Blok 4-Erika
Semesta Erika
Bertahun lamanya kita tlah bersama
Menjalin hubungan
Mengukir semua kenangan
Kau selalu lukis senyum dibibirku
Usap air mata
Yang belum sempat terjatuh
Namun sekarang aku tersadar
Hubungan kita sudah tak sejalan
Kini apa yang harus ku lakukan
Jika engkau terus memilih untuk diam
Namun waktu telah lelah menunggu
Kini ku bimbang
Tuk bertahan atau lepaskan
Kumohon putuskan
Tuk bertahan atau lepaskan (Nabila Maharani-Bertahan atau Lepaskan).
Yak, kayaknya lagu itu representatif sama perasaan gue pagi ini. Gue bawain lagu ini secara instrumental bukan tanpa alasan. Alasannya ya itu tadi karena setan di hati gue dari tadi bisikin gue buat mengakhiri hubungan dengan dia.
Tapi ....
Masa gue setega itu, sih? Keluarga gue nggak pernah ajarin gue buat nyakitin orang. Yah meski keluarga gue sendiri berantakan, tapi mereka masih menanamkan nilai-nilai kebaikan ke gue dan Jefrey, adik gue semata wayang.
Tap tap tap
Telinga gue menangkap suara derap kaki. Gue noleh ke pintu. Jefrey berjalan masuk ke ruang tengah. Roman mukanya masih pias seperti semalam. Anak itu belum sembuh juga. Sehelai tisu penuh bekas ingus dia buang ke tempat sampah.
“Hey Jef, udah mendingan?” sapa gue hangat.
“Better than yesterday.” Dia menjawab serak. Suara khas orang lagi kena flu.
Gue tersenyum tipis. Dengan anggun gue letakkan biola putih di sofa dan berjalan mendekati dia. Gue gandeng tangan cowok 17 tahun itu. Sekali lagi gue ingetin dia buat ke rumah sakit lagi kalau flunya masih belum sembuh juga sampai besok.
“Iyaaa, Dokter Erika Venytha Wiguna. Kakak cerewetnya ngalahin dokter sungguhan,” timpal Jefrey seraya menjawil hidung bangir gue.
Gue tertawa kecil. Ah, Jef. Kalo aja dia sadar. Dialah satu-satunya anggota keluarga yang paling gue sayangi. Nggak ada anggota keluarga Wiguna lainnya yang dapat jatah rasa sayang gue selain dirinya.
Hati gue serasa udah mati. Perceraian Mama dan Papalah penyebabnya. Mereka cerai pas gue kelas 2 SMP dan Jefrey kelas 6 SD. Bayangin, dua anak yang belum dewasa harus menghadiri sidang perceraian ortunya. Hak asuh gue sama Jefrey memang jatuh ke tangan Papa. Itu pun setelah Papa berjuang mati-matian dan menggunakan bekal ilmunya sebagai pengacara. Tapi, sejak gue SMA, gue mutusin buat nggak tinggal sama siapa-siapa. Gue nggak mau milih salah satu dari orang tua gue. Mama udah nikah lagi dan Papa betah menduda. Jefrey pun ikut tinggal sama gue. Biasanya kami ketemu Papa dua minggu sekali. Mama baru bisa mengunjungi kami di akhir minggu.
Memang bener kata mendiang Grandma. Hidup itu hanya perkara saling melihat. Aini bilang gue beruntung karena solid banget sama Jefrey. Justru gue yang merasa Dewi Fortuna lebih senang nempelin Aini sebab ortunya nggak jadi cerai. Aini nggak tau asal-muasal kekompakan gue sama Jefrey karena kami sama-sama patah hati. Cuma anak kurang waras yang senang pas ortunya pisah.
Bel pintu berdering. Gue dan Jefrey berjalan ke ruang tamu. Begitu pintu terbuka ....
“Opa? Mama?”
Opa Willy dan Mama Rosie datang. Kami mundur, memberi mereka jalan. Tergesa Opa Willy menuju wastafel buat cuci tangan. Mama dengan gerakan cepat membuka tas dan mengeluarkan sebotol hand sanitizer. Barulah Opa dan Mama peluk kami setelah urusan cuci tangan selesai. Beginilah guys, kunjungan di masa pandemi. Ribet, nggak bisa langsung peluk.
