Bel istirahat berbunyi. Saatnya siswa me-rehat-kan diri dengan menikmati snack dan bermain bersama teman. Setelah memastikan siswa di kelasnya aman, Shafwan melangkahkan kaki menuju ruang guru. Ia ada janji bertemu Humaira.
Sesampai ruang guru, Shafwan melapangkan matanya. Tak banyak guru yang ada di sana. Hanya Humaira sebagai guru Bimbingan Konseling serta Azhar, guru olahraga dan Anita, tim kurikulum sekolah. Shafwan langsung duduk di kursi depan meja kerja Humaira.
Sejenak mereka berbasa-basi kemudian Humaira membuka jurnal kasus yang menjadi senjatanya untuk melaksanakan tugas. Humaira memulai diskusi terkait Alina, murid Farel yang beberapa kali ngompol di kelas.
“Terkait kasus Alina. Saya mendapatkan keterangan bahwa ananda tidak berani buang air kecil di kamar mandi karena takut ada hantu.”
“Oh ya? Bagaimana bisa?”
“Alina ikut nonton film horror dengan kakaknya. Salah satu adegan film, si tokoh bertemu hantu di kamar mandi. Sejak itu, Alina takut ke kamar mandi sendirian. Ia selalu minta diantar kakaknya. Alina juga tidak berani ke kamar mandi sekolah sendirian. Beberapa kali ia minta bantuan temannya. Tapi ada kalanya ia harus ke kamar mandi sendirian, dan ia menundanya sampai akhirnya ngompol.”
“Oh begitu. Terima kasih banyak bantuannya.”
“Sama-sama.”
“Kabar Farel bagaimana?”
“Farel sudah lebih stabil. Tak lagi mudah memukul. Saya ajari cara mengendalikan amarah. Ayahnya juga lebih banyak berinteraksi dengan Farel walaupun saat kerja di luar kota. Ibunya juga lebih kooperatif, terutama setelah pulang umroh.
“Semua masalah siswa memang berasal dari keluarga. Solusinya juga ada di keluarga.”
“Ustazah Humaira benar.”
“Lalu kabar tantenya?”
“Lho kok jadi tanya tantenya. Hahaha…” Shafwan tertawa menyembunyikan pipinya yang mulai memerah membahas tantenya Farel.
“Ya barangkali aja Ustaz mau menyampaikan sesuatu. Ustaz kan lagi dekat ya..”
“Terlalu berspekulasi. Kami sedang ada project bareng.”
Project apa? Boleh tahu? Sampai harus dijemput di sekolah? Apa Ustaz suka dengan tante Farel?
Beragam pertanyaan di hati Humaira menggelinding begitu saja. Tentu saja Humaira tak berani menyampaikan.
Shafwan tak menyadari perubahan raut muka Humaira. Ia terus saja bercerita perkembangan kasus siswa di kelasnya. Dan Humaira pun berusaha erat menyembunyikan ledakan hatinya. Ia menulis catatan kecil di jurnal kasusnya.
****
Sore hari, netra Humaira tak lepas dari mengamati tindak-tanduk Shafwan. Seperti biasa, Shafwan bergegas merapikan perlengkapan kelas dan perlengkapan pribadi. Bersiap untuk pulang tepat waktu.
Pasti mau ketemu Azkadina!
“Ustaz mau ke mana?”
“Ya pulang. Kan sudah jam pulang?”
“Eh iya. Tadi ada yang tanya tentang persiapan spanduk untuk outbound bagaimana?”
“Sudah siap. Besok siang saya ambil.”
“Lalu tentang progress Alina bagaimana?”
“Oh, tadi sudah saya ajak ngobrol. Beberapa hal sudah kami sepakati dengan Alina. Ortu juga sudah saya hubungi tadi. Laporannya ada di google drive kasus siswa. Ada lagi?”
“Cukup. Terima kasih.”
Shafwan melangkahkan kaki menuju tempat parkir untuk bersegera menuju Rumah Belajar Ceria. Sepasang mata jernih Humaira melepas kepergian Shafwan. Hatinya gerimis.
Aku harus bagaimana ya Allah…
***
“Jadi, Mas dan Mbak semua. Dengan bergabungnya kita di sini, semoga bisa menambah tabungan amal kita di akhirat nanti. Tabungan di dunia boleh menipis bahkan zero, tapi tabungan di akhirat jangan sampai kosong. Apalagi minus.”
“Iya sih, Pak Guru benar. Tapi kadang anak-anak itu suka gak sopan dan bicaranya kasar. Kami gak enak banget mendengarnya.” Seorang perempuan bernama Sri menyampaikan keluhannya.
“Ya, begitulah kehidupan mereka di jalanan. Keras dan kejam. Maka empati mereka juga terkikis. Tidak semua kita masukkan ke dalam hati. Saya juga berkali-kali mendengar kata jancok, jamput bahkan alat kelamin pria juga disebutkan. Risih memang. Saya sampaikan begini, kalau sedang belajar sama saya di kelas ini, tahan diri berbicara jelek. Susah memang. Tapi ternyata mereka bisa. Nanti saya akan tingkatkan lagi dosisnya.”
Sri dan empat pengajar lainnya manggut-manggut. Mereka mendapatkan jam mengajar sepekan sekali di Rumah Belajar Ceria. Sri yang juga guru di sebuah sekolah negeri, mendapatkan mandat mengajarkan ketrampilan dan seni.
