Mentari bergerak melambat; meninggalkan singgasana dengan terik yang perlahan meredup. Kawanan penguasa langit meliuk melintasi cakrawala. Rona lembayung berhias dengan lapis-lapis serabut awan tipis.
Anak kecil berambut keriting itu tampak sesenggukan. Semilir angin menggerakkan ujung rambutnya. Ia membenamkan kepalanya diantara kedua kaki yang terlipat. Sesekali ia mengelap cairan kental yang keluar dari lubang hidungnya. Barisan semut yang menemani, hanya berani melintas tak menyapa.
“Farel? Kamu belum pulang?” Shafwan menjumpai si kecil Farel di ujung gang samping sekolah.
Farel mendongakkan kepala lalu mengangguk pelan.
“Bukankah tadi Tante Azka menjemput kamu?” tanya Shafwan lagi. Kali ini membungkukkan badan dan menatap mata bulat yang berurai air mata itu.
“Tante tadi ke sini …” jawab Farel,” tapi pergi lagi.”
“Lalu?”
“Sampai sekarang belum jemput.”
“Sebentar ya. Ustaz telpon tante Azka dulu.” Farel mengangguk. Tangisnya tak lagi terdengar.
Shafwan mengeluarkan ponsel pintar-nya. Ia menelfon Azkadina.
“Sepertinya tidak ada sinyal.”
Farel yang sudah tenang, kembali memucat.
“Udah tenang dulu. Mungkin Tante masih di jalan,”ujar Shafwan,“Farel lapar?”
Farel mengangguk.
“Ustaz ada nagasari. Kamu mau?”
Sejenak Farel melirik makanan berbungkus daun pisang itu. Ia sempat ragu, namun akhirnya ia mengangguk. Maklum Farel tidak terbiasa makan makanan tradisional. Ia mengulurkan tangannya mengambil kue dari tangan Shafwan. Tangan mungilnya membuka daun pisang lalu mencuil ujung kue berbahan dasar tepung beras dan pisang itu.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul empat sore. Tak sampai sepuluh menit Farel sudah menghabiskan nagasari di tangannya. Tangan Shafwan masih berusaha menghubungi Azkadina.
“Tante Azka tidak bisa dihubungi. Ustaz antar pulang ya.”
Farel mengangguk. Ia mengikuti langkah Shafwan menuju motor bebek Yamaha Mio.
Dua puluh menit, Shafwan sudah sampai di rumah besar Farel di kawasan Wiyung. Tidak tampak motor Azkadina bahkan mobil yang biasa dipakai untuk mengantar dan menjemput Farel juga tidak ada.
Ke mana gadis itu? Shafwan bertanya-tanya dalam hati.
Asisten rumah tangga keluarga Farel, Ning Yam, membuka pintu pagar dan mempersilakan Farel dan Shafwan masuk. Wajah kusut Farel sempat membuat kedua alis Ning Yam berkerut. Namun ia tak berani bertanya kepada Farel. Ning Yam mendapatkan jawabannya dari Shafwan.
“Ustaz duduk dulu. Saya buatkan minum.”
“Ndak. Saya langsung balik saja.”
“Ustaz, mbok ya tunggu Farel mandi dulu. Nanti anaknya nangis mencari Ustaz saya yang bingung.”
“Waduh, nanti keburu malam.”
“Sebentar saja Ustaz. Saya kuatir anak itu purik (marah/tantrum). Apalagi Mbak Azka tidak ada.”
Melihat wajah Ning Yam yang kebingungan, Shafwan akhirnya manut dan memilih duduk di teras. Ning Yam masuk ke dalam rumah, memastikan Farel mandi kemudian membuatkan teh hangat untuk Shafwan.
Sepuluh menit kemudian, motor bebek dengan gadis berambut ombre di atasnya, mendarat tepat di depan rumah Farel. Gadis itu bergegas turun dan setengah berlari memasuki rumah. Keringat membasahi kening dan sekujur tubuh. Nafasnya tersengal-sengal.
“Ustaz Shafwan.. Farel?” pekik sang gadis. Nafasnya terhenti sekian detik melihat sosok tampan di depannya.
Shafwan berdiri dari tempatnya lalu memandang si gadis.
“Farel sedang mandi,” ucap Shafwan datar. Ia berusaha menyembunyikan rasa penasaran dan jengkel rapat-rapat.
“Aah…Syukurlah,” ujar Azkadina lega. Nafasnya mulai tertata. Ia melangkahkan kaki dan duduk di kursi depan Shafwan. Melihat secangkir teh hangat di depannya, tanpa ba-bi-bu, ia menyeruput habis. Shafwan hanya tersenyum, tak tega mengingatkan gadis yang tampak kelelahan di depannya.