“Ma, Jeff masih flu. Nggak takut ketularan?” ledek Jefrey saat Mama melepas pelukannya.
Bisa gue dengar suara tawa merdu Mama. Katanya, Mama nggak masalah kalau harus tertular. Yang penting bukan Covid-19.
Ngomong-ngomong soal Covid, gue jadi inget. Kemarin gue anter Jefrey berobat ke rumah sakit. Dokter pribadi kami lagi praktik di sana soalnya. Kelamaan kalau harus nunggu dia selesai. Pas kami lagi jalan ke ruang praktiknya, kami dicegat seorang suster. Oknum nakes itu tetiba nyaranin Jefrey buat tes darah. Dia malah nawarin uang 25 juta kalau hasilnya positif Corona. Gila, ketahuan banget itu modusnya. Adik gue pengen di-covid-kan sama dia biar dia juga dapat insentif tambahan.
Sayangnya, gue terlalu malu buat misuh-misuh di tempat umum. Justru Jefrey yang emosi. Dia bilang gue dan dia nggak butuh uang segitu. Kami bisa dapat dengan mudah uang 25 juta kalau kami mau.
“Apa kabar, Opa, Mama?” tanya gue basa-basi seraya meletakkan nampan berisi beberapa gelas teh Chamomile dan setoples kue.
“Baik. Cuma kangen sup rumput laut buatan cucu Opa yang cantik ini.” Opa Willy memberi kode. Pipi gue bersemu.
“Iya nih, Sayang. Makanya Opa ajak Mama ke sini begitu selesai tanda tangan berkas di kantor. Aduh, capeknya ya, ngurus aset Milyaran,” keluh Mama.
Nah, tuh kalian dengar sendiri. Gue sama Jefrey hidup lebih dari layak. Uang 25 juta yang diiming-imingi suster mata duitan nggak mempan.
“Ternyata perusahaan rokok masih bisa survive di tengah pandemi,” komentar Jefrey setelah menyeruput tehnya.
Opa Willy manggut-manggut. “Oh iya, jelas. Orang-orang gabut, stress, bosan di rumah. Larinya kemana? Selain ke camilan, ya rokok. Makanya perusahaan kita untung besar. Puji Tuhan.”
“Alhamdulillah. Udah CSR belum, Opa?”
Pertanyaan itu terlontar dari mulut Jefrey. Ya kali, gue peduli soal perusahaan. Gue malah muak sama pembicaraan bisnis. Rasanya itu bukan dunia gue. Obrolan tentang aroma susu, teh di pagi hari, atau puisi-puisi dan cerita prosa malah akan menarik hati.
Btw, kalian nggak usah heran kalau Opa Willy dan Jefrey memuja Tuhan dengan cara lain. Keluarga gue memang plural. Gue, Jefrey, Mama, dan Papa memeluk Islam. Sementara itu Opa Willy setia dengan jalannya sebagai saksi Kristus. Mama jadi mualaf sebelum menikah sama Papa. Otomatis gue dan Jefrey menganut Islam sejak lahir. Dan kami pun melakukannya tanpa paksaan. Kami nyaman dengan agama mayoritas di Indonesia ini.
Keluarga seagama nggak menjamin selalu harmonis. Buktinya Mama dan Papa gue cerai. Tapi keluarganya teman Mama gue di Rotary, keluarga Tante Yvonne yang beda agama, malah bertahan sampai lebih dari tiga puluh tahun. Kalau ingat perceraian, hati gue berdenyut sakit. Perpisahan orang tua membawa dampak besar ke gue dan Jefrey. Gue jadi anak introvert, fakir teman, dan minderan. Padahal kata orang-orang IQ gue tinggi dan gue cantik banget. Sejak hakim mensahkan kalau ortu kami bukan lagi suami-istri, Jefrey jadi gampang kena flu. Pernah juga dia kena rhinitis dan lama banget sembuhnya. Fyi, rhinitis itu peradangan atau iritasi di lapisan dalam hidung.