Sementara itu, empat pasang mata menyimak obrolan hangat pada forum itu. Mereka, adalah para pemuda yang merintis Rumah Belajar Ceria. Azkadina, Queen, Juna, dan Antok.
“Pantesan, si Azka klepek-klepek sama Pak Guru ini, high quality jomlo plus mambu surgo,” celetuk Juna sambil melirik Azkadina.
“Iyo, skala 10 dari 10 tibake ya. Ajur jum,” sahut Queen.
“Hush! Opo ae seh!?” hardik Azkadina. Ia tak sadar, pipinya merona merah. Sampai kemudian pandangan Shafwan beralih padanya; menyapa Azkadina dan teman-temannya.
Mereka berlima bertukar sapa dan saling berkenalan. Para founder Rumah Belajar Ceria banyak mendapatkan pujian sekaligus masukan untuk pengembangan dari Shafwan. Shafwan mengajak para founder untuk bekerjasama dengan CSR perusahaan dan lembaga filantropi. Selain itu, Rumah Belajar Ceria juga harus eksis di dunia maya. Menyampaikan banyak kebaikan ke dunia luar.
Menjelang Maghrib, Queen, Juna dan Antok berpamitan pulang. Tinggal Azkadina dan Shafwan di rumah itu yang menunggu kehadiran murid-murid istimewa mereka.
Pada kesempatan itu, Shafwan memberikan sejumlah uang untuk biaya operasional. Mata Azkadina terbelalak tak percaya melihat dua puluh lembar uang seratus ribu itu.
“Dari siapa?”
“Donatur.”
“Iya tahu. Siapa?”
“Hamba Allah.”
“Namanya?”
“Sang donatur tidak mau menyebutkan namanya. Katanya untuk menjaga keikhlasan.”
“Bisa aja. Paling ya Pak Guru yang nyumbang!”
“Aku? Sok tahu banget, tante Azkadina ini.
Azkadina mendengus kesal. Tak lama kemudian, seseorang tampak berlari tergopoh memasuki halaman rumah.
“Uyul?”
“Tolong Mbak. Fir ketabrak mobil.
“Apa?! Di mana?”
“Di sana Mbak,” ujar Uyul sambil menunjuk ke arah Utar
“Ayo kita ke sana!” Ajak Shafwan segera beranjak dari tempatnya bersila.
Shafwan, Azkadina serta Uyul berlari menuju lokasi kecelakaan. Azkadina terkejut melihat kondisi Fir. Benjolan kecil di kening Fir, serta bibir yang robek dan mengucur darah segar. Tangan Fir juga tak bisa digerakkan.
“Siapa yang menabrak?”
Seorang laki-laki muda menyembulkan kepalanya serasa berkata ,”Saya, Mas.”
“Mas tanggung jawab ya,” ujar Shafwan.
“Tapi dia yang salah, dia nyeberang jalan sambil berlari.” Pemuda itu berkacak pinggang sambil menunjuk ke arah Fir.
“Iya tetap saja harus tanggung jawab!” Suara Shafwan meninggi menanggapi pemuda itu.
“Waduh! Gak bisa gitu dong. Wong dia yang salah.”
“Kalau gitu saya laporkan polisi. Sekalian aja urusan polisi kalau gak mau tanggung jawab.” Kali ini Shafwan ikut berkacak pinggang menatap tajam pemuda itu.
“Walah! Gak wes, Mas. Jangan urusan polisi. Kekeluargaan saja.”
“Mas, sampeyan bawa anak ini ke rumah sakit ya. Azkadina ikut mereka. Saya nyusul pakai motor.”
“Sampeyan ojok aneh-aneh lho, Mas. Bapakku wong angkatan!” Si Pemuda mulai mengancam.
“Trus laopo lek angkatan? Ojok kakean cangkem. Iki arek anake wong gak nduwe! Sampeyan gelem lek-lekan tukaran ta? Tak viralkan foto sampeyan gelem?” Shafwan menggulung lengan bajunya. Menantang balik pemuda di depannya.
Mata Azkadina terbelalak tak percaya dengan yang dilihatnya. Shafwan yang biasa lembut, ternyata bisa galak juga.
Masih dengan keterkejutannya, Azkadina tersedu tak tega melihat kondisi Fir. Ia memberi kode kepada Shafwan untuk bersegera ke dokter.
Azkadina dan Shafwan menggendong Fir dan memasuki mobil laki-laki muda itu.
“Kita kemana, Mas?” tanya pemuda itu.
“UGD Wiyung Sejahtera!”
Pemuda itu mengangguk dan memasuki mobilnya.
“Azkadina, kamu share lock posisi terkini ke saya ya.” Mata Shafwan menatap Azkadina. Azkadina tak berkedip merespons tatapan indah itu. Tangannya masih sibuk memegangi Fir yang menangis kesakitan.
“Sekarang ya Azkadina!” Shafwan setengah teriak. Azkadina terkejut.
“Beb…baik…”
“Hati-hati ya. Tunggu aku di sana!” Suara Shafwan melembut. Sedetik, hati Azkadina berdesir halus. Ia tersenyum. Wajahnya, sekali lagi, merona merah dan tertangkap jelas oleh Shafwan.
Duh! Kenapa kau seperti bidadari, Azkadina?
Ledakan hati Shafwan menderu berpacu dengan gerak cepatnya menuju rumah sakit; menyusul Azkadina.