Sejujurnya, Naga tidak ingin munafik dengan menolak tawaran dari Dimas tempo hari. Dia butuh pekerjaan, di usianya sekarang, seharusnya kondisi keuangannya sudah settle dan stabil. Namun, egonya memaksa untuk tidak menerima pekerjaan itu begitu saja. Anggap saja harga dirinya terluka dengan pengakuan Dimas. Apa menebus kesalahan memang selalu menjadi hal yang mudah untuk mereka, orang-orang kaya itu?
“Lu udah tahu siapa Dara sama Dimas, Ga?”
Siang ini, Naga nongkrong di depan minimarket tempat Dara bekerja dan janjian dengan Choky demi mendengar pendapat sahabatnya itu. Alih-alih menjawab pertanyaan Choky, begitu mendengar nama Dara disebut, Naga auto menoleh ke dalam minimarket. Tidak ada Dara yang biasanya berdiri di belakang meja kasir. Sejak dijemput oleh Dimas, Dara tidak lagi terlihat di minimarket maupun di tempat lain di sekitar rusun. Gadis itu seolah menghilang begitu saja seperti debu yang tertiup angin.
“Lihat ini deh, Ga.” Choky meletakkan ponselnya di meja, kemudian mendorongnya perlahan hingga ke hadapan Naga.
Sedikit malas, Naga mengambil ponsel itu dan melihat hal yang ingin ditunjukkan Choky. Ponsel itu menampilkan akun Instagram Dimas. Dengan cepat, Naga menggulir layar dan menemukan cukup banyak foto-foto Dara dan Dimas di sana. Pemuda itu menghela napas kasar sebelum mengembalikan ponsel di tangannya pada Choky.
“Gue kirimin link akunnya, bentar.” Choky menekuri ponsel sebentar, kemudian bunyi pemberitahuan singkat membuat Naga menoleh sekilas ke arah ponselnya yang tergeletak begitu saja di atas meja. “Ada akunnya Dara juga, tapi gembokan.”
Naga kembali menghela napas. Dia bukannya tidak tahu Dara dan Dimas memiliki hubungan spesial. Semua gerak-gerik dan cara mereka berinteraksi menggambarkan dengan sangat jelas betapa dekatnya hubungan mereka. Naga juga merasa dirinya tidak berhak cemburu. Sejak awal, Dara sudah terang-terangan menolaknya. Naga saja yang memang tidak tahu diri.
“Lo masih yakin kalau Dara itu cuma Mbak-Mbak kasir anaknya temen bapak lo?”
“Maksud lo?” Sebenarnya, sudah sejak beberapa hari lalu Naga curiga. Choky terlihat jelas tengah menyembunyikan sesuatu. Dia mengetahui sesuatu yang tidak Naga ketahui, tetapi tidak berniat memberi tahu.
“Lo pernah mikir nggak, gimana bisa dia kenal sama Dimas?” Choky meletakkan ponsel di atas meja, kemudian mencondongkan tubuhnya lebih dekat pada Naga. “Dimas ini CEO, lho. Kalau Dara orang biasa kayak kita, gimana mungkin dia bisa punya circle yang bikin ketemu sama Dimas?”
Naga menghela napas panjang. Tangannya kemudian terangkat untuk memijat bagian tengah dahinya yang tiba-tiba berdenyut kencang. Jika dia menuruti Choky dan memikirkan semua perkataannya barusan, bisa-bisa kepalanya akan sungguhan meledak dalam waktu dekat. Beruntung Ayu datang tepat di saat Choky hendak mengajukan pertanyaan lain.
Gadis itu datang tergopoh-gopoh. Napasnya tersengal. Dengan serampangan, Ayu menenggak soda milik Naga yang tinggal setengah botol. Begitu sodanya tandas, Ayu segera mengempaskan tubuhnya di kursi di antara Naga dan Choky.
“Lo kayak Mbak-Mbak yang mangkal di Angke terus kena razia Satpol PP,” seloroh Choky asal. Selorohan itu jelas langsung berbalas pukulan keras dari Ayu.
