Read More >>"> When Magenta Write Their Destiny (Blok 9: Erika) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - When Magenta Write Their Destiny
MENU
About Us  

Blok 9-Erika

Semesta Erika

Mana ada perempuan yang nangis di hari pertunangannya? Ada kok, gue contohnya. Lamaran Fritz bikin gue mewek.

Malam itu, kediaman Keluarga Wiguna terlihat lebih sibuk dari biasanya. Tiga asisten rumah tangga hilir-mudik menata meja. Kebun menjadi titik pusat karena di sanalah acara lamaran akan berlangsung. Sebenarnya tamu yang diundang nggak terlalu banyak. Cuma keluarga dan beberapa orang dekat. Magenta jadi salah satu tamu kehormatan. Gue lebih suka menyebutnya acara makan malam ketimbang lamaran. Kalo lamaran kesannya formal banget.

Meja telah ditata. Kini para pelayan membawa piring-piring besar berisi daging panggang, sup krim, puding, pastry, dan beberapa varian kudapan lezat. Jalan masuk dari halaman depan dan belakang dipenuhi taburan bunga mawar putih. Spasi kosong dari kebun hingga ke kolam renang dipasangi lilin-lilin putih. Bukannya senang, kok gue malah risih ya liat dekorasi ini? Gue nggak pengen terlalu mewah.

Hmmm udah lama gue nggak ke rumah Opa Willy. Gue sama Jefrey biasa tinggal di rumah mungil di Narcissa Regency. Kediaman utama keluarga gue nggak jauh dari rumah yang gue tempati sehari-hari. Pas lagi ngelamun memandangi dekorasi serbaromantis ini, gue dikejutkan dengan kehadiran anak Magenta. Mereka kompak pakai gaun warna pastel. Gue pengen ngakak liat Aini yang tomboy aja pakai dress.

“Lo beneran udah kesambet Yuke, ya.”

Jelas kalimat itu bukan gue yang ngomong. Siapa lagi yang paling getol ngeledekin Aini kalo bukan Gabriella?

“Enak aja. Memangnya Yuke makhluk halus? Dan gue mau pakai baju kayak gini bukan karena dia. Gue harus hormatin yang punya acara lah!” ketus Aini sambil menjitak kepala Gabriella.

“Eh, gue penasaran. Tadi sepanjang jalan ada yang ngira kita anak kembar empat, ya? Bajunya samaan sih.” Marina nyerocos. Satu tangannya yang berhias gelang swarrowski mencomot pai buah dari mangkuk terdekat.

Aini menyikut rusuk Marina. “Eits, acara belum mulai udah ngemil aja. Mana nggak izin tuan rumah lagi.”

“Jawab dulu pertanyaan gue!”

“Kayaknya nggak ada, deh yang ngira kita kembar empat. Palingan kita dikira anak panti asuhan karena bajunya kembar.” Gabriella nimbrung.

Kayak guru BK di sekolah yang mengecek siswanya, gue menginspeksi Magenta dari ujung kaki hingga ujung rambut. Baju mereka memang sama persis. Modelnya sama, warnanya apa lagi. Cuma gue yang beda sendiri dari anggota Magenta yang lain. Malam ini, gue pakai gaun putih panjang. Gaun mahal berkancing mutiara ini pemberian Fritz. Dia minta secara khusus ke gue buat pakai gaun ini di hari spesial kami.

“Kalo menurut lo kita kayak apa, Ben? Kayak kembar siam atau anak panti yang bajunya samaan?” Marina menyenggol pelan lengan Benita. Sejak tadi gadis itu diam saja.

Tak ada sahutan. Gue lirik Benita. Dia kenapa, ya? Apa dia sama merananya kayak gue?

“Ben? Hello, ada orang di sini?” Tangan Marina melambai di depan wajah Benita.

“Ap-apa, Marina? Maaf ....”

Yah, baru connect dia. Memang susah ngobrol sama gadis indigo. Mungkin dia lagi diliatin makhluk penunggu rumah Opa.

