Hari-hari Shafwan memasuki episode baru. Setelah menyanggupi menjadi pengajar di Rumah Belajar Ceria, Azkadina bergerak cepat menyusun strategi. Azkadina menyiapkan jadwal mengajar Shafwan dalam sepekan. Shafwan tidak hanya didaulat mengajar anak-anak tapi juga memberi pembekalan untuk para guru.
Hari itu, matahari bersinar terik. Kota Surabaya terasa panas dan cerah. Setelah seharian menyelesaikan tugas-tugas keguruan di SD Teladan Mulia, Shafwan berencana langsung ke Rumah Belajar Ceria yang dibina oleh Azkadina. Hari itu, Shafwan terjadwal mengajar ngaji. Ia segera mengakhiri proses pembuatan lesson plan dan laporan PTK di layar laptopnya. Lalu Shafwan merapikan meja kerjanya. Tumpukan buku dan map plastik dikembalikannya ke dalam lemari.
Semua siswanya sudah pulang ke rumah masing-masing. Sebelum meninggalkan kelas. Shafwan memungut beberapa barang yang tertinggal di kelas misalnya botol minum, pensil dan buku cerita. Ruang kelas berukuran 8x8 meter itu sudah kembali rapi. Sebentar lagi, petugas kebersihan akan menyapu dan membersihkan lantai di kelas itu.
Setelah berkemas, Shafwan mencangklong ransel Export hitam di atas bahunya. Baru beberapa langkah dia dari meja kerja, seseorang datang menyampaikan salam.
“Assalamualaikum,”
“Wa alaikum salam. Ya Ustazah Humaira. Ada apa?”
“Tumben Ustaz sudah mau pulang. Biasanya jam 5 sore baru pulang.
“Ah ya. Saya ada agenda lain setelah ini. Ada yang bisa saya bantu?”
“Saya mau menyampaikan hasil observasi Alina.” Humaira menunjukkan map kuning plastik yang berisi laporan observasi kasus Alina yang sering ngompol di kelas. Shafwan tertarik untuk mendiskusikannya dengan Humaira, karena kasus Alina ini agak unik. Dalam dua pekan, Alina sudah ngompol di kelas 5 kali. Padahal di pekan-pekan sebelumnya, ia baik-baik saja.
Shafwan melihat jarum jam di arlojinya. Jika Shafwan tidak segera berangkat, dia pasti akan terlambat tiba di rumah belajar itu. Lagipula, seseorang sudah menunggunya di luar pagar sekolah.
“Maaf, saya bawa dulu ya laporan ini. Saya baca di rumah saja. Besok kita diskusi.”
“Oh..begitu. Saya pikir bisa sore ini.”
“Maaf saya sudah ada janji. InsyaAllah besok jam 10 ya. Jam segitu saya tidak sedang mengajar.”
“Baiklah.”
“Terima kasih Ustazah Humaira. Saya pergi dulu.” Shafwan memasukkan map kuning itu lalu bergegas pergi meninggalkan Humaira.
Humaira terbengong sendirian di dalam kelas melihat kepergian Shafwan. Kesempatan untuk bisa diskusi dan ngobrol dengan Shafwan sirna. Ia bertanya dalam hati mengapa Shafwan pulang tepat waktu dan seperti terburu-buru. Sejenak netranya melihat botol minum warna hitam milik Shafwan tertinggal.
Humaira mengambil botol minum itu dan mengejar Shafwan. Ternyata Shafwan sudah tidak ada di tempat ceklok depan kantor.
Sepertinya Ustaz Shafwan sudah sampai parkiran.
Humaira bergegas menuju tempat parkir. Shafwan sudah melajukan Megapro-nya keluar pagar. Humaira yang memanggilnya, tak terdengar oleh suara motor yang sedang dinyalakkan oleh para guru. Humaira mengejar lagi sampai keluar pagar.
Langkah Humaira terhenti tatkala melihat seseorang yang sudah menunggu Shafwan di luar pagar sekolah. Seorang perempuan yang ia kenal postur tubuhnya. Beberapa kali ia mengucek matanya, memastikan apa yang ia lihat. Perempuan muda itu menunggu di tepi jalan dengan motor bebek keluaran lama. Lalu ia melajukan motornya bersamaan dengan Shafwan melajukan Megapro-nya. Mereka berdua bergerak beriringan dengan motor masing-masing.
“Ustaz Shafwan … sama Azkadina..?” gumam Humaira. Banyak pertanyaan bermunculan di benak Azkadina. Namun hanya satu pertanyaan yang mampu ia temukan jawabannya.
Jadi gadis itu yang membuat Ustaz Shafwan pulang tepat waktu…
***
Pertemuan perdana Shafwan dengan lima belas anak-anak penghuni Rumah Belajar Ceria berlangsung canggung. Shafwan bingung harus mengajari mengaji namun usia mereka beragam. Ada yang delapan tahun, sepuluh tahun, bahkan empat belas tahun juga ada.
Akhirnya Shafwan berkenalan dengan mereka semua melalui permainan. Kesan canggung dan kaku di awal berubah menjadi akrab dan ceria.