“Gimana kabar calon mantunya Mama?”
Pertanyaan plus tepukan halus Mama di pundak ngagetin gue. Gelagapan, gue tatap wanita yang udah ngelahirin gue itu. Kirain masih ngobrolin CSR. Taunya udah ganti topik aja.
“Eng ... enggak gimana-mana, Ma.” Gue menjawab gugup, sengaja menghindari pandangan mata Mama.
Tangan Mama terulur, membelai rambut cokelat gue. “Bener? Tapi kamu nggak berantem, ‘kan, sama Fritz?”
Gue menggeleng cepat. Tiga orang di kanan-kiri gue menghela napas lega.
“Syukurlah. Jadi aku nggak perlu balikin iPad sama baju Balenciaga yang udah dikasih Koh Fritz.”
Pengen rasanya gue cubit lengan si Jefrey. Yang dia pikirin baju sama gawai mulu. Fritz memang baik banget sama dia.
Gue tatap langit berkabut dari luar jendela. Untung mereka nggak bisa dengar suara hati orang. Kalau bisa, yang bakal mereka denger dari gue adalah keraguan. Gue meragukan Fritz, calon suami gue sendiri.
**
Empat tahun sudah gue kenal sama makhluk Tuhan yang sangat seksi bernama Fritz Wongsonegara. Dia cowok blasteran Tionghoa-Jerman, penampilannya glowing, stylish, dan baju favoritnya dari brand Balenciaga. Makanya jangan heran kalau dia jarang beli baju dalam setahun tapi sekalinya beli beberapa potong, harganya mahal. Ada yang bilang Fritz itu perpaduan Oppa Korea dan cowok bule. Munafik kalo gue bilang nggak suka sama dia pada pandangan pertama.
Alasan pertama gue suka sama Fritz itu ya karena dia enak dilihat. Sesederhana itu. Lama-kelamaan gue kenal kepribadiannya. Berawal dari kebersamaan kami di acara Gamelan Supra di sekolah. Kami juga dapat panti yang sama pas ekskursi. Ekskursi itu semacam magang buat anak kelas 12 di sekolah kami. Bukannya di kantor, magang ala anak sekolah kami dilakukan di panti asuhan, panti jompo, dan panti rehabilitasi anak berkebutuhan khusus. Program itu bagus banget buat menumbuhkan kepekaan sosial.
Saat itu, gue dan Fritz kebagian lokasi di panti Kasih Putih, rumah yang khusus merawat anak-anak spesial. Gue perhatiin Fritz sayang banget sama anak-anak di sana. Fritz yang paling rajin bantuin mereka kerjain PR, bawain mereka banyak hadiah, dan kasih mereka motivasi biar percaya diri. Wajar kalau anak-anak panti sedih di hari perpisahan.
Semenjak itulah gue makin kagum sama Fritz. Nggak hanya ganteng dari luar, hatinya pun tampan. Ekskursi membuat kami semakin dekat. Fritz sering ajakin gue jalan. Dia juga rajin ngapel ke rumah pas Satnight padahal kami nggak pacaran. Jefrey juga gampang akrab sama dia. Kata Fritz, Jefrey udah dia anggap kayak adik dia sendiri.
Keluarga Wongsonegara menyambut gue dengan tangan terbuka. Kalau Lebaran dan Natal, kami saling mengunjungi. Kebetulan Fritz dan gue sama-sama dari keluarga plural. Dan kami punya pilihan agama yang sama. Hal yang membedakan gue dan Fritz adalah watak dan urutan kelahiran. Gue anak sulung sedangkan dia anak tunggal. Gue nggak punya banyak temen, dia relasinya banyak. Dia juga pernah menyuntikkan motivasi ke gue.
“Kenapa harus minder, Erika? Lo, ‘kan, cantik,” katanya sepulang dari live-in di desa terpencil.
“Cantik apaan? Masa sih?” elak gue.
Fritz tertawa geli. Satu tangannya yang bebas mengacak rambut gue.