Marina, Gabriella, dan Aini ngakak liat tampang bego Benita. Cuma gue yang nggak ketawa. Pikiran gue kusut kayak rambut gimbalnya pelantun lagu Tak Gendong. Siapa cewek yang nggak galau saat akan dilamar pria gay? Apa gue sanggup? Tenang, Erika. Lo pasti bisa.

“Hey, kok yang mau tunangan malah murung? Ada apa?”

Elusan lembut tangan Benita di pundak gue sedikit menenangkan. Ibu peri mulai menanggalkan sikap apatisnya.

“Harusnya lo seneng. Lo yang paling laris dari kita. Baru semester dua udah dilamar. Nasib kisah cintanya paling pasti.” Gabriella berseloroh, tersenyum pahit.

Gue nggak suka sama diksi ‘laris’ yang dia pakai. Perempuan bukan barang. Magenta nggak tau pergulatan batin gue. Mereka hanya kenal Fritz dari luarnya.

Obrolan Magenta terinterupsi kedatangan Fritz dan keluarganya. Anehnya, bukan gue yang menyambut hangat mereka. Jefreylah yang berlari-lari ke dekat Fritz. Mukanya sumringah. Dia pasti senang karena bakal punya kakak ipar ganteng dan royal.

Lampu menyala di otak gue. Nggak seharusnya Fritz berdekatan sama Jefrey. Kalo dia naksir adik gue gimana? Cepat gue hampiri mereka. Gue tarik lengan Fritz sejauh mungkin dari Jefrey.

“Kakak apaan, sih? Aku lagi ngobrol sama Kak Fritz!” Jefrey memprotes. Lagaknya seperti pacar yang protektif. Gue menatapnya waspada.

“Jangan dekat-dekat!” perintah gue galak.

“Yeee, memangnya aku mbak Corona? Lagian, aku juga udah sembuh, kok. Nggak flu lagi.”

Homoseksual jauh lebih berbahaya ketimbang flu. Gue pernah baca curcolan pria gay di sebuah forum. Katanya, dia bisa jadi kayak gitu setelah dideketin sama seniornya. Dia sampai mutusin pacar ceweknya setelah terpikat sama seniornya di sekolah. Gue nggak mau adik gue semata wayang bernasib sama.

“Fritz, aku pengen deket-deket kamu,” rengek gue manja. Gue cengkeram erat lengannya.

Fritz mengulum senyum. Kerling matanya nunjukkin kalo dia paham. Dia tau gue lagi ngejauhin dia dari pemicu. Gue mau Fritz hanya milik gue. Dia harus cinta sama perempuan, dan perempuan itu adalah gue. Kedengaran ambisius dan bukan Erika banget. Tapi tekad gue udah terlanjur bulat.

Keluarga Wiguna dan Wongsonegara telah berkumpul. Terlihat Tante Meinar-ibunya Fritz-duduk berdampingan sama Mama. Kami bergerak menempati kursi-kursi beludru putih. Setiap kursi telah diatur sedemikian rupa biar berjarak. Protokol kesehatan tetap dijaga ketat.

“Bisa kita mulai?” tanya Opa Willy.

“Tunggu sebentar. Papanya anak-anak belum datang,” cegat Mama.

Gue speechless. Mama masih menghormati Papa. Buktinya, dia nggak mau memulai pertunangan gue tanpa mantan suaminya. Ini bikin gue terkesan. Lebih terkesan lagi karena Mama datang sendiri tanpa menggandeng keluarga barunya.

Lima menit berselang, Papa datang. Jagat hukum di negeri ini kenal mantan pengacara top Peter Duncan. Yups, dialah papa gue. Kenapa gue sebut mantan pengacara? Karena sekarang dia banting setir jadi pengusaha dan konsultan. Dua lini bisnisnya adalah Peter Partner, sebuah lembaga konsultan hukum. Usaha lain yang digelutinya adalah cafe kekinian. Belakangan Papa juga tertarik menulis buku non-fiksi. Entah murni tulisannya sendiri atau pakai jasa ghostwriter.

