Sudah empat hari, Shafwan beristirahat di rumah. Sudah empat hari pula ia hanya bisa makan bubur gandum dan makanan lembut. Shafwan terbaring lemas di ranjangnya. Asam lambungnya bergejolak akibat terlambat makan dan berlebihan makan cabe saat mengurusi kecelakaan Fir empat hari lalu. Lambung Shafwan memang rentan. Salah makan sedikit saja sudah bermasalah.
Pernah suatu ketika, Shafwan terlalu fokus mengerjakan proyek menulis modul tematik sampai ia lupa makan. Besoknya dia harus istirahat karena perutnya perih dan kembung. Pernah juga Shafwan makan rujak cingur dengan lima cabai, besoknya, dia langsung diare.
Perasaannya bergejolak ketika bersama Azkadina. Ada rasa peduli. Ada rasa kagum. Selalu ada pelangi ketika bersama Azkadina. Azkadina, sosok kuat, supel, mandiri, sangat percaya diri, namun juga ceroboh. Pemikiran-pemikiran Azkadina yang seringkali bertolak belakang, membuat Shafwan melihat dunia dari sisi yang lebih luas. Terutama anggapan bahwa sekolah sultan hanya bisa untuk anak-anak sultan. Sampai akhirnya ia trenyuh dengan kelima belas anak jalanan itu dan mau terjun menjadi guru tanpa dibayar sepeserpun.
Kekaguman Shafwan juga bertambah saat mengunjungi distro baju milik Azkadina. Gadis itu memperkerjakan para mantan pecandu narkoba di distro miliknya. Setidaknya 3 perempuan dan 3 laki-laki yang hampir semuanya bertato. Selama ini, Shafwan bergidik ngeri melihat orang bertato. Ternyata tidak semua orang bertato itu jahat. Bahkan mereka perlu diajak kepada jalan kebaikan yang selama ini jauh dari sentuhan para pendakwah.
Shafwan tak banyak membuka ponselnya. Ia banyak menghabiskan banyak waktunya untuk beristirahat dan bermunajat. Selain perutnya bermasalah, kepalanya juga penuh. Shafwan banyak memikirkan hubungannya dengan gadis bernama Azkadina.
Kenyamanan bersama Azkadina juga membuat Shafwan ber-istighfar sebanyak mungkin. Ia ingin bersama gadis itu. Berlama-lama dengannya. Jiwa lelakinya berkobar jika bersama Azkadina. Bayang-bayang masa lalunya seakan semakin samar ketika bersama Azkadina. Bayangan kelam bersama perempuan yang sudah meninggalkannya lima tahun silam.
Jelas bukan pacaran yang Shafwan inginkan. Namun menikahi Azkadina juga bukan solusi terbaik saat ini. Secara zahir, Azkadina masih jauh dari kriteria istri idealnya. Bahkan ia belum menutup aurat. Memintanya menutup aurat juga bukan tindakan bijak. Gadis seperti Humaira atau Anna mungkin lebih tepat. Tapi gejolak perasaanya tak sebesar bila bersama Azkadina.
Shafwan pening. Ia memanfaatkan waktu istirahat empat harinya dengan merenung dan menenangkan diri. Bahkan ia tak membalas satu pun chat dari Azkadina. Shafwan hanya membalas chat yang berhubungan dengan sekolah. Shafwan hanya meminta petunjuk dan jawaban dari Tuhan.
Sementara itu …
Terik mentari masih menyengat kota Surabaya. Tak terkecuali SD Teladan Mulia yang terletak di salah satu perumahan menengah ke atas di pinggiran kota Surabaya. Riuh rendah suara siswa yang sedang proses kepulangan berpadu dengan hilir mudik para penjemput siswa.
Ruang guru kembali terisi setelah semua siswa kelas satu dan dua pulang. Ada Humaira, Azhar, Anna, dan Huda. Humaira sedang bercakap dengan Anna, guru pengganti sementara Shafwan di kelas 2C. Mereka sedang membahas kondisi siswa kelas 2C selama Shafwan tidak masuk. Beberapa siswa mulai berulah lagi mencari perhatian. Sebagai guru pengganti, Anna merasa kewalahan.
“Sabar ya Ustazah Anna. Ustaz Shafwan sedang sakit. Semoga besok bisa masuk. Anak-anak kelas 2C juga sudah merindukan Ustaz Shafwan.” Humaira menguatkan Anna, yang masih dua tahun menjadi guru.