“Badan kayak model, rambut cokelat panjang, kulit putih ... kayak gitu masih merasa nggak cantik? Hello, banyak cewek yang iri sama lo.”
Hubungan gue makin dekat selepas lulus SMA. Waktu itu gue down banget karena nggak keterima SNMPTN. Anak-anak Magenta yang lain keterima kecuali gue. Fritz nenangin gue.
“Gue pengen sekampus lagi sama anak-anak Magenta, Fritz! Kalo perlu sekelas!” ratap gue sehari setelah pengumuman SNMPTN.
Jemari Fritz mendarat di rambut gue. Dia berjingkat, lalu mengecup ubun-ubun gue. Menciptakan desir aneh di dada.
“No worries. Lo masih punya kesempatan buat sekampus lagi sama Magenta. Ada SBMPTN sama jalur mandiri. Gue bantu lo belajar, oke?”
For God’s sake, gue tenaaang banget. Bunga harapan kembali bersemi. Gue siap untuk pertempuran selanjutnya. Berkat bantuan Fritz dan otak cerdas yang gue punya, akhirnya gue diterima lewat jalur SBMPTN. Persis sama jurusannya kayak anak Magenta. Kami berlima excited banget dan merayakannya seharian kala itu.
Dari awal, gue nggak banyak berharap sama Fritz. Gue pesimis kalo dia bakal menyukai gue lebih dari sekedar teman. Sadar dirilah, gue nggak kayak Gabriella yang punya banyak temen cowok. Gue juga nggak kayak Benita yang saking cantiknya sampai ditaksir makhluk halus. Gue pun bukan Marina yang bikin ayah angkatnya tergila-gila atau Aini yang menarik di mata banyak cowok karena sifat tomboynya. Apalah butiran debu ini dibandingin raksasa-raksasa nan cantik seperti mereka?
Pesimisme gue berbuah manis. Fritz malah pengen menjalin hubungan lebih serius sama gue. Kejadiannya berawal saat perkemahan akhir tahun lalu.
Kelas gue di kampus memang rada anti mainstream. Di tengah era new normal, mereka mau ngadain acara perkemahan. Siapa lagi kompornya kalo bukan si absurd Yuke. Dia menamai acaranya sebagai Persemi, atau Perkemahan Sehat di Era Pandemi. Nama acaranya bikin seisi grup WA ngakak.
“Persemi? Lo kira kita kayak anak Pramuka,” ledek Yune.
“Itu Persami, oon! Ini Persemi. Per-se-mi!”
Mau nggak mau gue salut juga. Yuke udah mengalami cobaan hidup yang lebih berat dari kebanyakan anak seumuran kami. Semangatnya tinggi banget. Dia dengan kebutaannya, justru menyemangati kami untuk beraktivitas dan melakukan kegiatan positif. Ide itu pun kami wujudkan demi mensuport teman kesayangan kami.
Fritz yang beda jurusan sama kami, ribut minta ikut. Semula kami menolak. Tapi dia terus membujuk. Akhirnya kami bolehin dia gabung setelah dia tawarin taman wisata milik keluarganya buat lokasi kemah. Dia juga yang menanggung biaya transportasi dan logistik selama Persemi.
Sepanjang perjalanan ke lokasi, Fritz nempel terus sama gue. Jadi nggak enak hati gue, apa lagi anak-anak Magenta udah mulai saling ledek. Walaupun lebih fokus ke gue, Fritz juga nggak lupa bantuin Yuke. Biar bagaimana pun Yuke butuh perhatian ekstra dari kami.
“Yuke, lo istirahat aja di tenda panitia. Biar yang lain yang kerja,” kata Fritz pengertian disambuti anggukan teman sekelas yang lain.
Kening Yuke berkerut. “Kok gitu? Trus gue bantu apaan dong?”
“Bantu doa aja,” ceplos Yune asal.
Fritz tertawa sambil menutup mulutnya. Diremasnya bahu Yuke lembut. Tingkah lakunya keliatan agak kemayu di mata gue.
“Lo nurut aja udah bantu. Soalnya kami bakal lebih tenang kalo lo aman.”
