Joshua menatap Natasha yang kini sedang menari di tengah lapangan bersama teman-temannya. Joshua menatap gadis tersebut tanpa berniat untuk menghampirinya sekedar berbincang. Ia terlalu malu.
“Masih aja dilihatin.” Joshua menoleh ke arah suara dan mendapatkan Marcell, sahabatnya. “Kalau suka ya dideketin, bukan dilihat aja.”
Joshua mendengus kesal setiap kali Marcell menyuruhnya untuk mendekati Natasha sedangkan Marcell sangat tahu sifat Joshua yang pemalu. “Gue bukan playboy kayak lo yang setiap minggu ganti pacar.”
Marcell tertawa kecil, “yang penting gue berani deketin cewek.” Marcell segera meninggalkan Joshua yang sudah mulai kesal. Setelah Marcell pergi, Joshua segera kembali pada kegiatannya, yaitu menatap Natasha dari kejauhan. Namun seseorang berhasil mengganggu kegiatan Joshua.
“Joshua, bisa bantu saya?” Joshua segera menoleh dan mendapatkan Pak Arif, guru olahraga sedang menatap ke arahnya. Ia segera menghampiri Pak Arif.
“Ada yang bisa saya bantu, Pak?”
“Bisa tolong bantu saya meletakkan bola basket ini di gudang?” Joshua mengangguk dan segera mengambil bola basket yang berada di tangan Pak Arif. Lalu ia segera berjalan ke arah gudang. Joshua segera membuka pintu gudang dan meletakkan bola basket tersebut di lantai gudang. Matanya melebar ketika melihat seorang gadis yang juga memasuki gudang tersebut.
“Joshua? Lo ngapain disini?” Lidah Joshua seketika kaku untuk menjawab pertanyaan dari gadis tersebut.
“N-Natasha, g-gue cuma b-balikin b-bola,” jawab Joshua dengan gugup. Siapa lagi gadis itu kalau bukan Natasha? Joshua pun tidak tahu mengapa ia bisa segugup itu bila berhadapan dengan Natasha.
BRAKK!!
Tiba-tiba angin berhembus kencang dan menutup pintu gudang yang bisa dibilang sudah cukup tua umurnya. Natasha yang terkejut langsung segera mencoba membuka pintu tersebut. Namun keberuntungan tidak berada di pihaknya. Pintu tersebut tidak dapat dibuka. Natasha pun mencoba lebih keras lagi. Hasilnya tetap sama. Pintu masih tertutup.
“Josh, bantuin gue.” Joshua segera menghampiri Natasha dan membantunya membuka pintu tersebut. Namun pintu tetap tertutup.
“Eh, k-kayaknya kita h-harus tunggu orang l-lain untuk buka p-pintu.”
Natasha duduk lemas di lantai dan memeluk lututnya. Matanya kini mulai berkaca-kaca. Joshua segera duduk di samping Natasha. Tiba-tiba tangisan Natasha memecah. “Josh, g-gue takut…,” lirihnya.
“N-Natasha…”
“Josh, gue takut, gue takut ruangan sempit.” Natasha melepaskan pelukannya dan mengatur napasnya yang tidak beraturan. Entah dorongan dari mana, Joshua segera menggenggam tangan Natasha dan mengelusnya pelan.
“L-Lo nggak u-usah takut, g-gue cari c-cara b-biar kita keluar d-dari sini.” Natasha kini terlihat lebih tenang. Joshua pun segera berdiri dan berjalan ke arah pintu. Ia berteriak minta tolong sekeras-kerasnya agar seseorang dapat mendengarnya. Tak lama, seseorang mendengar Joshua dan segera membuka pintu gudang tersebut. Joshua dan Natasha segera keluar dari gudang dan tak lupa mengucapkan terima kasih pada orang tersebut.
“Makasih ya, Josh, lo udah bikin gue tenang tadi.” Natasha segera meninggalkan Joshua untuk bergabung kembali dengan teman-temannya. Sementara Joshua masih tidak percaya akan kejadian yang baru ia alami. Ia segera berlari mencari Marcell untuk menceritakan kejadian yang baru saja ia alami.
///\\\
“Aku pulang,” ucap Joshua dengan nada lesu dan tidak mendapatkan jawaban. Ia masih kesal Marcell. Tadi, setelah Joshua menceritakan semuanya pada Marcell, Marcell langsung menghampiri Natasha dan bertanya apakah yang dikatakan Joshua itu benar atau tidak. Setelah ia tahu bahwa itu semua benar, Marcell segera berkata pada Natasha kalau Joshua memnita Natasha menjadi kekasihnya. Tentu saja Joshua kesal, ia langsung menolaknya dan berkata bahwa itu semua hanya lelucon yang dibuat oleh Marcell. Namun itu tidak mempan karena Natasha dan Marcell dapat melihat pipi Joshua yang merah. Setelah itu Joshua segera meninggalkan lapangan dan pulang ke rumahnya.
