POV Shafwan
“Kamu cerita apa saja ke Mama?” aku menatap lembut matanya sore ini. Kami duduk di teras menikmati senja. Dua cangkir kopi dan sepiring pisang goreng menjadi kudapan pelengkap.
Azkadina sibuk menulis program kerja satu bulan untuk “sekolah darurat”nya. Sesekali ia membuka aplikasi kalkulator dan kalender di ponsel pintarnya.
“Hm…banyak. Mau tahu? Rahasia dong,” ujar gadis itu berhenti menulis sejenak. Azkadina tersenyum. Seperti biasa, senyumnya tengil. Gak anggun tapi membuatku tertawa. Bukan Azkadina jika bersikap anggun dan melankolis.
“Mama mengundangmu makan malam.”
“Apa!? Makan malam?”
Matanya terbelalak. Mata yang tak pernah diberi polesan warna make up itu membulat seperti kelereng. Lalu dia berdiri dan mondar-mandir di depanku. Tangannya bergerak random tapi mulutnya tak bersuara.
“Azkadina. Duduk tenang di sini.” Pintaku.
Ia pun duduk di depanku. Kali ini, jarak kami lebih lebar dari sebelumnya.
“Maksudnya apa mengundangku makan malam?” tanyanya.
“Iya, Papa dan Mama mengundangmu makan malam. Sabtu malam besok. Bisa?”
“Buat apa? Nanti aku harus ngomong apa? Aku pakai baju apa?”
“Mama mau kenal kamu lebih dalam.”
“Terus aku harus pakai baju apa? Ngomong apa?”
Ia kembali mondar mandir seperti setrikaan. Pusing aku melihatnya. Aku diam saja, tak lagi memintanya duduk. Aku menenggelamkan kepala di kedua tanganku. Gadis itu melihatku, lalu duduk lagi di depanku. Seakan dia tahu aku ingin memintanya tenang.
“Azkadina. Kamu bisa pakai baju apapun yang membuatmu nyaman.”
“Pakai hijab?”
“Tentu saja! Mau lepas hijab?” Mataku melotot menjawab pertanyaan gak penting itu.
Gadis itu menggeleng lalu bertanya untuk yang ketiga kalinya, “Aku harus ngomong apa besok?”
“Entahlah.”
“Kok, entahlah? Bantu dong!”
“Salah sendiri, suruh siapa datang ke rumah dan cerita macam-macam.”
Gantian aku yang sewot. Kedatangan Azkadina membuatku terkejut setengah mati. Aku tak menyangka dia senekat itu bertamu bahkan ngobrol dengan Mama. Gadis ini memang aneh.
“Maaf. Aku cuma mau bertamu sejenak. Salah ya?”
Aku menggeleng. Lalu aku tersenyum tipis.
“Kamu satu-satunya perempuan kukenal yang berani datang bertamu.”
“Wah, keren dong aku!” ujar gadis itu dengan mengedipkan mata berkali-kali. Senyumnya kembali mengembang jenaka. Aku cuma menepuk jidatku melihat respons aneh itu.
“Aku bawa apa nanti ke rumah pak guru?” tanya Azkadina untuk yang ke sekian kali.
“Bawa doa yang banyak supaya aku tidak pingsan.”
Azkadina tertawa. Aku makin kesal dibuatnya. Gadis itu kembali masuk ke dalam markas RBC, mengamati proses belajar menjahit untuk siswa putri.
Aku duduk termenung sendiri. Gadis itu terkejut dan bingung lalu tertawa lalu dia tiba-tiba menjauh. Dipikirnya aku gak bingung apa tentang makan malam itu. Aku juga tak tahu harus mengenalkannya sebagai apa. Aku bahkan tak yakin dengan perasaan ini.
Benarkah aku jatuh cinta kepada gadis ini?
“Halo selamat sore.” Suara seorang perempuan membuyarkan lamunanku.
“Renata?” Aku melihat sosok perempuan berambut hitam lurus dengan setelah blazer dan celana warna hitam. Seperti biasa, Renata gadis yang elegan dalam berpakaian.
“Halo Shafwan. Akhirnya aku menemukan rumah ini. Boleh masuk?”
“Tentu saja. Mari masuk. Sekarang sedang ada pembelajaran menjahit.”Aku membukakan pagar kayu untuk Renata.
“Wah aku mau lihat ya. Boleh?”
Renata melangkahkan kaki masuk ke halaman markas.
“Kebetulan di dalam ada Azkadina. Salah satu pendiri RBC. Aku panggilkan ya.”
Aku masuk dan memanggil Azkadina. Mata Azkadina menelisik penasaran melihat kehadiran gadis berambut hitam itu.