“Mbak Azka dari mana? Tadi Farel menunggu.”
“Maaf Ustaz. Ceritanya panjang. Saya tadi sudah mau jemput Farel. Tapi Farel ingin main dulu sama Faiq, jadi minta agak sore aja jemputnya. Saya kembali ke kontrakan. Maksud saya, saya mau mengerjakan tugas kuliah dulu. Setelah itu jemput Farel. Lha ndilalah, saya bablas ketiduran. HP lowbat juga.”
“Lalu?” Mata teduh Shafwan membulat indah. Azkadina menikmati tatapan itu sampai kemudian Shafwan memalingkan pandangannya.
“Saya terbangun jam empat. Kaget setengah mati, mau menghubungi Ustaz, tapi baterai HP habis. Langsung cus ke sekolah dengan motor. Lha sampai di sana, sudah sepi. Saya tanya satpam, sudah pulang semua. Saya panik. Saya bergegas menuju rumah, berharap Farel sudah di rumah entah gimana caranya.”
“Oh begitu. Farel tadi menangis. Saya tanya jawabnya gak banyak. Hanya bilang kalau Tante Azka pergi lagi dan belum kembali. Gak bilang apa-apa lagi.”
“Ih…Farel. Dia lho minta saya jemput agak sore-an.” Bibir Azkadina monyong mendengar penuturan Shafwan. “Syukurlah dia baik-baik saja,” lanjutnya.
“Lain kali, Mbak Azka jangan telat jemput lagi ya. Kasihan Farel.”
“Inggih Ustaz Shafwan yang paling baik sedunia,”kelakar Azkadina.
Shafwan tertawa kecil.
“Eh, Ning Yam belum buatkan minum ya.”
“Sudah. Itu sudah habis!” Tunjuk Shafwan pada cangkir porselen yang sudah tak bersisa.
Oh my God! Itu minuman Ustaz Shafwan.
“Dor! Tantee…..” Belum selesai Azkadina mengurai rasa malu, ia mendapat kejutan dari keponakannya. Wajah gembul bekulit putih itu menyembul keluar dari pintu.
“Farel!”
“Tante kemana aja? Aku nunggu tante lama sekali.”
“Duh! Kamu kan yang minta dijemput pulang agak sorean.”
Farel menyengir. Azkadina semakin gemas dibuatnya.
“Tuh… Jadi serba salah Tante. Sudah terima kasih belum ke Ustaz?”
“Terima kasih Ustaz..” Senyum gembul Farel merekah.
“Farel, lain kali kalau sudah dijemput, langsung pulang ya,” pesan Shafwan.
Farel mengangguk.
“Manis banget. Sama Ustaz aja langsung nurut. Coba sama Tante.”
Farel nyengir lalu berkata,”Karena udah buat aku nangis, besok Tante temani aku jalan-jalan.”
“Apa? Ke mana?”
“Main ke Transmart Studio.”
“Duh! Gimana ya… Hm…iya deh…Berdua aja?”
“Sama Ustaz Shafwan ya….Ikut ya Tadz besok kan Minggu. Ikut jalan-jalan.”
“Eh..eh…Farel sama tante saja,” saran Shafwan.
“Gak mau. Aku mau sama Ustaz Shafwan juga,” rajuk Farel.
“Sekali-sekali gak pa-pa kan Tadz. Farel mungkin kangen sama mama papanya.”
“Tapi…”
“Ustaz masih berhutang penjelasan sama saya bukan?”
“Penjelasan apa?”
“Duh! Pakai lupa segala. Itu yang tentang menuntut ilmu, privilege, orang tajir.”
“Ah iya,” Shafwan menepuk jidatnya,”Baiklah.”
Azkadina tersenyum penuh kemenangan.
“Besok jam 10, saya jemput ya. Kita naik mobil saja.”
Shafwan terdiam lalu menganggukkan kepalanya. Azkadina dan Farel melakukan high five dan tertawa bersama. Senyum Shafwan merekah, sedetik pipinya memerah dan tertangkap netra Azkadina.
Shafwan berpamitan dan kembali pulang ke rumahnya. Kepalanya berpikir keras, bagaimana dia harus membagi dirinya di dua tempat sekaligus besok Minggu.
Shafwan ada janji bertemu dengan seorang perempuan. Perempuan muda yang meminta bantuan Shafwan mengajar ngaji di TPA dekat rumah.
Apa yang aku harus lakukan? Apa aku jadwal ulang saja ya permintaan mengajar ngaji itu? Aku juga tidak bisa menolak permintaan Azkadina, eh Farel. Duh! Gadis itu lagi!