Mentari menggelayut manja menjelang kepergiannya. Sinarnya setengah temaram, setengah terang. Menyisakan rona jingga hangat cakrawala.
Mata Shafwan takjub menatap langit senja. Sesekali ia tersenyum lalu netranya menerawang jauh. Shafwan menikmati lukisan indah hari itu dari jendela kelas ruang kelasnya.
Sudah pukul lima sore, Shafwan belum berkemas. Laptop berlogo apel tergigit itu masih terbuka di mejanya. Ia baru saja menyelesaikan lesson plan untuk tiga hari ke depan dan satu bab untuk penelitian tindakan kelas yang disusunnya. Beberapa buku bertema metode pembelajaran, buku catatan dan alat tulis saling berkelindan di atas meja.
Shafwan menenggak air minum dari botol kuning yang dibawanya. Setelah dirasa cukup mengerjakan tugas, ia menutup laptop dan merapikan mejanya. Shafwan meletakkan buku-buku tebal itu ke dalam lemari kelas. Setelah laptopnya tidak lagi menghangat, ia memasukkannya ke dalam ransel Exsport kombinasi warna hitam dan abu-abu. Beberapa sampah sisa bungkus makanan juga ia buang ke tempat sampah.
Tililit … tililit…
Ponsel-nya berdering. Melihat nama yang muncul di layar ponsel, panggilan itu berasal dari salah satu wali muridnya.
“Ustaz Shafwan, mohon maaf, kotak makan Sofi ketinggalan di kelas. Warna pink dengan gambar boneka warna kuning.”
“Inggih Bunda. Kenapa?”
“Nitip dicarikan Ustaz. Besok minta tolong diberikan ke Sofi.”
“Oh baik Bunda. Semoga kotak makan ananda ada.”
“Semoga ada ya Ustaz. Itu kotak makan kesayangan Sofi. Kalau hilang, belinya susah. Mahal lagi. Seharusnya tadi Ustaz mengingatkan ke anak-anak supaya tidak ada yang ketinggalan.
“Sampun Bunda. Semua sudah kami ingatkan.”
“Apa sudah dicek satu per satu laci mejanya?”
“Mboten Bunda.”
“Seharusnya bantu di-cek-kan Ustaz supaya ketahuan apa yang ketinggalan.”
“Anak-anak kami latih untuk ngecek barang pribadinya masing-masing.”
“Tapi akhirnya kan ketinggalan nggih. Seharusnya Ustaz bantu cek juga. Memastikan satu per satu supaya kami juga tenang.”
Shafwan terdiam mendengar suara wanita di seberang yang terus menyalahkannya. Ia menarik nafas panjang.
Bagaimana anak-anak belajar bertanggung jawab jika orang tua menyalahkan orang lain atas kelalaian anaknya?
“Inggih Bunda. Semoga kotak makan ananda ketemu. Besok akan saya sampaikan ke anak-anak supaya lebih bertanggung jawab.”
Setelah mengucapkan terima kasih, wanita itu menutup panggilan teleponnya. Tak perlu menunggu lama, Shafwan mencari kotak makan seperti ciri-ciri yang disebutkan. Kotak makan itu tergeletak di samping loker siswa, tertutup oleh buku tulis milik siswa lain. Shafwan memungutnya dan meletakkan barang-barang tersebut di kotak khusus barang tertinggal di kelas. Beberapa barang lain yang ia temukan tadi siang juga diletakkan di kotak itu. Ada kaus kaki dan pensil warna juga.
“Baiklah, tema morning circle besok adalah bertanggung jawab terhadap barang pribadi,” gumam Shafwan.
Shafwan melanjutkan aktivitas beberes-nya. Setelah memastikan tidak ada barang di meja kerjanya, ia memakai jaket lalu mencangklong ransel di pundaknya.
Shafwan bersiap pulang ke rumah dengan Revo hitamnya.
***
Azan maghrib berkumandang persis ketika Revo hitam Shafwan berhenti di depan rumah berpagar putih milik orang tuanya. Shafwan membuka pagar sendiri. Biasanya ada Pak Mulya yang akan membukakan pintu, namun hari ini tidak. Pak Mulya sedang pulang ke desa.
Sebuah mobil terparkir di halaman rumah. Mobil yang bukan milik Mama atau Papa Shafwan.
“Ada tamu? Siapa ya?” Mata sedang berkaca mata milik Shafwan menyipit mencoba mencari tahu siapa yang datang ke rumah orang tuanya. Setelah menempatkan Revo hitamnya, Shafwan melangkahkan kaki memasuki rumah.
“Assalamualaikum,” salam Shafwan ramah.
“Nah ini dia Shafwan datang.” Sambut perempuan bernama Nina.