Azan Maghrib berkumandang. Shafwan mengajak anak-anak itu salat maghrib di masjid terdekat. Namun sayang, tak satupun dari mereka yang hafal bacaan salat. Mereka jarang sekali melaksanakan salat. Di jam-jam maghrib, mereka biasanya di jalan. Mengamen.
Dengan senang hati, Shafwan mengajari mereka gerakan dan bacaan salat dan wudhu. Mengingatkan kembali lebih tepatnya. Setelah dirasa cukup, Shafwan mengajak mereka salat berjamaah.
Mereka bekerjasama menyiapkan ruangan belajar menjadi tempat salat. Rakaat pertama, Shafwan membaca surat Ar Rahman sebanyak 15 ayat. Lalu dilanjutkan lagi 15 ayat Surat Ar Rahman di rakaat kedua.
Selesai salat dan berdoa, Shafwan mengajak kelima belas makmumnya men-tadaburi Surat yang tadi dibaca ketika salat. Surat Ar Rahman mengajarkan tentang kasih sayang Allah melalui ciptaan-ciptaanNya. Shafwan ingin menggugah kembali keimanan di hati anak-anak itu. Tapi memang tidak mudah untuk melembutkan hati mereka yang mengeras karena keadaan.
“Tapi Ustaz, buat apa salat, kalau tetap miskin?” celetuk Uyul, anak perempuan berambut keriting.
“Bagaimana mungkin Allah sayang sama kita, lha kita makan aja susah. Harus cari kerja dulu di jalan.” Sahut Jumadi, si paling senior.
Shafwan hampir menangis mendengar pertanyaan dari mereka. Shafwan tidak tega dengan kondisi mereka. Bagaimanapun kefakiran itu mendekatkan diri kepada kekufuran.
“Ustaz tahu jawabannya. Tapi tidak sekarang ya. Besok saja. Ustaz akan bawakan jawaban yang kalian perlukan.” Shafwan menangguhkan jawabannya karena hari sudah malam.
“Yang penting besok kalian kembali lagi ya,” lanjutnya.
“Gak janji Ustaz. Kalau sehari gak ngamen, kita dimarahi.” Ujar si Fir, anak lelaki berkulit gelap dan rambut cepak.
“Ya sore begini gak pa-pa. Setelah ngamen gitu ya.” Shafwan memberikan alternatif.
“Dapatnya sedikit, Taz. Gak cukup buat beli makan.” Kembali si Jumadi bersuara.
Shafwan menunduk lagi. Ia seakan kehabisan jawaban ketika dibenturkan dengan kemiskinan mereka.
“Bismillah ya. Kita berdoa semoga Allah berikan rizki yang berlimpah besok.”
“Cuma doa saja gak bisa Ustaz. Hehehe…” celetuk Uyul. Kali ini Shafwan hanya tersenyum.
Kelima belas anak itu berpamitan. Sebelum pulang mereka diajak ber-swafoto dengan Shafwan dan Azkadina. Suasana rumah belajar itu kembali sepi.
“See? Bagaimana perasaan Pak Guru mendengar celoteh mereka? Aku sedih banget, rasanya tak berdaya ketika mereka sudah mengeluhkan kemiskinan.” Azkadina membuka obrolan.
“Ya aku juga begitu. Sabar ya. Pasti ada jalan yang terbaik untuk mereka. Kita upayakan semampu kita.”
“Ciye…kita…”
“Eh salah ya…”
Besok jadi ketemu para guru? Kalau iya, aku siapkan kue.”
“Boleh. Jam berapa?”
“Agak sorean ya. Aku ada kuliah abis ashar. “
“InsyaAllah. Aku langsung ke sini langsung gak pa-pa kan?”
“Gak mau aku jemput ya? Ntar ketahuan Ustazah Humaira ya,” goda Azkadina. Matanya melirik manja pemuda di sampingnya.
“Betewe, terima kasih ya Pak Guru. Aku seneng banget Pak Guru mau bergabung di sini. Kayaknya aku gak kuat bayar deh.”
“Bayarnya pake doa aja.”
“Doa apa?”
“Terserah asal baik.”
“Aku doakan semoga Pak Guru menemukan jodoh terbaiknya…Hehehe…”
“Aaamiin.”
“Emang gimana kriteria jodoh Pak Guru?”
“Rahasia…” jawab Shafwan sambil mengenakan helm.
Azkadina melengos. Bibirnya monyong satu senti. Shafwan menyalakan motornya dan memutar kemudinya. Ia bersiap melaju pulang. Beberapa detik sebelum menge-gas motornya, kepala Shafwan menengok ke belakang. Matanya lembut menatap Azkadina.
Senyum Azkadina melepas kepergian Shafwan. Hatinya selalu meng-hangat ketika ada Shafwan. Mata Azkadina tak berhenti menatap pemuda di depannya. Bahkan sampai ia menghilang ditelan jalan.
Sementara itu …
Ada warna baru yang terbit di ujung hati Shafwan. Warna indah yang sulit ia tolak. Warna yang akan mengubah jalan hidupnya