“Sori, Ga. Kali ini gue juga nggak bisa.”
“Tapi kenapa, Ra?”
“Salah satunya yang barusan. Gue lebih tua, tapi lo seenaknya manggil nama aja. Sejak pertama kali kenal setahun lalu juga lo nggak pernah manggil gue ‘Kak’. Gue nggak suka cowok yang seenaknya.”
“Jadi kalau gue manggil lo ‘Kak’, lo mau terima gue?”
“Gue juga nggak suka cowok pemaksa.”
Naga mengusap wajah pelan. Sialan, umpatnya. Baru bangun tidur saja wajah dan kalimat penolakan Dara sudah langsung terngiang kembali di telinganya. Dua kali gadis itu menolaknya. Seharusnya Naga sadar sejak pertama Dara mengatakan tidak menyukai laki-laki yang lebih muda darinya.
Kenapa, sih, cewek selalu meributkan masalah umur? Naga bahkan tidak merasa lebih muda dari gadis itu. Dalam beberapa hal, Dara jauh lebih kekanakan daripada dirinya. Oh, ayolah. Setahun mengenalnya cukup membuat Naga mengerti bagaimana keseharian gadis itu.
Sejak pertama bertemu, Naga sudah langsung jatuh hati pada sosok kasir yang penampilannya selalu unik meski dalam balutan seragam minimarket berwarna biru muda. Dara seolah-olah memiliki sense of fashion yang tinggi. Gayanya tidak seperti golongan menengah yang biasa bergaul dengan Naga. Yaelah, apa sih yang diharapkan dari penampilan anak-anak rusun, tuh? Bahkan kalau Naga mau, dia bisa jadi fashion consultant buat anak-anak itu.
Naga terkikik membayangkan dirinya jadi konsultan fesyen. Siapa memang yang akan membayarnya untuk itu? Oh, bukan. Tepatnya, buat apa dia melakukan itu? Lebih baik dia mencari cara untuk meluluhkan hati Dara.
Pemuda itu lantas bangkit dan duduk bersandar di kepala ranjangnya yang tidak terlalu besar. Pukul 06.30, dia menghela napas sambil mematikan layar ponsel. Kepalanya kemudian memikirkan cara apa yang belum dia lakukan untuk membuat Dara jatuh cinta padanya.
Bunga, cokelat, barang-barang mahal? Tidak. Dara bukan tipe gadis seperti itu. Naga sebenarnya cukup memberinya perhatian segunung, lalu Dara akan jatuh dengan sendirinya.
Nyatanya, apa yang selama ini dia pikir mudah, tidak pernah semudah itu. Dara juga tidak butuh perhatiannya! Lalu apa? Membuatkannya lagu?
Astaga, kenapa dia baru ingat keahliannya yang satu itu? Terburu, pemuda itu kembali menyalakan ponsel dan menelepon sebuah nama. Ayu.
“Tumben banget lo udah bangun jam segini,” sambut Ayu begitu telepon tersambung. “Gue tahu lo butuh sesuatu kalau nelepon gue pagi-pagi gini.”
Naga tidak bisa mengelak. Dia memang membutuhkan alat-alat compossing yang biasa dipakai band mereka untuk memproduksi lagu. Ayu adalah yang paling kaya dan paling didukung dalam band mereka. Orang tua Ayu bahkan tidak keberatan membelikan alat-alat mahal itu saat Ayu bilang mereka akan memproduksi lagu mereka sendiri. Untuk ukuran band indie, sebenarnya mereka cukup terkenal.
“Free jam berapa?” tanya Naga akhirnya. Bicara dengan Ayu memang harus langsung pada intinya. Sebagai mahasiswa tingkat akhir, Ayu memang cukup sibuk.
“Jam sepuluh? Mau ketemu?”
“Hm, ntar kabari aja kalau udah longgar.”
“Iye, beres. Jangan lupa mandi. Gue nggak mau ketemu sama cowok dekil.”
Naga tertawa. “Enak aja. Biar nggak mandi juga gue tetep ganteng. Lu samain sama Choky yang demen ngegembel.”
“Idih, najis.”
Tak menghiraukan umpatan Ayu di akhir sambungan telepon mereka, Naga mengulum senyum. “Masa dia nggak klepek-klepek kalau gue bikinin lagu?”