Joshua segera pergi ke kamarnya untuk tidur. Namun sebelum ia benar-benar tertidur, suara ketukan pintu terdengar. Itu bukan pintu kamar Joshua, melainkan pintu rumah.
Seseorang berseru dari luar kamar Joshua, “Josh, tolong buka pintunya, kakak lagi masak.” Joshua dengan malas turun dari ranjangnya, merapikan penampilannya, lalu keluar dari kamarnya untuk membuka pintu rumah. Jantung berdetak kencang ketika melihat orang yang mengetuk pintunya.
“Hai, Josh, Jemima ada?”
“A-Ada, lagi m-masak.” Tiba-tiba kakak Joshua yang bernama Jemima itu muncul dari belakang Joshua dan menyapa orang tersebut.
“Hei, Natasha, masuk aja. Gue udah masak makanan.”
Orang itu adalah Natasha. Natasha segera memasuki rumah Joshua dan berbincang dengan Jemima. Mereka seakan lupa bahwa Joshua ada disana bersama mereka. Joshua pun hendak meninggalkan mereka dan kembali ke kamarnya, namun suara Jemima menghentikan langkah Joshua.
“Joshua suka sama lo?!” Joshua pun segera bersembunyi di balik tembok untuk mendengar percakapan kakaknya dengan Natasha.
“Ya gitu deh, Jem, tapi gue nggak tau benar atau nggak. Maksud gue, kalau memang Joshua suka sama gue, dia harusnya deketin gue.” Joshua menghela napas lesu mendengar ucapan Natasha. Ia tahu sejak awal ia memang tidak pernah bisa mendapatkan hati Natasha. Ia terlalu malu untuk mendekati gadis tersebut. Bahkan untuk berbicara pun Joshua masih sering gugup. Ia segera pergi ke kamarnya untuk tidur.
///\\\
Joshua kini terduduk di meja belajarnya. Awalnya ia berniat untuk belajar untuk ujian Matematika yang diadakan besok. Namun pikirannya selalu tertuju pada Natasha. Ia selalu teringat akan pertemuan pertamanya dengan Natasha.
“Aku pulang,” ucap Joshua dan memasuki rumahnya. Tidak ada yang menjawabnya. Ia segera pergi ke kamarnya untuk membersihkan tubuhnya. Setelah membersihkan tubuhnya, Joshua segera turun dengan menggunakan celana pendek selutut, baju rumah bergambar Captain America, dan handuk yang masih menggantung di lehernya. Rambutnya masih acak-acakan dan belum disisir. Ia segera pergi ke dapur untuk mengambil minum karena merasa haus. Namun ia terkejut ketika melihat kakaknya sedang berbincang dengan Natasha.
“Joshua, lo udah pulang ternyata,” ucap Jemima yang baru menyadari kehadiran Joshua. Natasha pun ikut menoleh ke arah Joshua. Seketika, Joshua jatuh ke dalam pesona gadis tersebut.
“Josh, kenalin ini Natasha. Nat, ini adik gue, Joshua.” Natasha tersenyum manis ke arah Joshua dan membuat detak jantung Joshua berdetak lebih kencang. Joshua hanya memasang wajah datarnya. Bukan karena ia sombong, melainkan ia sangat gugup sekarang. Maka itu ia menutupinya dengan memasang ekspresi datar. Joshua pun segera meninggalkan Jemima dan Natasha karena jantungnya yang berdetak semakin kencang.
Semenjak hari itu ia tahu bahwa ia jatuh cinta pada Natasha.
TOK! TOK!
Suara ketukan pintu terdengar. “Masuk.” Pintu kamar Joshua terbuka dan menampakkan Jemima. Ia segera duduk di ranjang Joshua.
“Natasha udah pulang?” Jemima mengangguk.
“Tumben dia pulang lebih cepat, biasanya dia main sampai jam delapan,” ucap Joshua sembari menunjuk jam yang menunjukkan pukul lima sore.
“Dia lagi sedih,” jawab Jemima, “gara-gara lo.”
Joshua menatap bingung Jemima. “Gue?”
“Lo sebenarnya suka nggak sih sama Natasha?”
Joshua mendengus kesal, “lo ngapain sih, kak, tanya tentang itu?”
“Jawab jujur aja susah banget sih, Josh.” Jemima mulai kesal dengan Joshua. Joshua akhirnya pasrah. Karena tidak mau kakaknya marah ia akhirnya jujur.
“Iya, gue suka sama dia.”
“Sejak kapan?”
“Sejak..pertama kali gue ketemu sama dia disini.”
Jemima tersenyum ke arah adiknya itu. Ia menepuk pundak Joshua, “perjuangin dia, Josh.”
“Tapi, kak, dia gue malu buat ngomong sama dia.”
Jemima memutar bola matanya. “Kalian berdua ini sama aja, saling punya perasaan tapi takut buat ngomong.”
