Orang tua Farel sudah pulang ke tanah air. Shafwan dan Azkadina meminta maaf secara langsung terkait kejadian jatuhnya Farel. Mereka berdua siap menanggung amarah orang tua Farel. Namun ternyata yang terjadi malah sebaliknya. Sonya dan Zakaria tidak mempermasalahkan kejadian itu. Keduanya malah berterima kasih karena sudah menjadi orang tua pengganti Farel selama mereka umroh.
Sejak sepulang dari umroh, hati Sonya lebih lunak. Ia tak lagi mengekang ruang bermain Farel. Begitu pula dengan Zakaria. Ia lebih banyak meluangkan waktu untuk Farel.
Hubungan Azkadina dan Shafwan juga semakin baik. Mereka sering berdiskusi tentang banyak hal melalui chat. Mulai dari masalah sosial, politik maupun ekonomi. Beberapa kali Shafwan mengirimi link video berisi ceramah ustaz gaul ke Azkadina. Namun dasar Azkadina, ia tidak mau memutar video itu.
“Aku lebih suka jika pak guru Shafwan yang menyampaikan langsung,” tulis Azkadina melalui chat ke Shafwan.
Dan, Shafwan hanya menjawab dengan mengirimkan emoticon *tepokjidat.
[Azkadina] Besok ikut aku ya pak guru.
[Shafwan] Ke mana?
[Azkadina] Ada deh. Ikut aja ya
[Shafwan] Asal gak ke tempat aneh-aneh.
[Azkadina] Tenang aja. Pak guru pasti suka
[Shafwan] Semoga
###
Azkadina menepati janjinya mengajak Shafwan ke suatu tempat. Hari itu, Azkadina memakai celana jeans berwarna abu-abu dan kemeja hitam polkadot putih.
Shafwan meminta Azkadina menemuinya di sebuah minimarket di tepi jalan Wiyung. Tanpa bertanya, Azkadina menuruti. Ia menunggu kehadiran Shafwan sesuai lokasi yang ditentukan.
Suara klakson mobil dan motor menghiasi jalanan ramai perbatasan Surabaya selatan dan barat itu. Sudah lima menit, Azkadina mematung. Sesekali ia scrolling beranda Instagram dan menilik ke akun Shafwan. Tak banyak yang bisa ditemui Azkadina selain berita terkait sekolah. Hampir tak ada satu foto yang menunjukkan kehidupan pribadi dan keluarga Shafwan. Paling banter foto Shafwan dengan sahabatnya ketika berkemah. Jauh berbeda dengan Azkadina yang hampir setiap hari posting kehidupan pribadi.
Suara motor Megapro Shafwan terdengar dari balik tikungan. Wajah manis Shafwan terbungkus masker kain dan kacamata hitam. Di kepalanya terpasang helm ber-standar SNI ber-merk terkenal.
“Lama banget pak guru. Aku hampir jamuran.”
“Maaf, tadi Mama minta bantuanku membetulkan ponselnya.”
“Hm…Yuk berangkat.” Dengan sigap Azkadina memegang bahu Shafwan dan menempatkan dirinya di motor Shafwan. Ia duduk persis di belakang Shafwan.
“Lho..sebentar, kok boncengan? Mbak Azka gak bawa motor?” Shafwan terkejut dengan sikap Azkadina.
“Iya maaf. Motorku masuk bengkel.”
“Kenapa Mbak Azka gak bilang? Tahu gitu kita tunda.”
“Ya kan bisa boncengan.”
“Tapi…”
“Pak guru keberatan ya?”
“Eh iya. Saya tidak pernah boncengan dengan perempuan.
“Bahkan dengan mama pak guru?”
“Tentu beda. Maksudnya dengan perempuan yang bukan mahrom saya.”
“Memang gak boleh?”
“Iya gak boleh. Terlalu dekat secara fisik.”
“Lha ojek online itu gimana?”
“Saya gak sepakat juga walaupun setiap orang punya pilihan masing-masing.”
“Kalau darurat kan gak pa-pa?”