Alhasil Yuke beristirahat di tenda panitia. Sedangkan teman sekelas sibuk mendirikan tenda. Dari kejauhan, gue perhatiin Yuke merasa nggak nyaman. Pasti dia senewen karena dia leyeh-leyeh sementara semua temannya kerepotan. Gue minta izin sama yang lain buat temenin Yuke. Fritz malah titip keripik kentang dan minuman hangat buat dia.
“Hey Yuke, kedinginan nggak? Nih, ada coklat hangat dari Fritz. Ada keripik kentang juga. Gue bukain, ya.”
Jari-jari lentik gue bergerak membuka bungkus keripik kentang. Gue pegang tangan Yuke, gue taruh tangannya di atas gelas kertas berisi coklat hangat.
“Trims,” ujarnya pelan.
Bersama kami menikmati keripik kentang. Gue liat muka Yuke agak pucat. Pas ditanya, dia malah ngejawab.
“Gue justru sakit pas kalian perlakuin gue kayak gini. Seakan gue selemah itu.”
“Nggak gitu, Yuke. Kami ....”
Ucapan gue terpotong karena Fritz bersama panitia Persemi lainnya bermunculan. Lagi-lagi ekor mata gue menangkap gelagat hangat Fritz ke Yuke. Fritz elus rambut Yuke dan rangkul pundaknya.
“Gimana keadaan lo, Bro?”
“Gue baik-baik aja.” Yuke menjawab pertanyaan Fritz sambil tersenyum.
“Oke. Kalo ada yang sakit, bilang ya.”
Paginya, seisi perkemahan rusuh. Yuke demam. Kami semua panik. Yune yang paling ketakutan liat kondisi kembarannya. Gue inisiatif buat ke rumah Yuke, kasih tau Tante Laras kalo jagoannya sakit. Tapi kata Yune percuma. Tante Laras aja nggak ingat sama anaknya sendiri. Di situlah gue baru tau kalo si kembar lahir dari ibu penyintas keterbelakangan mental.
“Gue nggak apa-apa ... bener, gue cuma demam biasa aja. Nggak usah khawatir. Jangan pikirin gue,” lirih Yuke berulang-ulang. Dia terbaring lemah di tenda kecil yang ditempatinya bareng Yune.
Hampir semua cewek di situ nangis sesenggukan. Cuma Aini yang bertahan nggak nangis. Dia malah ngatain cewek-cewek sekelas alay karena nangisin orang demam. Haha, kena karma dia nanti. Gue tau kok beberapa bulan setelah Persemi malah dia yang perhatian banget sama Yuke.
Perlahan kekacauan mulai mereda. Yuke akhirnya dibawa ke rumah sakit sama kembarannya. Di sore kedua Persemi itulah Fritz ajak gue ngomong serius. Kami jalan-jalan di kebun teh. Lokasinya nggak begitu jauh dari bumi perkemahan.
Langit sore itu mendung. Kabut bergulung-gulung. Suhu turun drastis. Sweter tebal yang gue pakai nggak mampu menahan hawa dingin. Di luar dugaan, Fritz lepas blazernya. Dia pakaikan kain hangat nan wangi itu ke badan gue.
“Makasih Fritz,” kata gue canggung.
Dia senyum ke gue, manis banget. Tubuh gue menggelinjang.
Kedua kalinya gue dibuat terkejut. Tetiba Fritz menjatuhkan diri di pelukan gue. Dia berbisik parau.
“Erika, tolong ... plis tolongin gue,” mohonnya.
Gue tergeragap. Gue balas peluk dia. Sorot matanya seperti menyimpan luka.
“T-tolong apa, Fritz?”
“Tolong sembuhin gue.”
“Lo sakit? Gue bukan dokter.”
“Cuma lo yang bisa sembuhin gue, Erika. Tolong ....”
Sikap Fritz aneh banget. Dia sakit tapi malah minta tolong gue. Apa dia nggak salah orang?
“Oke. Coba cerita sama gue. Lo sakit apa?”
“Gue ... gue SSA.”