Joshua menaikkan salah satu alisnya, “maksud lo?”
“Natasha tuh sebenarnya suka sama lo, tapi dia sama kayak lo, malu untuk ngomong. Mungkin selama ini lo nggak pernah sadar kalau dia sering ngelihatin lo secara diam-diam. Makanya dia sedih waktu liat lo bilang kalau lo nggak suka sama dia. Tadi dia juga tanya ke gue, sebenernya lo beneran suka sama dia atau nggak. Kalo memang lo nggak suka sama dia, biar dia mundur. Seharusnya cowok ngejar cewek jadi lo harus lupain rasa malu lo. Lo perjuangin dia. Gue dukung lo kok, Josh.”
Joshua terdiam mendengar ucapan Jemima. Di dalam hatinya, ia senang karena Natasha mempunyai perasaan yang sama dengannya. Ia juga setuju dengan kata-kata Jemima bahwa untuk kali ini, ia harus membuang sifat pemalunya. Demi Natasha, dan juga Joshua sendiri.
Jemima beranjak dari ranjang Joshua dan hendak keluar dari kamar Joshua. Namun ia menghentikan langkahnya. Ia membalikkan kepalanya ke arah Joshua. “Nanti kalau udah jadian jangan lupa beli soto di sekolah buat gue,” ucap Jemima dan tertawa. Lalu ia keluar dari kamar Joshua.
Joshua segera menutup buku Matematikanya. Percuma saja ia belajar bila pikirannya hanya dipenuhi oleh Natasha. Ia pun membulatkan tekadnya. Besok, ia akan menyatakan perasaannya pada Natasha.
///\\\
Joshua berjalan dengan lesu. Pikirannya kacau karena ujian Matematika yang baru saja ia lalui. Ia seakan lupa akan rencananya untuk menyatakan perasaannya pada Natasha. Karena kurang memperhatikan jalan, Joshua menabrak seseorang.
“Eh, maaf, gue nggak sengaja.” Joshua segera melihat siapa orang yang baru saja ditabraknya. Ternyata ia adalah Natasha. Joshua segera mengulurkan tangannya untuk membantu Natasha berdiri. Namun Natasha tidak menerima uluran tangan Joshua dan segera berdiri.
“Gue yang salah, gue nggak lihat ada lo, Josh,” ucap Natasha datar dan hendak meninggalkan Joshua. Joshua segera menahan lengan Natasha.
“Jadi lo pengen mundur gitu aja tanpa tahu sebenarnya gue suka sama lo atau nggak?” Natasha membulatkan matanya. Sebenarnya Joshua sadar akan sikap Natasha hari ini setelah mendengar cerita dari Jemima. Hari ini, Natasha terlihat lebih pendiam. Natasha bahkan tidak pergi ke lapangan untuk menjadi pemandu sorak. Ia bahkan tidak melihat ke arah Joshua.
“Kok lo tau?”
“Jemima cerita ke gue kemarin. Gue tau gue salah karena gue selalu malu untuk ngedeketin lo. Tapi kali ini, biarin gue jujur ke lo tentang perasaan gue.” Joshua mencoba untuk tidak gugup. Ia menarik napasnya dalam-dalam dan mulai berbicara.
“Sejak pertama kali gue ketemu lo di rumah gue, gue tahu kalau gue jatuh cinta sama lo. Tapi sayangnya, gue terlalu malu untuk ngomong sama lo. Gue cuma bisa ngelihat lo dari jauh. Kemarin gue denger lo bilang kalau memang gue suka sama lo seharusnya gue deketin lo. Gue kira gue udah gagal untuk dapat hati lo karena gue nggak pernah deketin lo. Tapi setelah gue denger cerita dari Jemima, gue sadar. Kalau selama ini kita cuma malu untuk ngomong satu sama lain. Maka itu kemarin gue bertekad untuk jujur soal perasaan gue sama lo.”
Natasha masih terdiam. Joshua pun mencoba menenangkan jantungnya yang berdetak sangat kencang sekarang. Ia menarik napas dalam-dalam dan membuangnya secara perlahan.
“Natasha, lo mau kan jadian sama gue?”
Natasha benar-benar kehabisan kata-kata. Ia hanya bisa mengangguk untuk menjawab pertanyaan yang selama ini ia nantikan. Joshua pun tersenyum senang. Ia menggandeng tangan Natasha dan berjalan keluar sekolah.
“Nat, kita beli soto dulu ya.”
“Buat siapa? Lo lapar?”
“Nggak sih, Jemima kemarin bilang kalau kita jadian dia minta dibeliin soto.” Natasha tertawa mendengar jawaban Joshua. Ia mengangguk dan mereka segera pergi membeli soto untuk Jemima.
Mungkin ini bukanlah akhir cerita mereka, melainkan awal dari semuanya. Awal dari hubungan kedua orang yang terlalu malu untuk berbicara.