“Iya tapi tetap saja bisa memilih pakai ojek mobil daripada motor. Secara fisik tidak terlalu dekat walaupun dalam satu mobil.”
“Repot amat! Islam masa’ merepotkan gitu?”
“Ya gak gitu juga. Tuntunannya jelas di hadits yang berbunyi … ”
“Waduh. Pasti mau ceramah ini Pak guru,” potong Azkadina.
Shafwan terdiam.
“Jadi gimana ini? Anggap aja darurat ya? Masa’ mau batal?” Azkadina mendesak Shafwan.
“Mbak Azka punya kontak ojek online perempuan?”
“Nggak ada lah. Ngapain.”
“Duh!” Shafwan memukul kepalanya yang terpasang helm.
“Ayolah pak guru. Sekali ini aja masa’ dosa. Nanti istighfar bareng-bareng deh.”
“Tapi…”
“Now or never? Mood-ku ambyar nih…” Azkadina semakin mendesak Shafwan untuk menuruti apa maunya. Wajahnya sudah kepanasan dan terlipat-lipat. Senyumnya sudah hilang.
Shafwan menarik nafas panjang. Melihat raut wajah gadis di depannya yang terlipat membuatnya mengambil keputusan sulit.
“Baiklah. Ayo berangkat.”
“Nah gitu dong.”
“Pegangan tas saja ya, Mbak Azka.”
“Panggil Azka aja, pak guru.”
Shafwan tersenyum lalu melajukan motornya melewati jalan Wiyung lurus sampai ke jalan Menganti. Sesampai di perempatan besar jalan Mastrip, Shafwan membelokkan Megapro-nya ke arah kanan. Shafwan terus melajukan motornya dengan perasaan bergetar. Ini adalah pengalaman pertama Shafwan berboncengan dengan perempuan.
Belum satu kilometer dari perempatan Mastrip, motor Shafwan oleng. Ia segera menepikan motornya. Nasib sial menghampiri. Ban depan motor Shafwan bocor. Ia mematikan mesin motor dan meminta Azkadina turun dari motor. Shafwan menuntun motor dengan Azkadina berjalan di sampingnya.
“Maaf,” ucap Shafwan singkat.
“It’s okay.”
Beruntunglah mereka, karena ada tambal ban yang buka tak jauh dari lokasi mereka. Shafwan merapatkan motornya ke lokasi tambal ban. Bapak tukang tambal ban segera memeriksa kondisi ban yang bocor dan menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan.
Tak banyak yang dibicarakan Shafwan. Ia memilih untuk diam menutupi perasaannya yang tidak nyaman.
Seharusnya aku tidak boncengan dengan gadis ini.
“Tempatnya masih jauh?” tanya Shafwan pada Azkadina.
“Gak kok. Paling dua kilo dari sini,” jawab Azkadina,”Pak guru mau kue?”
Azkadina mencairkan kebekuan di antara mereka. Shafwan tak menolak. Ia mencicipi kue yang dibawa Azkadina. Obrolan mereka berlanjut. Azkadina menanyakan banyak hal terkait ajaran Islam yang mana pria dan wanita tidak boleh bersentuhan. Shafwan menjelaskan dengan rinci, termasuk bunyi hadits-nya.
“Menusuk kepala dengan jarum dari besi, itu jauh lebih baik buat seorang Muslim di antara kalian dibandingkan jika ia bersentuhan dengan wanita yang bukan halal baginya,”.ujar Shafwan.
“Maaf. Aku beberapa kali menepuk punggung pak guru tadi.”
Shafwan hanya menyengirkan hidung mancungnya. Azkadina tertawa.
“Maaf juga sudah memaksa pak guru bonceng aku. Lain kali, aku pakai motor sendiri ya kalau mau jalan-jalan.”
Shafwan mengangguk, kali ini ia tersenyum.
Tiga puluh menit mereka duduk dan berbicara sampai tukang tambal ban menyampaikan bahwa ban motor Shafwan sudah selesai ditambal.