Naga senang karena paginya dimulai dengan ceria, meski dia baru ditolak. Menemukan cara untuk membuat Dara jatuh cinta, membuat semangat Naga meluap-luap. Pemuda itu bergegas keluar kamar, menarik handuk dari gantungan di belakang pintu, berniat untuk mandi. Namun, langkahnya terhenti tepat saat pintu kamarnya tertutup kembali.
Kamarnya memang bersebelahan dengan kamar mandi. Yang membuatnya mematung di depan pintu adalah seseorang yang baru saja keluar dari kamar mandi. Orang itu membelalakkan mata, terlihat jauh lebih terkejut dibanding Naga.
“ELO?”
Naga tersadar saat mendengar seruan dari mulutnya yang bersamaan dengan teriakan dari gadis yang hanya memakai bathrobe hijau muda di hadapannya. Buru-buru Naga kembali masuk ke kamar, berusaha meredakan detak jantungnya yang tiba-tiba menggila. Pemuda itu mengangkat tangan hingga menyentuh dada.
DARA. ADA. DI RUMAHNYA. SEPAGI INI. BARU SAJA MANDI.
**
Naga tidak pernah sarapan bersama orang tuanya nyaris sejak sepuluh tahun yang lalu. Bapaknya sudah berangkat bekerja saat dia belum bangun. Ibunya kadang akan terburu-buru berangkat saat Naga masih bersiap untuk sarapan. Meski begitu, Naga tidak pernah merasa kehilangan sosok mereka selama ini. Karena Bapak akan menyempatkan pulang untuk makan siang. Begitu pula Ibu.
Bapak sudah lebih dari dua puluh tahun menjadi sopir pribadi, hingga lima tahun lalu memutuskan untuk berhenti bekerja dan membuka sebuah warung nasi di dekat terminal. Warung nasi mereka ramai setiap saat. Saat masih kuliah, Naga sering mampir untuk makan siang, tetapi tidak pernah datang untuk membantu. Lagi pula, bantuan apa yang bisa dia berikan? Cuci piring? Jangankan mencuci banyak peralatan makan, mencuci piring bekas makannya sendiri saja Naga malas. Bikin kopi? Naga sangat yakin pelanggan warung ibunya tidak akan menyukai anak laki-laki yang membuatkan mereka kopi.
Sarapan pagi ini terasa berbeda. Agak terlalu pagi untuk Naga, dengan anggota keluarga lengkap, ditambah satu orang asing. Naga tak berhenti bertanya-tanya dalam hati, dari mana Bapak atau Ibu kenal sama Dara? Apa ini semacam sinyal bahwa sebenarnya mereka berdua berjodoh? Astaga, jika itu benar, seharusnya Naga tidak perlu bersusah payah membuat Dara jatuh cinta. Pemuda itu hanya harus bersikap manis selama di rumah dan tidak membiarkan Dara melihat sisi lain dari dirinya.
Bapak berdeham, meminta perhatian ketika semua orang sudah selesai sarapan. Pantes, nasi uduk Ibu selalu laris tiap pagi dan jadi idola orang serusun, enak gini, Naga masih sempat-sempatnya membatin saat Bapak sudah mau bicara.
“Jadi, Naga, ini Mbak Dara. Anak temennya Bapak dari kampung. Udah setahun di Jakarta, kerja jadi kasir di minimarket situ.”
Kampung? Emang kampung Bapak di mana? Kenapa gue nggak pernah diajak pulang kampung?
“Semalam dia terpaksa keluar dari kosannya karena belum bisa bayar selama tiga bulan ini. Jadi, Bapak ajakin dia tinggal di sini untuk sementara.”
Naga melirik Dara yang tertunduk. Kakinya berusaha menendang kaki Dara. Kena. Gadis itu menoleh cepat padanya sambil memelotot. Naga menyeringai. Tanpa suara pemuda itu bertanya, “Seriusan belum bayar kos?”
Dara hanya mengedik, lalu kembali menunduk. Naga menjulurkan kakinya lagi hingga mengenai ujung sepatu Dara. Di luar dugaan, gadis itu malah menginjak kaki Naga dengan keras. Pemuda itu mendesis. Sebenarnya dia ingin berteriak, sumpah, injakan sepatu Dara benar-benar membuat kakinya sakit. Bayangkan saja, kaki telanjang versus sol running shoes yang keras dan tebal.
Bapak dan Ibu berpandangan, lalu berdeham bersamaan. “Jadi kalian udah saling kenal?”
Nggak ada notifnya
Comment on chapter TWICE