Balada Cilok
Slurrrp….. Hm…. Lhep….Nyam..nyam…
“Tante, aku jadi kepingin makan cilok.” Mata anak laki-laki berbadan gempal itu berbinar melihat ekspresi makan perempuan di depannya. Ia yang baru saja makan semangkuk salad buah mendadak lapar lagi melihat enam bulatan kenyal berbalut saus kemerahan dalam wadah styrofoam.
“Ya makan aja.” Gadis berambut ikal berwarna ombre kecoklatan itu memasukkan sebutir cilok bumbu saus pedas ke mulutnya. Rasa pedas yang membakar bibir, membuatnya menenggak air es cepat-cepat.
“Ga boleh sama Mama,” sahut si bocah.
“Oh ya. Masa’? Enak banget lho.”
“Iya gak boleh, Tante. Kata mama itu makanan gak sehat.” Ujung kanan dan kiri bibir si bocah tak terasa mulai basah. Dan ia pun menyekanya.
“Sehat kok. Nih tante gak sakit makan cilok.”
Bibir mungil si bocah monyong lagi, tanda protes kepada tantenya. Azkadina.
“Farel mau coba?”
Bocah itu mengangguk. Ia pun mendekatkan badan ke arah tantenya lalu membuka mulut lebar-lebar. Bersiap memasukkan cilok ke dalam mulutnya. Lalu tiba-tiba…
“Stop! Farel, no!” Perempuan tinggi berambut lurus hitam itu muncul dan menyilangkan kedua tangan ke dadanya. Farel yang melihatnya, langsung mengurungkan niat memakan cilok. Bibir Farel menutup semakin manyun. Sorot mata berbinar itu redup. Ia meninggalkan tante dan mamanya dengan menghentakkan kaki dan berteriak, “Mama jahat!”
Perempuan yang dipanggil Mama itu hanya geleng-geleng kepala melihat sikap Farel.
“Dasar usil! Ponakanmu jadi marah gara-gara kamu.”
“Napa sih Kak, harus banyak larangan. Makan cilok aja gak boleh.” Debat perempuan muda itu.
“Lihat tuh makananmu. Sehat gak?”
Si tante kembali menggeleng. Mulutnya masih saja mengunyah cilok keempatnya.
“Kemarin Farel makan tahu isi pakai petis langsung diare. Kemarin juga beli sosis telur depan pasar langsung mual-mual. Gak sehat kan. Apalagi cilok dengan saus merah-merah gitu.”
“Eh, ini beda Kak. Cilok sultan. Sausnya nggak murahan,” elak gadis bermata sedang itu.
“Sama aja!” Sanggah Mama Farel bersungut-sungut. Ia membuka pintu kulkas dan mengambil pitcher kaca berisi air jeruk. Ia menuang ke dalam gelas lalu meminumnya.
“Terserah sih. Tapi setidaknya biarkan Farel mencoba lah. Jangan suka main larang. Kasihan anak itu.”
“Tahu apa kamu soal anak! Nikah aja belum!” kalimat ketusnya berdesakan keluar; kompak dengan raut wajahnya yang mulai memanas.
“Dudududu….selalu begitu alasannya. Jangan over protective kenapa?” Gadis itu menghabiskan kunyahan terakhirnya lalu menenggak segelas air es.
“Heh! Azkadina Jasmine Irawan, dengar ya. Farel itu anakku. Aku yang tahu apa yang terbaik untuknya. Kamu, sebagai tante, jangan memberikan pengaruh buruk ya.” Kali ini mata perempuan berusia 35 tahun itu melotot. Jantungnya berdetak lebih banyak.
“Hadeeeh…. Kak Sonya…” gadis bernama Azkadina itu menepuk jidatnya, “Cuma mau ngasih cilok aja udah kena delik pengaruh buruk. Ambyar….”
Azkadina meraih tasnya, lalu melangkahkan kaki keluar rumah. Kemeja katun kotak-kotak coklat yang berpadu dengan jeans belel itu berkibar mengikuti lambaian tangannya. Rambut ombre bergelombang itu mulai ditutupnya dengan helm hitam bergaya retro.
Azkadina menaiki kuda perangnya. Suara motor bebek keluaran lama menderu; berpadu dengan asap putih mengepul dari knalpot mengiringi kepergian nona muda itu.
Sonya cuma bisa mendelik melihat sikap adiknya itu. Ia menarik nafas panjang.