Perjalanan mereka lanjutkan lagi. Kali ini motor Shafwan memasuki sebuah gang yang ada di sebelah kiri jalan. Motornya berhenti di depan sebuah bangunan sederhana terbuat dari kayu yang dicat warna-warni. Sebuah papan kayu berwarna putih berdiri di halaman bangunan itu dan bertuliskan “Rumah belajar Ceria”. Beberapa anak usia SD sampai SMP tampak membaca buku yang disediakan di rak.
“Selamat datang. Ini yang ingin aku ceritakan ke pak guru.”
“Rumah apa ini?”
“Ini adalah rumah yang aku dirikan bersama teman-temanku. Rumah ini menampung anak-anak yang putus sekolah karena biaya ataupun anak jalanan yang dilarang sekolah karena harus ngamen.”
“Wow. Mbak Azkadina keren.
“Hush! Bilangin, jangan panggil aku Mbak. Azka atau Ka aja.”
“Baik. Azkadina,” jawab Shafwan,”Berapa yang belajar di sini?”
“Ada lima belas. Tapi ya keluar masuk sih. Yang rutin cuma 8 anak saja.”
“Lengkap ya fasilitasnya. Ada perpustakaan, meja lipat, papan tulis, dapur, kamar mandi juga ada.” Shafwan mengamati bangunan yang disebut dengan rumah belajar itu. Sesekali ia mem-foto bagian-bagian bangunan.
“Yup. Kami menyetting se-ideal sekolah pada umumnya. Walaupun ukuran mini. Hehehe…”
“Gila! Azkadina, kamu keren banget”.
Hampir saja Azkadina tersipu malu, namun akhirnya ia nyeletuk, “Iya dong hahaha…”
“See? Benar kan aku bilang, tak semua anak bisa sekolah di tempat bagus. Hanya orang-orang yang punya privilege yang bisa belajar dengan kualitas tinggi. Contohnya anak-anak ini. Rasanya tidak adil saja dunia ini. Melihat Farel dan teman-teman sekolah di tempat bagus dengan guru-guru terbaik.” Azkadina duduk di salah satu ayunan. Matanya menerawang jauh.
“Hm… lalu?”
“Ya anak sultan pasti punya peluang sukses lebih besar dibandingkan anak rakyat jelata. Coba bandingkan dengan anak-anak ini. Mereka dapat apa?”
“Jadi?” Shafwan ikut duduk di ayunan samping Azkadina. Ia memandang gadis manis di sebelahnya.
“Jadi, kalau pak guru menyitir ayat ini hadits itu, itu hanya utopis saja. Gak betul-betul bisa real terjadi. Anak-anak ini, mereka mau melanjutkan ke mana? Mau jadi apa? Sudah syukur mereka bisa baca tulis.”
“Hm….begitu ya. “
Azkadina mengangguk. Senyumnya sinis.
“Boleh saya menyampaikan sesuatu?” tanya Shafwan.
Azkadina mengangguk.
“Pertama, ajaran Islam sudah pasti benar. Kalaupun ada yang menurut kita kurang benar atau bahkan utopis, maka yang salah bukan Islam-nya, namun orangnya. Mengapa tidak mau menjalankan sistem Islam? Banyak kok contoh peradaban Islam yang sukses ketika menerapkan prinsip-prinsip Islam. Daulah Abasiyah misalnya. Banyak ilmuwan yang lahir bahkan ketika eropa mengalami abad kegelapan. Jalankan prinsip-prinsip Islam, itu kuncinya.”
“Jadi harus Arabisasi gitu baru bisa sukses gemilang?”
“Apa saya bilang Arabisasi? Islam memang turun dari Arab. Tapi bukan berarti semua Arab itu cerminan Islam. Di sana masih banyak yang setipe Abu Jahal. Wajahnya Arab tapi tidak Islami banget perilakunya.” Mata Shafwan melotot kea rah Azkadina. Suaranya terasa naik 1 oktaf.
“Kok pak guru jadi emosi gitu? Peace dong!”