Tampak di depan Shafwan, seorang perempuan separuh baya dengan rambut hitam yang disanggul ke atas. Lalu di sebelahnya, seorang perempuan berambut hitam lurus yang usianya jauh lebih muda.
“Shafwan, kenalkan, ini teman Mama. Tante Karin. Kamu masih ingat?”
“Ah ya tante Karin yang rumahnya di Jojoran ya.”
“Iya kamu benar. Apa kabar Shafwan?”
“Alhamdulillah baik. Tante apa kabar?”
“Baik juga. Ini kenalkan, Renata, putri bungsu tante.”
“Hai Shafwan,” sapa Renata sambil mengulurkan tangan. Namun sedetik kemudian, Shafwan menangkupkan kedua tangannya ke dada.
“Halo Renata.”
Renata tersenyum kecil melihat sikap Shafwan yang menolak jabat tangannya.
“Ya begini ini Jeng Karin. Shafwan jadi guru, pulangnya menjelang maghrib setiap hari. Iya kalau gajinya banyak. Masih separuh gaji adiknya yang kerja di Bank.”
Shafwan melirik Mamanya dengan pandangan kurang nyaman. Namun Shafwan memilih diam.
“Ya gak pa-pa Jeng Sinta. Namanya juga passion ya Mas Shafwan. Jadi guru itu mulia sekali. Tidak banyak orang yang mau.”
Shafwan tersenyum mendengarnya. Begitu pula dengan Renata. Kali ini ia memandang Shafwan dengan pandangan agak sinis.
“Shafwan ke dalam dulu, Ma.”
“Eh sebentar Shafwan. Ini tadi Renata, anak tante Karin. Dia baru pulang dari Bandung setelah lulus kuliah hukum. Kamu ajak jalan-jalan ya besok. Biar kenal dengan Surabaya. Ia sudah sepuluh tahun tidak di Surabaya.”
“Besok? Aku kan masih ngajar Ma sampai sore.”
“Gak bisa izin kah?”
Shafwan menggeleng. “Kasian muridku gak ada yang ndampingi belajar, Ma.”
“Aduh… kan bisa belajar sama guru lain..”
“Maaf Ma. Belum bisa kalau izinnya untuk jalan-jalan.”
“Ya deh baiklah, setelah mengajar ya Shafwan, Atau malam sekalian dinner gitu.”
“InsyaAllah. Shafwan usahakan.”
Wajah Shafwan terlipat. Ia pun melangkahkan kaki ke kamarnya, meninggalkan tamu bersama mamanya.
Ini pasti ulah Mama. Mau mencarikan jodoh untukku.
Usia Shafwan sudah mencapai kepala tiga, dan belum ada tanda-tanda untuk menikah. Mama Shafwan sudah resah, bertanya, mendesak lebih tepatnya, untuk mencari pendamping hidup.
Tiga bulan lalu, Mama menyerahkan foto dan biodata beberarap gadis, anak dari kenalannya. Tak satupun dari foto itu membuat Shafwan tertarik. Hal ini membuat Mama Shafwan sedih dan sempat sakit.
Lalu tibalah hari ini. Mama tak lagi membawakan foto dan biodata, tapi langsung membawa orangnya. Tak hanya itu, mama langsung menodong untuk nge-date.
Pening tiba-tiba melanda kepala Shafwan. Setelah masalah kotak makan Sofi, sekarang masalah jodoh dari Mama. Mana besok, Shafwan sudah ada janji nengok Prisca, muridnya yang sedang sakit typhus.
Shafwan menarik nafas panjang. Ia pun bersih diri dan menyegerakan salat maghrib.
***
“Shafwan, kamu mau ke mana?” Suara mama Santi menghentikan langkah Shafwan sejenak.
“Mau pengajian, Ma. Di rumah teman.”
“Tante Karin dan Renata tidak ditemani dulu? Minimal makan malam gitu.”
Mata Shafwan bingung hendak dilangkahkan ke mana kakinya. Ia melihat Casio hitam yang melingkar di pergelangan tangannya. Sampai akhirnya ia memutuskan, “Baik, Ma. Tapi sepuluh menit lagi, Shafwan berangkat ya.”
“Gitu dong. Masa’ ada tamu cantik ditinggal pergi.”
Wajah Renata memerah, ia tersenyum simpul. Senyum itu tertangkap oleh mata bening Shafwan. Ia membalas senyum itu sembari menunduk. Hatinya sempat kebat-kebit oleh paras cantik Renata. Namun langsung memudar, berganti bayangan orang lain memenuhi benaknya.
Shafwan memejamkan matanya. Bayangan itu semakin tajam di benaknya.