***
Azkadina Jasmine Irawan. Gadis muda berusia 23 tahun adalah mahasiswa tingkat akhir fakultas ilmu komunikasi di salah satu kampus swasta di Surabaya. Ia bungsu dari tiga bersaudara. Kakak pertamanya, Irfan Irawan meninggal di usia muda. Kakak keduanya, Sonya Mawar Irawan, berbeda 12 tahun dengannya.
Azkadina tinggal bersama Ibunya yang menjanda. Ayah dan Ibu Azkadina bercerai karena sang ayah tergoda perempuan lain. Setidaknya itu yang didengar Azkadina dari Ibunya. Sejak usia 12 tahun, ia sudah tidak bertemu sang ayah. Hanya sesekali saja ayah menelfon Azkadina dan Sonya.
Walaupun secara de jure Azkadina tinggal bersama ibu, namun ia lebih banyak berada di kontrakan mahasiswa dekat kampus. Menurutnya, hidup di kontrakan lebih hemat dan bebas tentu saja. Karakter ibunya yang aristokrat tulen sangat tidak bersahabat dengan jiwanya yang bebas berpetualang.
Ibarat bumi dan langit, sifat Azkadina bertolak belakang dengan si kakak. Sonya, sosok perempuan muda yang suka keteraturan dan kepastian. Sonya tidak suka sesuatu yang serba mendadak atau berantakan. Segala sesuatu harus sesuai dengan aturan mainnya. Otoritas Sonya hanya bisa ditaklukkan oleh sang suami, Zaka Abimanyu. Laki-laki 38 tahun kelahiran Jawa Tengah itu terkenal sabar dan telaten menghadapi Sonya. Zaka, dengan pikiran logisnya mampu meredakan emosi Sonya yang suka meledak.
“Waduh! Tablet-ku ketinggalan di rumah Mbak Sonya. Gimana aku bisa garap tugas. Mana komputerku jadul dan lemot lagi. Duh!” Azkadina menggaruk kepalanya yang mulai gatal. Diikatnya rambut kucelnya. Kakinya hilir mudik di samping ranjang susun; memikirkan sesuatu.
“Eh, Queen… pinjam laptop dong…” Azkadina berhenti hilir mudik. Telunjuknya tegak menunjuk ke arah roommate-nya yang sedang sibuk di meja belajar.
“Sekarang?” Perempuan berrambut pendek itu menoleh ke arah Azkadina.
Azkadina mengangguk.
“Sorry, Az. Laptopku dipinjem Muthia sejak tadi siang.”
Bibir Azkadina makin maju ke depan. Ia kembali hilir mudik memikirkan rencana taktis menuntaskan tugasnya.
“Eh, Sabrina ada kan ya? Aku mau pinjam dia aja.”
“Piye toh, Sabrina gak ada, ia pulang ke emak-nya.”
“Sita?”
“Tuh kan. Amnesia. Sita sudah gak satu kontrakan sejak pekan lalu, nona cantik.”
Sekali lagi, Azkadina menepuk jidatnya. Ia menghentikan aksi setrikaan-nya. Lalu menghempaskan badannya di atas kasur. “Ya udah deh. Aku tidur aja. Besok pulang kuliah ke rumah Mbak Sonya lagi.”
“Ini gara-gara cilok tadi,” lanjut Azkadina.
“Cilok?”
“Iya gitu deh. Mbak Sonya ngelarang Farel makan cilok yang kubawakan. Lalu menuduhku memberikan pengaruh buruk. Kebangetan kan kakakku itu. Kasian si Farel, masa kecilnya kurang bahagia.” Mata Azkadina menatap langit-langit di atasnya. Sesekali ia menutup mulutnya karena menguap.
Queen hanya mengangguk mendengar penuturan sahabatnya. “Eh, kamu sudah baca jurnal belum?”
“Belum.”
“Besok Pak Dony lho. Killer tuh dosen.
“Ah, dosen ganteng itu ya? Gak takut.”
“Yang kamu lihat cuma gantengnya. Galaknya itu lho kebangetan. Kalau kita gak bisa menjawab argumen beliau, siap-siap dipermalukan di depan kelas. Kayak kemarin, aku lupa baca jurnal yang diminta baca oleh beliau. Lalu aku gak bisa jawab. Padahal semua data ada di jurnal itu. Isin aku, Rek. Mana dilihat Aziz lagi. Tambah turun pasaranku. Makanya aku sekarang selalu memperhatikan tugas dari Pak Dony.” Queen terus menyerocos sambil membaca jurnal di tangannya.
Tak terdengar sepatah kata pun balasan dari Azkadina.
Queen menoleh ke arah sahabatnya dan ia pun tersenyum. Hanya suara dengkuran halus terdengar dari Azkadina.
Zzz…….zzz…