Blok 14-Benita
Semesta Benita
Lelaki paruh baya berkemeja hitam dan bersorban hitam itu datang membawa aura kewibawaan. Jemarinya memutar biji-biji tasbih. Mata besarnya meneliti sudut rumah besar ini.
Di bawah meja, aku menggeser kakiku dengan gelisah. Mama dan Papa ternyata serius dengan niat mereka. Begitu hari libur tiba, mereka mengundang paranormal kondang untuk mengusir hantu di rumah kami.
Demi apa pun, aku tak ingin hantu itu pergi. Dia hantu teristimewa bagiku. Hampir dua puluh tahun perjalanan hidupku, telah kulihat ratusan hantu. Entitas itu lebih sering menakutkan tenimbang memberi tenang. Tak sedikit yang bisa diajak berteman. Rerata dari mereka adalah arwah penasaran atau jin yang meniru jasad yang telah mati demi menakut-nakuti. Sering kali aku berkomunikasi dengan mereka. Suara yang kudengar bernada tinggi penuh amarah atau rendah penuh kegeraman.
Aku berani bilang jika hantu ini berbeda. Dialah hantu yang paling kucintai, hantu yang menemaniku di saat wajahku sendu berurai air mata maupun saat senyumku mengembang. Hanya dia hantu yang pernah memasak untukku, melihat lebam di tubuhku, dan menangis karena aku. Selamanya dia akan tetap menjadi hantu teristimewa di benakku.
Perkara kebenaran memang relatif semata. Hantu tampan penunggu Kediaman Rorimpandey dianggap meresahkan. Seisi rumah mulai dari orang tuaku hingga ART seakan hafal dengan rutinitas si hantu. Pada jam-jam berawalnya aktivitas di pagi hari, si hantu akan memperdengarkan bunyi kelontang-kelonteng panci di dapur. Ia tak pernah menakuti penghuni rumah jika malam Jumat tiba. Hantu itu justru sering muncul pada malam Minggu. Malam yang identik dengan cinta dan kencan. Pernah si hantu membuat klien bisnis ketakutan dengan telepon. Saat rekan bisnis Papa ingin datang ke rumah kami dan dia tersesat, dia menelepon rumah kami. Hantu itulah yang menjawab telepon dan mengarahkan rekan bisnis itu hingga tiba di sini. Mulanya dia tak curiga dan menyangka Keluarga Rorimpandey punya anak lelaki. Namun setelah Papa menjelaskan bahwa anaknya hanyalah aku seorang, relasi bisnisnya ketakutan.
Beberapa minggu lamanya hantu tampan itu menciptakan resah di hati penghuni rumah bertingkat tiga ini. Mama dan Papa sempat mengungsi ke villa selama dua hari. Letak villa terlalu jauh dari mall sehingga terpaksa mereka kembali lagi ke sini. Suatu malam, aku kembali melukai badanku. Segera saja si hantu tampan melempar barang-barang. Mama, Papa, dan ART kami kalang kabut. Aku tahu si hantu tak suka aku menyakiti diri.
“Gimana, Pak Sadi? Anda bisa mengusirnya?” tanya Mama penuh harap.
“Maaf, Bu Monalisa. Sampai saat ini, saya tidak bisa melihat posisi hantunya. Wujudnya seperti apa saya juga tidak tahu,” sesal Pak Sadi.
Hatiku melonjak kegirangan. Zakaria cerdas sekali. Dia dapat menyembunyikan wujudnya dari paranormal kawakan. Pasti dia pun tak ingin pergi dari sini.
“Tolonglah kami, Pak. Hantu itu membuat kami ketakutan setengah mati.” Papa memohon putus asa. Tak sadar jika putrinya sejak tadi menahan tawa.
“Pak Danish, saya sedang berusaha. Maaf kalau saya tak bisa.”
Aku sendiri mulai memutar leher, celingukan mencari Zakaria. Dia menghilang sejak tadi. Biasanya dia betah sekali berada di sampingku.
Oh, itu dia. Sebentuk kabut putih perlahan memadat membentuk sosok lelaki dewasa berparas pucat dan berhidung mancung. Zakaria-ku berdiri di antara sofa mahal dan guci kesayangan Mama. Aku bertatapan dengannya. Dia tersenyum.
“Benita ....” Mama menyenggol lenganku, menatap penuh arti.
“Apa kamu bisa lihat dimana hantunya?”
Maaf Ma, kali ini aku terpaksa berbohong. Kugelengkan kepala. Anehnya, Pak Sadi menatapku curiga. Apa dia tahu aku menyimpan dusta?
“Benar, kamu nggak liat apa-apa?” tembak Pak Sadi, nyaris membuatku mati kutu.
Sekali lagi aku menggelengkan kepala. Aku harus melindungi si hantu. Jangan sampai dia diusir.
Kulihat Zakaria masih berdiri di posisi semula. Pak Sadi mengekori arah tatapanku. Aku menahan napas. Tetiba lampu mati. Sofa yang kami duduki bergoyang. Mama, Papa, dan Pak Sadi berteriak ketakutan. Dalam kegelapan, aku menyipitkan mata ke spasi kosong di antara sofa dan guci. Sosok putih itu lenyap. Kemungkinan besar ini ulahnya.