“Maaf saya terlambat.” Papa datang sambil tersenyum kikuk.

No worries. Silakan duduk.”

Papa tak perlu disuruh dua kali oleh mantan mertuanya. Opa masih sangat baik pada Papa. Mereka berhubungan baik seolah tak pernah terjadi sidang perceraian.

Detik demi detik berlalu mendebarkan. Guepengen acara ini segera dimulai. Makin cepat gue terikat secara resmi sama Fritz, makin gampang gue bikin dia jatuh cinta. Papa bersiap memulai acara ketika ....

“Fritz!”

Hati gue mencelos. Gue kenal banget suara itu. Seisi meja menoleh ke pintu kaca yang membatasi dapur dengan halaman belakang. Seorang pemuda bermata segaris dan berwajah oval dengan kemeja marun berdiri tegak. Satu tangannya diletakkan di pinggang.

“Rafael? Ngapain lo di sini? Hush, hush, pergi! Jangan ganggu Fritz dan Erika!” usir Aini galak. Jemarinya menuding Rafael tepat ke mukanya.

Rafael Abalos, teman SMA gue dan Fritz. Kabarnya dia sobat kental Fritz. Tapi gue curiga hubungan mereka lebih dari sekedar sahabat. Gue menduga Rafael salah satu pasangannya Fritz. Mereka lengket banget udah kayak kutil dan plesternya. Kemana-mana selalu berdua mirip Jin dan Jun. Nggak bisa dipungkiri, Fritz dan Rafael adalah duo makhluk terkece di sekolah kami waktu itu. Mereka jadi incaran cewek.

“Apa-apaan ini? Siapa kamu?” tegur Papa. Raut wajahnya menampakkan ketidaksukaan.

“Om nggak perlu tau siapa saya. Yang jelas, saya nggak setuju sama pertunangan Fritz dan Erika.”

Tante Meinar dan Om Dewanto menatap tajam ke arah Fritz. Mereka pasti bingung kenapa sahabat anak mereka mengacaukan acara.

“Wongsonegara hanya boleh bersatu dengan Abalos!” Rafael berseru marah.

Pelototan Om Dewanto sejenak membungkam Rafael. Ini anak udah gila. Keluarga Wongsonegara dan Abalos cuma punya anak laki-laki. Sama aja Rafael mendeklarasikan orientasinya yang berbeda.

“Ma, Pa, maaf. Aku beresin ini dulu.” Fritz berdiri, lalu memegang pergelangan tangan gue. Mengisyaratkan gue untuk ikut. Seisi meja memandangi kami.

Fritz menggiring gue dan Rafael ke dalam rumah. Dia sengaja pilih tempat sejauh mungkin dari keluarga. Gue tau dia takut keabnormalannya terbongkar.

Begitu jauh dari jangkauan pendengaran para tamu, Rafael kembali marah. Dia menuduh Fritz selingkuh. Merinding disko gue dengernya. Jadi gitu, ya, hubungan sesama jenis?

“Lo duain gue, Fritz! Mana janji lo? Katanya lo mau selamanya sama gue! Brengsek lo!” maki Rafael, menuding muka Fritz dengan telunjuknya.

Gue bersandar ke dinding, nggak mau ikut campur. Hati gue kebas liat adegan ini. Kalo perempuan yang dilamar sama cowok hetero kemungkinan bakal berhadapan sama cewek, nah gue mesti berhadapan sama cowok. Rambut gue nggak dijambak cewek kayak yang sering gue baca di novel-novel. Justru hati gue yang sakit liat Fritz begitu intim sama cowok lain.

“Maaf, Sayang. Gue mau sembuh. Gue mau belajar mencintai Erika.”

Apa dia bilang tadi? Sayang? Fritz manggil Rafael dengan sebutan sayang? Tangan gue langsung bersedekap kayak orang kedinginan.