“Lo kalau ngomong di-filter dikit bisa kali, Bang.” Ayu melirik sinis ke arah sepupunya, sebelum kemudian mengalihkan pandangan ke arah Naga. “Untung gue lagi dalam mode sabar dan buru-buru.”
Naga menatap Ayu yang masih mendumel di hadapannya. Perasaan canggungnya tempo hari belum juga lenyap. Sekarang, di matanya, Ayu berubah menjadi perempuan dewasa yang diam-diam memiliki magnet yang memikat. Naga menggeleng. Sekarang bukan saatnya memikirkan cinta atau hal-hal absurd seperti itu. Melihat Dara dan Dimas membuat Naga seperti ditampar oleh kenyataan yang menyakitkan. Pemuda itu tidak tahu siapa Dara sebenarnya. Namun, melihat spesifikasi laki-laki idaman Dara yang levelnya jauh di atas Naga, pemuda itu merasa dirinya tidak pantas untuk perempuan mana pun. Dara yang kasir saja seleranya CEO, apalagi gadis sekelas Ayu.
“Ga?”
“Hm?”
“Lo nggak punya riwayat penyakit jantung, kan?”
“Hah?” Ragu-ragu Naga menggeleng. Selama ini dia dan keluarganya tidak pernah memeriksakan kesehatan hingga sedalam itu. Alasannya menggeleng lebih karena dia tidak tahu, bukan pasti tidak punya.
“Good!” Ayu lantas mengeluarkan sebuah amplop panjang dari dalam ranselnya, dengan senyum mengembang, gadis itu menyodorkan amplop di tangannya kepada Naga.
“Apa nih?”
“Buka aja.”
Tanpa menunggu diperintah dua kali, Naga segera membuka amplop itu. Choky beringsut dan berpindah duduk di kursi dekat dengan Naga supaya bisa ikut melihat isi amplop yang tengah dibuka sahabatnya itu.
Naga mengulang membaca tulisan di kertas itu hingga tiga kali. Semua kata-kata di dalamnya bisa dia pahami artinya. Namun, pemuda itu masih kesulitan mencerna maksud dari semua ini.
“Kita bakal rekaman?” Choky yang pertama kali berseru heboh. “Kita bakalan officially debut, as a band?”
“Lu lebay amat sih, Bang?” sahut Ayu sinis. “Bukannya udah ketebak, ya? Selama ini mereka selalu nerima lagu-lagu kiriman kita dengan senang hati. Suara Naga juga nggak jelek-jelek amat pas nyanyiin demo yang kemarin gue kirim. Kalau mereka nolak, bukannya malah kelihatan aneh, ya?”
Senyum Choky melebar. Namun, tidak berlangsung lama. Pemuda itu segera menegakkan tubuh dan menghadap Naga yang masih terbengong-bengong. “Bentar. Gue terlalu seneng sampe lupa beberapa hal. Gue akhirnya diterima jadi desainer in house setelah bertahun-tahun nge-freelance. Elo, Ga, ditawarin kerjaan yang udah lama lo impikan di Palette. Belum lagi Ayu yang lagi skripsian. Kalian yakin bisa?”
“Tunggu, Palette?” Setengah berteriak, Ayu bertanya tepat di hadapan Naga.
“Gue belum mutusin bakal nerima kerjaan dari sana atau enggak, Yu.” Naga tidak berbohong. Dia memang belum membuat keputusan. Karena itulah hari ini dia janjian dengan Choky—dan Ayu sebenarnya—untuk meminta pendapat mereka.
“Nggak. Gue nggak setuju kalau lo nerima kerjaan dari sana. Enak aja, udah nyuri ide orang, sekarang sok-sok nawarin kerjaan. Buat apa emang? Mereka baru sadar kalau melakukan kesalahan? Basi!”
Naga menghela napas. Baru saja dia akan berbicara, Choky sudah menyela. “Bukan Palette yang salah, tapi Bintang. Dan si Kunyuk ini sebenernya.”