“Hehehe maaf. Suka emosi kalau ada yang mencampur adukkan Islam dan Arab.”
“Sabar Pak guru. Ini ujian. Hahaha….”
“Kedua, prinsip yang harus kita pegang, Allah Maha Adil. Allah memang memberikan takdir yang berbeda antara Farel dan teman-temannya dengan anak-anak di sini. Gimana-gimana beda takdir. Tapi sekali lagi, Allah Maha Adil. Allah memberikan ilham kepada setiap manusia untuk berubah lebih baik. Anak orang kaya yang sukses banyak, tapi yang gak sukses juga gak sedikit. Yang Azkadina contohkan itu memang yang sukses. Tapi yang gak sukses kan gak ditampilkan.” Shafwan menguraikan penjelasannya.
“Tokoh yang sukses dengan kondisi keluarga pas-pasan juga banyak loh. Habibie misalnya. Chairul Tanjung juga. Dahlan Iskan, Ciputra. Semuanya sukses bukan karena orang tua mereka kaya raya. Mereka memiliki visi hidup yang kuat,” jelas Shafwan.
Azkadina menyimak setiap kata yang diucapkan Shafwan. Shafwan menenggak sebotol air minum yang dibelikan Azkadina lima menit lalu dan melanjutkan penjelasannya.
“Kasih sayang Allah itu melimpah. Tidak sekadar kesempatan belajar di sekolah mahal. Apa yang Azkadina lakukan dengan rumah belajar ini juga termasuk kasih sayang Allah untuk mereka. Allah melembutkan hati Azkadina, memberikan kasih sayang kepada Azkadina sehingga Azkadina mampu menyampaikan kasih sayang itu kepada lima belas anak-anak di sini.”
Azkadina tersenyum menatap wajah laki-laki di sampingnya. Hatinya terasa sejuk. Ucapan Shafwan seperti menyirami kegersangan hati Azkadina.
“Kembangkan rumah belajar ini dengan lebih baik. Beri mereka bekal untuk bisa survive dan cinta belajar. Mungkin Azkadina tidak bisa langsung membuat mereka sekolah di luar negeri, tapi setidaknya menggerakkan mereka untuk tekun mencari ilmu walaupun dalam keterbatasan. Menggerakkan visi hidup mereka.”
“Tapi, tidak banyak orang yang mau memberikan donasi ke sini. Juga tidak ada yang mau menjadi guru tetap di sini. Aku tidak bisa membayar dengan layak jasa guru-guru itu.” Azkadina berdiri dari ayunan. Pandangan matanya menerawang lagi.
“Sudah ditawarkan ke mana saja posisi guru itu?”
“Banyak sih.”
Shafwan juga berdiri di depan Azkadina. Tangannya terlipat di dada lalu berujar, “Di depan Azkadina ini apa sudah ditawari?”
“Maksudnya?” Kedua alis Azkadina bertautan.
“Aku mau mengajar rutin di sini.”
“Seriously?”
“Of course I do. Selama tidak bentrok dengan tugas mengajar di SD Teladan Mulia dan jadwal mengajiku. Azkadina atur saja lah semua.”
“Aaaah…….pak guru…kamu baik banget deh…” Azkadina melompat kegirangan. Kedua tangannya memegang lengan Shafwan, bersiap melingkarkan ke tubuh Shafwan. Untunglah Shafwan membulatkan matanya, memberikan kode.
“Kirimkan aku data-data dari rumah belajar ini. Aku coba carikan sponsor dan donatur.”
“Siap juragan!”
Wajah Azkadina berbinar. Matanya membulat indah. Senyumnya memamerkan barisan giginya yang putih dan mungil. Hidung mancungnya kembang kempis memerah.
Kebahagiaan Azkadina yang membuncah, menggetarkan hati Shafwan. Hatinya kembali bergejolak melihat kecantikan Azkadina apalagi ketika berbahagia seperti itu. Pipi Shafwan merona hangat, ia kembali menunduk. Berharap Azkadina tak melihat perubahan raut wajahnya.