Dara merasa, bertanya langsung pada Naga saat ini tidak akan ada gunanya. Pemuda itu pasti menolak memberi Dara jawaban, apa pun pertanyaan yang akan disampaikannya nanti. Apalagi jika pertanyaan itu menyangkut Palette. Siapa memangnya yang mau menanggapi jika ada orang yang ingin mengorek-ngorek luka lamanya? Karena itu, Dara memilih menemui Choky diam-diam.
Berbekal kesabaran, Dara menunggu Naga dan Choky berpisah. Sesuai kebiasaan mereka, setelah nongkrong sebentar di teras minimarket, Naga dan Choky akan pulang ke rumah masing-masing. Jika Dara beruntung, dia tidak perlu bertemu dengan Ayu. Sepanjang pengamatannya, gadis yang selalu berada di antara Naga dan Choky itu akan selalu memaksa mengantar Naga pulang. Meski Naga sudah menolak, Ayu selalu berhasil membuat kedua pemuda itu menuruti keinginannya.
Hari ini hanya ada Naga dan Choky yang terlihat membicarakan sesuatu dengan serius. Tidak ada rokok di antara mereka, hanya satu cup kopi instan yang diseduh di dalam minimarket. Dara ingin sekali mengetahui pembicaraan keduanya, tetapi dia tidak mungkin sengaja menguping. Dara hanya harus bersabar di belakang mesin kasir hingga akhirnya dia melihat Naga beranjak dari duduknya.
Melihat Naga berjalan menjauh dari minimarket, Dara segera meminta salah satu rekan untuk menggantikan tugasnya. Sementara itu, dia lekas keluar tepat di saat Choky berdiri dan akan pergi.
“Choky!”
Pemuda itu menatap Dara heran, telunjuknya mengarah hingga menyentuh hidung. “Lo manggil gue, Mbak?”
“Emang ada siapa lagi selain lo di situ?” Dara meminta Choky untuk kembali duduk, sementara dia juga duduk di kursi tepat berhadapan dengan Choky. “Gue cuma mau nanya beberapa hal.”
“Woah, tentang Naga?” tebak Choky. “Tuh bocah pasti seneng kalau tahu Mbak Dara nanya-nanya tentang dia.”
Dara mengabaikan kalimat terakhir Choky dan memilih untuk mengeluarkan sebuah pas foto dari sakunya. “Kenal sama cewek ini nggak?”
Choky mengambil foto yang diletakkan Dara di tengah meja tersebut, kemudian mengamati sejenak. “Dari mana lo kenal sama dia?”
“Pertanyaan gue bukan buat dibalas sama pertanyaan lain. Jawab aja dulu, kalian kenal nggak sama dia?”
“Gue sih enggak terlalu kenal, tapi Naga kenal baik sama dia.” Choky meletakkan kembali foto itu di meja, kemudian mendesah. “Tolong jangan kasih lihat foto cewek ini ke Naga.”
“Kenapa emangnya?” Dara mengernyit. Ada hubungan apa memangnya Bintang dengan Naga? “Dia mantannya Naga?” tebak gadis itu.
Pemuda di hadapannya menggeleng. “Boro-boro pacaran, zaman kuliah, yang Naga kenal tuh cuma belajar dan belajar. Makanya dia bisa lulus cepet dengan nilai bagus. Tadinya dia pikir nilai itu bisa bikin dia dapat pekerjaan bagus. Nyatanya sampai hari ini, nilai itu cuma jadi angka nggak berguna buat Naga.”
“Kalau emang mereka nggak ada hubungan, kenapa Naga nggak boleh lihat foto ini?” Nada bicara Dara terdengar begitu mendesak. Saat melihat kerutan di dahi Choky, Dara buru-buru meralat kalimatnya. “Maksud gue, semua hal pasti ada alasannya, kan?”
“Gue akan jawab pertanyaan lo, tapi abis itu lo juga harus kasih tahu gue dari mana lo kenal sama cewek ini.”
“Tergantung jawaban lo.” Choky kembali mengernyit sebelum Dara melanjutkan, “kalau lo bisa kasih gue jawaban jelas dan sesuai sama ekspektasi, gue bakal kasih tahu di mana gue kenal dia.”
Choky tampak berpikir. Cukup lama hingga membuat Dara kembali membuka suara.
“Jawaban lo menentukan masa depan Naga.”
“Apa cewek ini bikin ulah lagi?”
“Bikin ulah lagi?” ulang Dara. Gadis itu tahu Choky tidak sengaja mengatakannya, entah terpancing atau keceplosan. “Emang dulu dia bikin ulah apa?”