Sedetik. Tiga detik. Lima detik. Butuh berdetik-detik bagi gue untuk mencerna kenyataan pahit ini. Gue tau persis apa itu SSA. Gue sulit percaya kalo Fritz salah satu pengidapnya.
SSA itu semacam istilah pengganti untuk menyebut LGBT. SSA singkatan dari Same Sex Atraction. Belakangan gue tau kalau kasusnya Fritz dia menyukai sesama jenis. Cuma gue belum tahu seberapa tingkat keparahannya. Apa dia udah mencapai tahap mempunyai hubungan spesial dengan laki-laki atau sekedar suka? Cara paling ampuh menyembuhkan seorang homoseksual adalah jatuh cinta pada perempuan. Namun, teori tak seindah praktik. Ada penyintas homoseksual yang memiliki keinginan untuk hidup hetero, ada pula yang terlanjur nyaman dengan orientasi seksualnya. Tak sedikit pria gay yang menikah demi status sosial dan menutupi jati diri sepanjang hidupnya. Fritz ingin sembuh dari kelainannya.
“Kenapa?” tanya gue serak.
“Kenapa harus gue?”
“Cuma lo yang gue percaya, Erika. Cuma lo tempat berbagi, bersandar, dan tempat gue pulang sehabis berpetualang.”
Gue menggigit bibir. Berpetualang dengan komunitas gay maksudnya?
“Apa keluarga lo tau?”
“Nope.”
Dada gue serasa tertimpa bola basket. Gue adalah penjaga rahasia. Sama seperti Peter Petigrew yang menjaga rahasia Keluarga Potter. Dan rahasia yang gue jaga ini super besar.
“Help me, Erika.”
Nada memohon dalam suara Fritz bikin gue luluh. Air mata gue luruh. Kepala gue terangguk pelan. Demi Fritz, gue akan bantu sembuhin dia.
**
Anak-anak Magenta mengernyit. Keheranan liat bacaan gue dan Aini yang cukup serius. Biasanya Aini berkutat sama skenario film, sore ini pas kumpul geng dia malah sibuk baca tentang depresi dan PTSD. Gue sendiri sibuk baca tentang penanganan pengidap SSA.
“Eh buset, kalian kesambet apa sih baca ginian? Mau pindah jurusan ke Kedokteran, ya?” celetuk Gabriella.
Ruang tamu rumah Gabriella yang penuh pajangan kristal dipenuhi kikik tawa. Gabriella dan Marina puas banget ngetawain gue sama Aini. Sebal, Aini menimpuk Gabriella dengan buku psikologi yang cukup tebal dan berat.
“Diem lo! Ngetawain terus!” sentaknya marah.
“Lagian, lo ngapain akhir minggu gini baca buku psikologi! Lo juga, Erika. Udah punya calon seganteng Fritz masih tertarik gugling tentang pria gay. Masih kurang?”
Gue nggak menyahut. Mata gue bergulir cepat membaca jurnal ilmiah tentang orientasi seksual yang berbeda.
Gue mencatat langkah pertama. Jauhi Fritz dari pemicunya. Fix, Fritz harus dijauhin dari sesama laki-laki! Demi Fritz juga, gue rela masuk grup-grup LGBT di medsos. Di situ gue baca banyak kisah memilukan yang diposting istri para gay. Gue merinding. Apa kelak gue akan bernasib sama kayak gitu?
“Woiii! Lagi diajak ngobrol malah melamun!” Marina mengguncang pundak gue.
“Kenapa, Marina?” tanya gue gugup.
“Cuma gue sama Gabriella, ya, yang waras. Lo, Aini, sama Benita mendadak apatis.”
Gue berkerut kening. Benita kenapa? Oh iya, tuh matanya sayu.
“Lo ngantuk, Ben?” tebak gue spontan.
Benita tergamam. Mata sipitnya menyapu wajah-wajah kami.
“Enggak kok. Aku ... aku kangen Kak Zakaria,” desahnya lembut.
Kalimat terakhir itu bikin kami diam seribu bahasa. Ah, kalo dibandingin gue, kayaknya masalah Benita lebih pelik deh. Gue elus bahunya. Dia meluk gue. Tangisnya pecah.