“Pak Danish, apa Narcissa Regency sering mati lampu?” Pak Sadi menanyai Papa.
“Tidak, Pak. Ini perumahan elite. Instalasi listriknya sangat bagus.”
Mama berjingkat ke jendela. Dibukanya sedikit tirai biru berkilauan. Matanya membeliak melihat cahaya lampu berpendar di rumah tetangga. Fix, ini ulah si hantu.
“Pak ... Pak Sadi, kita harus gimana?”
“S-saya angkat tangan, Pak Danish. Permisi.”
Terburu-buru juru spiritual itu kabur dari rumah. Tepat setelah ia ambil langkah seribu, lampu kembali menyala. Mama dan Papa menghela napas lega. Aku serasa di bawah lampu sorot karena dua pasang mata sekaligus terarah padaku.
“Benita, apa ini akal-akalan kamu supaya kami tidak mengusir hantu itu?” tuduh Papa langsung.
“Enggak, Pa. Aku nggak merencanakan apa pun. Tapi, aku memang nggak mau dia pergi,” belaku pada diri sendiri.
Papa memutar mata. Tak habis pikir karena aku tak ingin hantu penunggu rumah ini hilang.
Aku naik ke loteng setengah jam kemudian dengan hati ringan. Kujumpai Zakaria di balkon kamarku. Teduh matanya mengabsen kerlipan bintang di langit malam.
“Jadi, Kakak yang matiin lampu dan goyang-goyang sofa?” bisikku.
“Yups. Sebenarnya aku ingin menebar bunga biar ada efek wewangian yang menakutkan. Tapi aku tak mau merusak kebun Tante Monalisa.”
“Brilian. Bahkan Pak Sadi aja ketakutan. Lucu, ya, masa paranormal jiper?”
Kami tertawa. Sekejap kemudian, wajah Zakaria berubah murung.
“Kenapa, Kak?” tanyaku lembut.
“Sebelum aku koma, ada sesuatu yang belum sempat kulakukan.”
Kusandarkan punggung di pagar balkon. Kini posisi kami berdampingan. Zakaria dengan tubuh pucat dan baju putihnya. Aku dengan rambut terkuncir rapi dan gaun tidur sewarna salju. Kutatap matanya, menunggu ia bercerita.
“Aku belum menuntaskan proses perceraianku dengan Sabila.”
Aku tersedak napasku sendiri. Detail ini lolos dari atensiku. Benarkah sebelum terpapar virus jahanam itu Zakaria hendak menceraikan Mrs. Antagonis?
“Kok Kakak nggak cerita ke aku?”
“Aku keburu sakit, Benita. Hanya keluarga yang tahu soal itu. Gugatan sudah didaftarkan ke pengadilan agama. Sabila bahkan sudah tanda tangan. Hanya tinggal tanda tanganku dan persidangan saja. Aku tak mau repot-repot mediasi.”
Penuturan Zakaria bagai sepotong tangan baja yang merogoh dadaku. Aku tertunduk dalam. Rasanya diriku berada dalam posisi terjepit. Tak bisa kupungkiri kalau aku senang mendengar niatan Zakaria. Namun, aku akan jadi antagonis jika terang-terangan bersuka cita atas kabar yang paling dibenci Tuhan ini.
“Kakak yakin mau cerai sama Sabila? M-mungkin ... mungkin sakitnya Kakak ini menjadi pertanda kalau Kakak nggak boleh cerai,” tukasku sedikit terbata.
Zakaria menggeleng kuat. Tangannya yang bertumpu di pagar tangga gemetar.
“Rumah tangga kami membawa racun, Benita. Kamu pikir hanya pacaran yang bisa menebar toksik? Pernikahan sama saja. Aku, dan Mama-Papa sepakat soal ini, sudah banyak terluka karena Sabila. Yuke pernah bilang kalau aku bisa saja mati karena istriku sendiri.”
Inilah bentuk kesadaran yang kunanti selama puluhan purnama. Zakaria akhirnya sadar kalau pernikahannya dengan Sabila hanyalah racun. Telah banyak abu penderitaan yang Sabila raupkan ke hati suaminya. Lantas, apa balasannya? Cinta. Berlaksa cinta Zakaria berikan untuk sang istri. Ini namanya air got dibalas air cappucino.
“Kamu juga ingin aku cerai, ‘kan?”
Ups, aku lupa. Ketajaman pikiran Zakaria setajam silet. Aku berkomat-kamit untuk berkelit, tetapi tak sanggup menerjemahkan pembelaan diriku.
“Kalau gitu, Kak Zakaria harus bangun dan menandatangani surat cerai itu,” usulku setelah terdiam lama.
Zakaria tersenyum pahit. “Bangun? Lalu aku akan kesakitan lagi, batuk darah lagi, muntah lagi?”
Dilema mengepungku. Sebelum jatuh koma, Zakaria memang menderita. Virus sialan itu merusak alat pernapasannya. Aku sendiri yang menjadi saksi penderitaannya.