Mendung menghiasi wajah Rafael. Apa dia akan menangis setelah diputusin Fritz? Sudut mata gue mengerling Fritz yang lagi membelai rambut Rafael. Gue antara kasihan dan mual liatnya.

“Lo mau bohongin diri sendiri, Fritz? Emangnya segampang itu dari SSA jadi hetero? Ternyata lo ngikutin jejak sebagian besar gay di negara ini: pura-pura hetero,” cerca Rafael sambil menyeka ujung mata.

Deretan kalimat Rafael sukses merongrong hati gue. Benarkah Fritz melamar gue hanya untuk kedok semata? Gue dimanfaatin demi status sosial dan biar dia nggak dibuang keluarga. Gue dijadiin tameng pelindung aibnya. Ya ampun, gue nggak kuat.

“Bukan, Rafael. Bukan gitu ... gue memang terpanggil untuk berubah. Keinginan ini murni dari hati gue. Kalo pengen tetap jadi gay, gue bisa aja tinggal di luar negeri sama lo. Gue bisa pilih negara yang mau terima gue. Tapi gue sadar ini nggak bener. Gue nggak bisa kayak gini terus. So, gue mau buka lembaran baru sama Erika,” tutur Fritz, ekspresinya penuh ketulusan.

Sedikit kepercayaan menyusup ke dada gue. Fritz memang beneran pengen berubah. Gue harus percaya sama dia. Jauh di dala hati, masih ada yang berdenyut sakit.

“Lo keterlaluan, Fritz! Setelah gue kasih seluruh hati gue ke lo, ini ....”

“Terusin aja berantemnya. Erika nggak ada kok.” Gue menyela frustrasi. Rasanya gue pengen masukkin Rafael ke karung trus gue buang ke lautan.

Fritz terperanjat seolah perutnya tersiram seember air dingin. Dia baru sadar gue terseret dalam masalahnya. Cepat-cepat dia mendekati dan merangkul gue.

“Rafael, mending lo pergi. Lo udah nyakitin cewek gue,” perintah Fritz datar.

Rafael melengos. Sebelum melenggang pergi, dia masih sempat melempar pandang benci ke arah gue. Dada gue serasa ditimpa batu bata. Gue masih bisa tahan kalo dicemburui cewek-cewek. Tapi kalo sama cowok ...?

Pasti penampilan gue kacau banget. Mata gue panas. Fritz makin erat rangkulan gue. Lembut tangannya mengelus rambut gue.

“Jangan pikirin dia lagi, ya. Dia nggak bakal ganggu kamu. Aku janji.” Fritz berbisik menenteramkan.

Gue terisak. Kalo sekedar digangguin bukan masalah besar buat gue. Yang jadi ganjalan di hati gue adalah betapa mesranya Fritz dan Rafael. Betapa dekat hubungan mereka sebelumnya.

“Secinta apa kamu sama Rafael?” Gue bertanya setengah terisak.

Sunyi sesaat. Fritz tertunduk dalam.

“Rafael itu masa lalu, Erika. Kamulah masa depanku. Jadi buat apa lagi dipertanyakan?” bantah Fritz diplomatis.

“Kalo kamu masih cinta sama Rafael, mending kita batalin aja!” teriak gue putus asa.

“Erika ....” Fritz memanggil lembut nama gue. Amarah gue agak surut.

“Aku memang belum sembuh. Tapi bukan berarti aku nggak ada usaha. Mencintaimu adalah caraku memulihkan diri dari rasa cinta yang salah ke sesama jenis. Tolong beri aku kesempatan, Erika. Aku akan mencintaimu.”

Tangan Fritz yang merangkul gue gemetar hebat. Keringat dingin menetes di dahinya. Apa dia takut bersentuhan sama perempuan? Apa nada lembut menenangkannya dari tadi hanya kamuflase?

Gue mengembuskan napas dalam. Teringat tekad gue untuk menjadikan Fritz milik gue seutuhnya. Masa kayak gini aja gue menyerah? Perlahan gue mengangguk. Lamaran akan tetap berlanjut.

