu episode kelam dalam hidup mereka.
Satu tahapan telah dilalui. Tinggal menghitung hari, apakah taaruf mereka hari ini berlanjut ke khitbah dan akad nikah atau cukup di sini saja.