“Azkadina, kenalkan, ini Renata. Dia yang mau menyumbang peralatan memasak dan buku bacaan. Kapan hari aku pernah ceritakan kepadamu.”
“Oh, halo. Saya Azkadina.”
“Saya Renata. Shafwan banyak cerita tentangmu.”
“Oh ya cerita apa?” Mata Azkadina membulat menatap Renata.
“Banyak. Termasuk project mulia ini.”
“Ough..” Mata Azkadina melirikku dengan pandangan seakan ingin melumat diriku.
Apa salahku?
“Ya beginilah kondisi Rumah Belajar Ceria. Belum bisa optimal mengembangkan program pembelajaran. Kami masih berusaha semampu kami.” Terang Azkadina kemudian.
“Tidak apa. Sesuatu yang besar pasti berawal dari yang kecil. Kamu dan teman-teman sudah memulai sesuatu yang bagus,” tutur Renata. Tangannya sibuk memfoto sudut-sudut markas dan tentu saja kelas belajar.
“Azkadina, selain ingin menyumbang perlengkapan memasak, ia juga akan menghubungkan RBC ini dengan lembaga sosial yang begerak di bidang pendidikan. Kebetulan teman-teman Renata juga ada yang bergabung dengan Unicef. Kita coba pelan-pelan meng-inisiasi ya.” Aku memulai pembicaraan serius diantara kami bertiga. Rencana besar untuk pengembangan Rumah Belajar Ceria.
“Kita? Aku dan teman-teman aja kali!” ujar Azkadina melengos.
Aku menepuk jidatku sekali lagi. Sesuatu yang tidak beres telah terjadi. Sekian detik yang lalu, ia ceria. Sekarang kenapa harus ketus begitu.
“Renata, yuk sini main ke dapur kami,” ajak Azkadina.
“Kamu kenal dengan Pak guru di mana, Renata?”
Aku mendengar pertanyaan Azkadina ke Renata. Pertanyaan yang tak ada hubungannya dengan project bantuan RBC.
Apa maksud gadis itu?
“Ehm, aku kenal Shafwan beberapa bulan lalu. Orang tua kami berteman baik. Kami juga berteman baik.”
“Cuma berteman baik? Atau sangat baik?” Azkadina bertanya lagi. Kali ini wajah Renata berubah merah padam. Lalu ia menenangkan diri.
“Azkadina, sebaiknya kamu bertanya sesuatu yang berhubungan dengan project aja bagaimana?” potongku. Aku tidak enak hati dengan Renata.
“Ya pertanyaanku itu berhubungan juga. Aku harus tahu dengan jelas siapa yang bekerja sama denganku. Bagaimana hubungan kalian menentukan project ini ke depan.”
“Hubungan apa? Menentukan apanya?” sahutku kesal.
Azkadina mendelik dan melengos pergi dari hadapan kami. Renata mengejar gadis itu. Ia membisikkan sesuatu di telinga Azkadina. Sejurus kemudian, raut wajah Azkadina berubah. Awalnya jutek sekarang menjadi tersenyum. Wajah putihnya juga memerah malu.
Apa yang dibisikkan Renata ya? Aku jadi penasaran.
Setelah menyelesaikan diskusi, Renata berpamitan. Azkadina melanjutkan observasi-nya. Sedangkan aku memilih mengantar Renata sampai masuk ke mobil.
“Renata, kamu tadi membisikkan apa ke gadis itu? Mengapa juteknya hilang?”
“Hanya sesama perempuan yang bisa memahami perempuan.”
“Duh! Para perempuan ini pada pakai kode. Gagal paham aku!”
Renata tertawa. Gigi kelincinya berbaris rapi dari balik bibir merahnya.
“Kamu sungguh ingin tahu?”
“Tentu saja. Aku ingin tahu bahasa para gadis yang penuh kode itu.”
“Aku bilang : Aku milik Reynold. Shafwan is yours.”
“Maksudnya?”
“Dasar bodoh! Dia cemburu, Shafwan. Dia suka padamu.”
“Masa’?” Kali ini aku terkejut dengan pernyataan Renata.
“Ayolah! Kegagalanmu di masa lalu, jangan membuatmu berhenti melanjutkan hidup. Kamu punya masa depan bersama Azkadina.”
Aku terdiam. Renata menutup kaca mobil dan melajukan Avanza abu metalik.
Aku membalikkan badan. Netraku memandang dari kejauhan gadis berkerudung peach yang sedang mencatat sesuatu. Pikiranku berkecamuk tentang dia. Hatiku apalagi. Bergemuruh.
Azkadina, sepertinya aku harus menulis ulang takdirku denganmu.