**
Dara masih tidak bisa memercayai cerita yang didengarnya dari Choky siang tadi. Bagaimana mungkin anak semanis Bintang bisa dengan sengaja memanfaatkan kakak tingkat demi kepentingan pribadinya? Dara juga tidak ingin membayangkan bagaimana hancurnya Naga ketika tahu idenya dicuri seperti itu. Sungguh. Naga yang tengil di mata Dara, tidak akan cocok dengan ekspresi terluka dalam bayangan gadis itu.
“Naga tuh casing-nya doang yang tengil, Mbak.” Dara masih mengingat tiap kata yang diucapkan Choky tadi. “Aslinya dia cowok paling lembut yang pernah gue kenal. Kadang, gue sampe merinding lihat kebaikan dia tuh.”
Menurut Choky, Naga tidak pernah bisa berkata ‘tidak’ pada orang yang meminta bantuan padany, termasuk pada Bintang. Choky sendiri bahkan tidak menyangka Bintang bisa melakukan itu pada Naga.
“Mereka dekat karena pernah satu project bareng, project buat kampus gitu, deh. Naga sama Bintang dikirim buat pameran seni rupa mewakili fakultas kami. Tapi pas gue tanya, Naga ngakunya nggak punya perasaan lebih sama si Bintang. Ya murni kayak kakak tingkat ke adik tingkatnya aja. Cuman nih, di mata gue yang orang luar, perlakuan Naga tuh berpotensi bikin Bintang salah paham.”
“Salah paham gimana?”
“Ya lo bayangin aja, kira-kira cewek bakalan baper nggak kalau ada cowok yang selalu bilang ‘iya’ dan nurutin permintaan cewek itu?”
“Kalau gue ceweknya sih ya nggak bakal baper, ilfil yang ada.” Kalau dipikir-pikir, selama ini, itulah yang selalu dilakukan Naga padanya. Bedanya, pada Dara, Naga selalu terang-terangan mengatakan perasaan sukanya.
Jawaban Dara tadi sukses membuat Choky tertegun beberapa saat. Pemuda itu seakan mendapat pencerahan. “Kalau gitu, bisa jadi si Bintang juga aslinya ilfil sama perlakuan Naga, terus manfaatin Naga kayak gitu.”
“Gini ya, Chok. Cewek tuh, kalau suka ya suka, kalau enggak ya enggak. Mau cowoknya model kayak apa kalau suka ya suka aja. Menurut gue, antara Naga sama Bintang tuh mungkin aja punya perasaan, tapi mereka nggak nyadar. Nah, kalau soal manfaatin, menurut gue sih bukan karena ilfil, ya. Let me judge her, Bintangnya aja yang nggak tahu diri, kayaknya.”
“Kok kayaknya, dari cara lo ngomong, lo kesel banget sama si Bintang? Cemburu lo, Mbak?” Dara kesal sekali mendengar tawa penuh ejekan dari Choky tadi.
“Mata lo, cemburu.” Dengan kesal Dara menendang kaki meja bulat di depannya. “Gue sama sekali nggak punya perasaan suka sama Naga, ya. Gue cuma kasihan.”
“Wah, parah lo, Mbak. Kalau Naga tahu dia dikasihani sama lo, bisa ngamuk tuh anak.” Choky tidak berhenti ketawa, meski Dara sudah menatapnya dengan sinis. “Btw, Mbak, sekarang gantian lo yang harus jawab pertanyaan gue tadi.”
“Pertanyaan yang mana?”
“Dari mana lo kenal Bintang?”
Dara sudah berusaha tenang dan tidak menunjukkan ekspresi terkejutnya. Namun, usahanya tidak membuahkan hasil yang cukup baik.
“Lo siapa sebenernya? Apa tujuan lo ngedeketin Naga?”
Gadis itu masih gelagapan, sehingga tidak mampu menjawab pertanyaan demi pertanyaan beruntun yang dilontarkan Choky. Hingga sore ini, Dara masih tidak habis pikir dirinya mampu kehilangan kemampuan public speaking-nya begitu saja di depan Choky.
“Jangan-jangan lo ada hubungannya sama Palette?”
Bagaimana mungkin Choky bisa menebak setepat itu?
“Mbak, gue nggak peduli siapa lo sebenernya dan apa niat lo. Tapi, kalau lo sampe bikin temen gue sakit hati, gue pastiin lo nggak bakal bisa deket-deket lagi sama Naga atau pun keluarganya.”
“Gue lakuin semua ini demi kebaikan Naga dan keluarganya.” Dara terkekeh. Dia memang tak harus menjelaskan dirinya sendiri pada orang lain. Choky hanya perlu tahu niatnya. Kalau pemuda itu bisa menebak dengan tepat siapa sebenarnya Dara, tentu saja akan menjadi bonus yang bagus. Hanya saja, bonus itu tidak pernah didapatkan oleh Choky karena Dara memutuskan untuk terus membungkam mulutnya.
Nggak ada notifnya
Comment on chapter TWICE