Senyum cerah memulas wajah tampan Fritz. Gue bergetar. Coba aja dia bukan homo, dia pasti sempurna banget buat dicintai.

Kami kembali ke halaman belakang. Seisi meja bangkit merubung kami. Fritz meyakinkan mereka kalau semuanya baik-baik saja.

“Baik, kita mulai saja.” Papa berkata memecah kecanggungan.

Saatnya kian dekat. Gue memaksakan senyum meski mata ini masih ingin menumpahkan air. Samar gue menangkap gerakan ganjil di semak-semak. Gue curiga kalo Rafael belum pergi.

'Ku tak bahagia, melihat kau bahagia dengannya

Aku terluka, tak bisa dapatkan kau sepenuhnya

Aku terluka, melihat kau bermesraan dengannya

'Ku tak bahagia, melihat kau bahagia

 

Kata Rachel di film Heart, cinta itu senang melihat orang yang dicintai bahagia. Rafael dan gue nggak setuju sama konsep itu. Hati gue perih liat Fritz bermesraan sama Rafael. Sementara itu, Rafael patah hati berat liat Fritz melamar gue.

Tante Meinar memasangkan cincin ke jari gue. Cuma cincin emas sederhana, nggak ada hiasan permata. Katanya ini hanya simbol pengikat. Cincin yang akan lebih mewah bakal mereka hadiahkan ke gue saat menikah nanti.

Kecurigaan gue memuncak. Bukan lagi gerakan, tapi sepasang mata yang gue liat dari balik gerombolan semak. Mata siapa lagi coba? Masa setan? Gue bukan Benita yang bisa liat penghuni dimensi lain.

Harusnya aku yang di sana, dampingimu dan bukan dia

Harusnya aku yang kau cinta dan bukan dia

Harusnya kau tahu bahwa cintaku lebih darinya

Harusnya yang kau pilih bukan dia (Armada-Harusnya Aku).

Sekarang gue udah resmi jadi calon istri Fritz. Magenta bergantian kasih selamat ke gue. Jefrey antusias banget. Impiannya untuk saudaraan sama Fritz terwujud. Cuma gue yang berurai air mata setelah dipakaikan cincin sama Tante Meinar.

Perasaan tidak dicintai kembali muncul. Kenapa bukan Fritz yang menyematkan cincin? Kenapa malah ibunya yang lakuin itu? Pasti karena Fritz belum rela sepenuhnya. Mungkin dia berharap cincin itu terpasang di jari manis Rafael.

Pikiran gue mulai membayangkan hal yang enggak-enggak. Sesering apa Fritz dan Rafael berkencan? Mungkinkah mereka pernah berhubungan seks? Mereka pintar sekali bisa menyembunyikan hubungan terlarang itu dalam waktu lama. Bermacam pikiran buruk ini membuat air mata gue membanjir.

“Duh, Erika seneng banget, ya, sampai nangis gitu?” Tante Meinar tersenyum, menyeka air mata gue penuh sayang.

“Iya. Cengeng banget lo, Erika. Baru tunangan aja nangisnya udah kayak Cimandiri di musim hujan. Gimana kalo nikah? Bisa-bisa Ciliwung pindah ke mata lo,” canda Aini. Mengundang tawa dari para tamu.

Gue mengeluarkan suara isak bercampur tawa. Fritz mengerling gue penuh penyesalan. Cuma dia yang paling tau perasaan gue.

Setelah prosesi penyematan cincin, kedua keluarga mulai membicarakan target dan tenggat waktu. Mama dan Papa ngotot gue harus nikah setelah lulus kuliah. Mereka nggak mau kuliah gue terganggu. Tante Meinar dan Om Dewanto sepakat. Tiga tahun dari sekarang, gue dan Fritz harus mulai bersiap ke jenjang pernikahan. Gue menarik napas pelan. Tiga tahun, waktu yang cukup panjang untuk menyembuhkan Fritz. Semoga gue tahan.