“Lah, kok gue?” Dengan heran, Naga mengarahkan telunjuknya ke muka.
“Kalau lo bisa sekaliii... aja bilang enggak sama orang yang sok butuh bantuan kayak Bintang, pasti semua ini nggak akan jadi panjang. Lo nggak akan ngerasa dikhianati sama Bintang. Lo juga nggak akan ngerasa ditusuk dari belakang sama Palette. Faktanya, presentasi lo waktu itu emang membosankan, nggak menarik sama sekali, makanya mereka nolak lo.”
“Ya tetep aja dong,” sahut Ayu. “Harusnya mereka cross check dulu soal ide yang masuk itu. Jangan asal ACC aja.”
Choky terkekeh. “Mereka tuh perusahaan, Yu. Yang mereka butuhkan cuma ide segar yang dikemas dengan presentasi yang menarik dan meyakinkan. Bintang bisa melakukan itu, mengemas ide Naga yang nggak seberapa bagus itu jadi lebih menarik.”
Naga kembali menghela napas, tidak menemukan kata yang tepat untuk membalas Choky. Semua yang diucapkan pemuda berambut keriting itu adalah fakta yang sayangnya sulit Naga terima selama ini. Dirinya dan Bintang sudah sepakat untuk melupakan insiden ini. Gadis itu merasa bersalah karena memanfaatkan Naga dan mencuri idenya. Tepat saat Bintang merasa bersalah, dia datang menemui Naga dan meminta maaf untuk semua kesalahannya. Bintang bahkan tidak menerima kontrak sebagai pegawai tetap di Palette dan memilih mengajukan lamaran ke perusahaan lain.
Sayangnya, ide yang sudah telanjur di-ACC oleh pihak Palette tidak bisa ditarik. Naga yang sebenarnya sudah ikhlas memaafkan Bintang, kembali meradang saat Palette merilis sepatu tie dye yang sama dengan yang dipresentasikannya. Naga marah karena Bintang menghilang, mengganti nomor kontak, dan terlihat tidak memiliki itikad baik untuk menjelaskan pada perusahaan bahwa idenya itu adalah hasil curian. Naga marah karena Bintang bisa melanjutkan hidupnya tanpa dibebani perasaan bersalah, sementara dirinya diliputi perasaan rendah diri dan insecure yang makin lama justru semakin besar.
“Bisa nggak, lo kasih gue waktu buat mikirin tawaran ini, Yu?”
Choky dan Ayu seketika menghentikan perdebatan mereka. Pemuda itu menyandarkan punggungnya setelah menelan kembali beberapa kata yang sempat ingin terucap. Sementara Ayu, berdeham sebentar sebelum menjawab pertanyaan Naga.
“Bukan gue yang nawarin lu kerjaan ini. Tapi gue bisa nego sama Trinity dan bilang kalau lo, sebagai leader Nokturnal, masih pengin mempertimbangkan beberapa hal.”
Naga tersenyum. “Makasih, Yu.”
“Iya, tapi jangan lama-lama.” Ayu mengembuskan napas pelan. “Dan jangan tiba-tiba berubah pikiran dengan nerima tawaran dari Palette,” lanjutnya lirih.
“Gue akan pertimbangkan dengan baik dan milih yang paling realistis buat kita ke depannya. Nokturnal bukan cuma punya gue. Ada lo dan Choky yang mesti gue pikirin juga.”
Ayu sudah hendak mendebat, tetapi dering ponsel Naga membuatnya kembali menutup mulut.
“Ngapain Ibu nelepon gue jam segini? Nggak biasa-biasanya?” Naga mengernyit. Meski terheran-heran, pemuda itu tetap menerima panggilan ibunya dengan suara lembut. “Kenapa, Bu?”
Panggilan itu tidak berlangsung lama. Ekspresi Naga berubah panik. Tiba-tiba wajahnya seperti tidak teraliri darah, pucat dan berkeringat.
“Bapak gue....”
Nggak ada notifnya
Comment on chapter TWICE