“Jadi, Kakak nggak mau bangun karena takut kesakitan terus?” Aku melempar tebakan.
“Tubuh dan jiwaku sudah hancur, Benita,” ujar Zakaria serak.
“Gemmanda sudah tiada. Sabila menyakitiku berkali-kali. Tubuhku diserang virus ganas. Apa lagi yang menungguku saat aku bangun selain kesakitan dan kesedihan panjang?”
Menyebut nama anak perempuannya, paras Zakaria bertambah pias. Sesaat ia terlihat tampan dan menakutkan di saat bersamaan. Matanya berbinar redup. Binar seorang ayah yang tersiksa.
Kupapah dia meninggalkan balkon. Dia akan lebih aman bila berada di kamarku. Sampai di kamar, kumainkan piano untuknya. Kubiarkan ia menyimpan dagunya di pundakku. Aku mainkan lagunya si raja galau alias Mahen untuk Zakaria.
It's okay
To not be okay
You don't have to hide
The tears behind
The rain
Don't have to find
Someone to blame
You don't have to understand
The pain
'Cause things won't stay the same
You're overthinking, it's three a.m.
Pretending that it's not the ending
It's okay to cry sometimes
If that's your way to heal today
It's okay to feel like
There are things you can't control
It's okay to not be okay (Mahen-It’s Okay to Not Be Okay).
Telingaku menangkap isakan teredam dari balik bahuku. Lengan bajuku basah. Oh aku tak tega, sungguh tak tega. Aku membelai rambut Zakaria penuh cinta. Kuyakin Sabila tak pernah melakukan sentuhan selembut ini.
“Kak, apa yang bisa kulakukan untukmu? Kalau bisa, pasti akan kulakukan.” Suaraku sekarang mulai serak juga karena menahan tangis.
Zakaria menegakkan tubuh. Nanar menatapku dengan matanya yang sembap.
“Benita, hanya kamu yang bisa kurasuki ....”
**
Dua hari sebelum bulan suci, Mama kelimpungan. Model-model yang akan tampil di peragaan busana amal untuk korban banjir NTT dan gempa Malang mendadak mengundurkan diri. Hanya aku yang tersisa. Lucu sekali kalau aku melantai sendirian.
Mama menjadi ketua panitia acara amal ini. Jauh-jauh hari ia sudah memintaku menjadi salah satu peragawati. Kupenuhi permintaan Mama dengan senang hati. Kami butuh beberapa peragawan dan peragawati untuk memeriahkan acara ini. Acara amal yang digagas Mama dan kedua adiknya bekerjasama dengan Rotary dan Rotaract.
“Ma, gimana kalo aku minta Magenta dan pasangan mereka buat jadi model?” Kuajukan sebuah ide.
“Boleh, boleh. Coba telpon mereka.”
Sebelum aku menelepon salah satu anak Magenta, Zakaria mencegatku di pertengahan tangga. Dia penasaran apa yang sedang terjadi. Kujelaskan semuanya.
“Sayang sekali aku belum bisa bantu.” Ia berkata penuh rasa bersalah.
Aku memutar tubuh setiba di puncak tangga. Kuarahkan kamera ponsel ke arahnya. Beberapa foto terambil. Saat kulihat, tak kutemukan sosoknya di foto. Yang terpotret hanyalah anak tangga pualam rumahku.
“Bisakah Kakak menampakkan diri di depan semua orang selain aku? Katanya Kakak mau bantu.” Aku meminta, memasang puppy eyes.
Mendengar itu, Zakaria mengulum tawa. “Yang bener aja? Bisa-bisa seisi mall malah panik dan acara kalian gagal total.”
“Enggak, tampilkan sosok Kakak seolah Kak Zakaria bukan hantu. Nanti kalo ada yang tanya, bilang aja ini cuma orang yang mirip Kakak. Mau ya, Kak? Ya ya yaaa?”
Biarlah, biarlah aku bersikap manja pada suami orang. Toh sebentar lagi suami orang itu akan berganti status jadi duda. Kalau Irwansyah punya lagu Kutunggu Jandamu, aku ingin menunggu dudamu, Kak Zakaria. Ternyata janur kuning melengkung tidak menjamin pintu peluang tertutup rapat.
Sementara Zakaria tenggelam dalam pikirannya sendiri, kubuka japrian yang baru masuk. Aku sangat mengenali nomornya.
From: Yvonne Pangemanan
Selamat pagi, Benita cantik. Boleh Tante datang ke acara peragaan busana untuk amal di Danish & Monalisa Square? Udah lama juga kita nggak ngobrol. Tante kangen sama kamu.
Secepat kilat kutunjukkan pesan itu pada Zakaria. Manik mataku memperhatikan ia memegangi dadanya. Pastilah sedih, bahagia, dan rindu tengah bertumpukan di sana.
“Momma ....”
Lampu hijau sudah kudapatkan. Aku mengantongi dua tiket kesempatan: acara peragaan busana ini, dan rencanaku bersama Zakaria selanjutnya.