**    

Paginya, wajah Rafael masih mengganggu pikiran gue. Anak pemilik perkebunan kelapa sawit itu bikin hati gue acak-acakan. Gue terus berpikir negatif. Apa mungkin Fritz dan Rafael ketemuan di belakang gue?

Gue stress. Untung hari ini kuliah libur. Alhasil sepagian ini yang gue lakukan hanya duduk di sofa ruang tamu sambil ngerjain soal Matematika. Ya, gue selalu lari dari stress dengan berhitung. Magenta anggap gue sinting karena saking pintarnya. Jefrey deketin gue. Rambutnya berantakan dan dia pasang muka bantal. Ketauan banget baru bangun tidur.

“Cieee, yang baru tunangan kok cemberut terus?” sapanya dengan suara serak. Gue menoleh ke arahnya.

“Kenapa? Sakit lagi?”

Jefrey berdeham. “Enggak kok. Cuma suaraku ilang aja pas bangun tadi.”

Sontak gue melompat bangun. Ini anak gampang banget ngedrop. Jefrey menarik gue duduk lagi. Dia bilang dia nggak apa-apa. Gue takut rhinitisnya kambuh lagi.

“Oh ya, Kak Fritz kapan mau ke sini? Aku pengen main PS sama dia.”

Ucapan Jefrey menyalakan radar kewaspadaan. Sambil menatap galak adik gue, tegas gue bilang.
“Kamu nggak boleh terlalu dekat lagi sama Fritz. Dia punya aku.”

Jefrey keberatan. Dia terang-terangan ngaku kalo dia kangen sama Fritz. Kangen main PS, jalan-jalan keliling kota, berduaan kayak Minion, dan tidur sekamar. Gue bergidik dengar yang terakhir. Kenapa gue baru sadar, ya? Fritz dan Jefrey sering tidur sekamar. Gimana kalau ...?

Deru mesin mobil terdengar di luar pagar. Jefrey berteriak girang dan lari ke halaman. Gue melangkah gontai menyusulnya. Sebuah Aston Martin silver meluncur mulus. Fritz turun dari mobil. Jefrey berlari ke pelukannya. Gue ngeri liat kedua cowok itu pelukan. Fritz rileks banget peluk Jefrey. Kontras dengan tangannya yang gemetar hebat saat merangkul gue semalam.

Ehem ....” Gue berdeham. Spontan Fritz merenggangkan pelukan.

“Eh maaf, Erika. Kenapa?”

Gue menggamit lengannya. “Kita perlu bahas beberapa aturan selama kita berhubungan.”

Fritz pasrah saat gue menggiringnya ke ruang tamu. Kalo mau sembuh, dia harus nurutin gue. Jefrey mengekor sambil bersungut-sungut.