“Iya. Ustaz Shafwan jarang banget ya tidak masuk. Apalagi karena sakit. Tumben ini sampai empat hari,”ujar Anna. Matanya sibuk memeriksa jurnal kelas 2C yang ditulis oleh Shafwan dan Humaira.
“Jelas saja tidak masuk. Ini hukuman Allah buat Ustaz Shafwan!” Tetiba Azhar nimbrung pembicaraan mereka.
“Kok begitu Ustaz?” mata bulat Humaira membulat. Alis matanya terangkat.
“Tentu saja. Empat hari yang lalu, ia pulang malam bersama seorang perempuan. Boncengan. Berdua.” Azhar menatap lurus Humaira. Suaranya naik 1 oktaf.
“Oh ya? Siapa? Tahu dari mana?” Kali ini Anna ikut bertanya.
“Tahu dari adikku yang kerja di rumah sakit. Ia pulang setelah jaga malam dan melihat Ustaz Shafwan bersama perempuan.”
“Ibunya kali?” tanya Huda ringan. Ia melihat ada gelagat yang kurang baik dari pembicaraan Azhar.
“Ibunya dari Hongkong?! Jelas masih muda dan berambut ikal panjang.” Mata Azhar melotot lalu ia tersenyum.
Azkadina? Benarkah ia?
“Ustaz Shafwan itu pacaran dengan tantenya Farel. Mereka sering bersama. Dan malam itu kepergok boncengan.” Azhar masih saja berbicara. Ia kemudian berdiri dan meletakkan kedua tangan ke pinggang.
“Gila! Bagaimana mungkin seorang guru sekolah islam punya akhlak buruk seperti itu. Gak bisa dibiarkan itu. Harus ada teguran. Jangan mentang-mentang ia guru berprestasi jadi dimaklumi.” Azhar semakin lantang dengan semburan kata-katanya. Telunjuknya sesekali terangkat.
“Ustaz Azhar yakin dengan kata-kata Ustaz?” Suara Humaira bergetar menanyakan kevalidan ucapan Azhar.
“Tentu saja. Boleh tanya ke adik saya. Malam itu mereka boncengan naik Megapro-nya Shafwan.”
“Mungkin salah lihat. Yang punya Megapro kan banyak.”
“Heh! Jangan karena ente sahabatnya jadi membela perilaku buruk Shafwan ya. Jelas-jelas ia pacaran. Maksiat!”
“Kalem, Bro! Hati-hati menyimpulkan sesuatu. Nanti jatuhnya fitnah,” ujar Huda.
“Perilaku berboncengan dengan cewek di tengah malam itulah yang menimbulkan fitnah. Tidak pantas. Tercela! Harusnya Shafwan dipecat, tidak hanya ditegur.”
“Astaghfirullah. Saya kenal Shafwan dengan baik. Perlu klarifikasi dari Shafwan. Kalau Shafwan salah ya harus diingatkan dan ditegur. Kalaupun benar dia dekat dengan seorang perempuan, ya bagus lah. Suruh saja menikah. Biar fitnahnya tidak melebar kemana-mana” Tutur Huda mendinginkan suasana yang semakin panas. Ia melirik Humaira, wajah gadis itu kusut. Ia tahu, Humaira menyimpan hati untuk sahabatnya, Shafwan. Shafwan saja yang tak peka.
“Ya gak bisa begitu saja. Harus ada teguran dari kepala sekolah lah. Minimal dapat Surat Peringatan maksimal ya dipecat.”
Huda hanya geleng-geleng kepala melihat keras kepala-nya Azhar. Ia sendiri tak dapat jawaban banyak dari Shafwan beberapa hari ini. Sahabatnya itu seakan menjauh dari peradaban. Tapi Huda yakin, Shafwan bukan orang yang gegabah dalam berperilaku.
Humaira menunduk. Hatinya seakan diremas. Perih.
Benar dugaanku. Ustaz Shafwan suka dengan Azkadina. Ini adalah jawaban dari Allah.
Humaira pasrah dengan semua yang tampak di hadapannya. Ia menarik nafas panjang. Ditahannya sekuat tenaga, air mata yang hampir jatuh. Jawaban yang ia minta dari Allah, sudah terjawab-sesakit apapun itu. Pertanyaan besar di benaknya, apakah Shafwan jodoh untuknya, terjawab sudah. Allah sudah tampakkan dalam beberapa hari ini.
Humaira mengambil ponsel, dan mengetikkan sebuah nama. Dengan mengucap basmallah, ia mengirim pesan pada nama yang dituju.
[Humaira] Mbak, saya sudah punya jawaban. InsyaAllah, saya akan melanjutkan proses taaruf . Mohon bimbingannya.
****