 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Gadis Kopi Hitam
1048      737     7     
Short Story
Kisah ini, bukan sebuah kisah roman yang digemari dikalangan para pemuda. Kisah ini, hanya sebuah kisah sederhana bagaimana pahitnya hidup seseorang gadis yang terus tercebur dari cangkir kopi hitam yang satu ke cangkit kopi hitam lainnya. Kisah ini menyadarkan kita semua, bahwa seberapa tidak bahagianya kalian, ada yang lebih tidak berbahagia. Seberapa kalian harus menjalani hidup, walau pahit, ...
Aku Milikmu
1526      706     2     
Romance
Aku adalah seorang anak yang menerima hadiah terindah yang diberikan oleh Tuhan, namun dalam satu malam aku mengalami insiden yang sangat tidak masuk akal dan sangat menyakitkan dan setelah berusaha untuk berdamai masa lalu kembali untuk membuatku jatuh lagi dengan caranya yang kejam bisakah aku memilih antara cinta dan tujuan ?
HARMONI : Antara Padam, Sulut dan Terang
1110      497     5     
Romance
HARMONI adalah Padam, yang seketika jadikan gelap sebuah ruangan. Meski semula terang benderang. HARMONI adalah Sulut, yang memberikan harapan akan datangnya sinar tuk cerahkan ruang yang gelap. HARMONI adalah Terang, yang menjadikan ruang yang tersembunyi menampakkan segala isinya. Dan HARMONI yang sesungguhnya adalah masa di mana ketiga bagian dari Padam, Sulut dan Terang saling bertuk...
Anak Magang
71      68     1     
Fan Fiction
Bercerita sekelompok mahasiswa yang berusaha menyelesaikan tugas akhirnya yaitu magang. Mereka adalah Reski, Iqbal, Rival, Akbar. Sebelum nya, mereka belum mengenal satu sama lain. Dan mereka juga bukan teman dekat atau sahabat pada umumnya. Mereka hanya di tugaskan untuk menyelesaikan tugas nya dari kampus. Sampai suatu ketika. Salah satu di antara mereka berkhianat. Akan kah kebersamaan mereka ...
Gue Mau Hidup Lagi
367      233     2     
Short Story
Bukan kisah pilu Diandra yang dua kali gagal bercinta. Bukan kisah manisnya setelah bangkit dari patah hati. Lirik kesamping, ada sosok bernama Rima yang sibuk mencari sesosok lain. Bisakah ia hidup lagi?
Into The Sky
399      256     0     
Romance
Thalia Adiswara Soeharisman (Thalia) tidak mempercayai cinta. Namun, demi mempertahankan rumah di Pantai Indah, Thalia harus menerima syarat menikahi Cakrawala Langit Candra (Langit). Meski selamanya dia tidak akan pernah siap mengulang luka yang sama. Langit, yang merasa hidup sebatang kara di dunia. Bertemu Thalia, membawanya pada harapan baru. Langit menginginkan keluarga yang sesungguhnya....
Lantunan Ayat Cinta Azra
6140      1182     3     
Romance
Lantunan Ayat Cinta Azra adalah kisah perjalanan hidup seorang hafidzah yang dilema dalam menentukan pilihan hatinya. Lamaran dari dua insan terbaik dari Allah membuatnya begitu bingung. Antara Azmi Seorang hafidz yang sukses dalam berbisnis dan Zakky sepupunya yang juga merupakan seorang hafidz pemilik pesantren yang terkenal. Siapakah diantara mereka yang akan Azra pilih? Azmi atau Zakky? Mung...
Bus dan Bekal
2340      1104     6     
Romance
Posisi Satria sebagai seorang siswa sudah berkali-kali berada di ambang batas. Cowok itu sudah hampir dikeluarkan beberapa kali karena sering bolos kelas dan lain-lain. Mentari selalu mencegah hal itu terjadi. Berusaha untuk membuat Satria tetap berada di kelas, mendorongnya untuk tetap belajar, dan melakukan hal lain yang sudah sepatutnya seorang siswa lakukan. Namun, Mentari lebih sering ga...
Yu & Way
1002      537     28     
Romance
Dalam perjalanan malamnya hendak mencari kesenangan, tiba-tiba saja seorang pemuda bernama Alvin mendapatkan layangan selembaran brosur yang sama sekali tak ia ketahui akan asalnya. Saat itu, tanpa berpikir panjang, Alvin pun memutuskan untuk lekas membacanya dengan seksama. Setelah membaca selembaran brosur itu secara keseluruhan, Alvin merasa, bahwa sebuah tempat yang tengah dipromosikan di da...
Rewrite
7289      2349     1     
Romance
Siapa yang menduga, Azkadina yang tomboy bisa bertekuk lutut pada pria sederhana macam Shafwan? Berawal dari pertemuan mereka yang penuh drama di rumah Sonya. Shafwan adalah guru dari keponakannya. Cinta yang bersemi, membuat Azkadina mengubah penampilan. Dia rela menutup kepalanya dengan selembar hijab, demi mendapatkan cinta dari Shafwan. Perempuan yang bukan tipe-nya itu membuat hidup Shafwa...