Pohon tabebuya masih gundul dan menyisakan tetesan hujan di setiap ujung rantingnya. Aku tidak ingin memercayai mataku sendiri. Tapi, Aslan berdiri di seberang kantorku seraya terpekur memandangi lukisan-lukisan yang dipajang penjualnya di pinggir jalan.
*
Hari itu mungkin dia terkejut saat mendapatiku berpakaian feminin, baju terusan kotak-kotak warna plum-putih. Entah mengapa, sudah lama aku merasa kehilangan diriku di balik balutan kemeja flannel, jins pudar, dan tas ransel yang dipenuhi pin yang selama ini aku kenakan. Sementara selama ini dia masih terlihat sama, yang berbeda hanyalah rautnya yang beriak-riak. Telaga yang tenang itu kini terlihat goyah.
“Kamu sudah berteman dengannya? Itu hal yang bagus.”
Aku dan Aslan duduk di seberang Gedung Sate sambil memandang Aksi Kamisan. Aku kembali melihat orang-orang berpayung hitam itu berjajar dengan bisu, diiringi oleh orasi, pembacaan puisi, dan aksi teatrikal lainnya yang magis, menyakitkan, namun terasa indah. Mereka dan kami mungkin tidak akan mudah memaafkan apa yang sejarah perbuat.
“Not really. Kenapa kamu kelihatan berambisi supaya aku berteman dengannya?” tanyaku kemudian.
Dia menghela nafas panjang. “Kamu pasti sudah mendengar cerita tentang kami. Sebentar lagi ayah saya dan ibunya Nirvana akan menikah. Secara teknis, status kami akan berubah. Dia akan menjadi adik saya,” terangnya.
Aku menatapnya dengan sebersit senyum tanpa arti. Aku masih terkejut saat mendengar hal itu untuk yang kedua kalinya. Kuharap ia tidak melihat keterkejutan itu dalam wajah maupun gelagatku.
“You still lover her, don’t you?” gumamku datar.
Dia menggeleng dan menatapku dalam diam. Sejenak, kulihat sebuah wajah yang luka. Wajah yang jujur, naif, dan dipenuhi dengan ragu. Itu adalah ekspresi yang mudah untuk dibaca dari seorang pria yang berkorban demi kebahagiaan ayahnya sendiri. Aku kemudian berkata, “Aku mengerti, Aslan. Posisimu itu sulit.”
Dia menatapku sejenak, kemudian kembali melemparkan pandangan pada lalu lalang kendaraan di hadapan kami.
“Kenapa itu bisa terjadi?”
“Ayah saya berjumpa dengan Ezme di SMA. Mereka sama-sama anggota Partha, mencintai kebebasan, dan sama-sama pujangga. Yang saya ketahui, mereka sudah bersahabat sejak dulu. Bahkan, mereka berdua pernah mendaki Mahameru bersama-sama dengan kawan mereka yang lain. Kamu pasti mengerti, Len, itu adalah jenis-jenis cinta yang tak mampu untuk terucap. Ujung-ujungnya, ayah saya tidur dengan wanita yang melahirkan saya, dia meninggal. Kemudian ayah saya menyesali semuanya saat mengetahui Ezme menikah dengan mantan suaminya. Itu semua tersimpan selama bertahun-tahun. Bahkan ayah saya berani ambil risiko dengan kondisi fisik Ezme yang sudah tidak sempurna. Cinta itu buta,” ceritanya dengan lugas dan gamblang seolah-olah kami telah saling mengenal selama bertahun-tahun.
Dia belum tau seberapa dalam cinta Pak Shaheer untuk Ibu Ezme.
“Apa kamu sudah berbincang dengan ayahmu soal perasaanmu tentang hal ini?”
Dia mengangguk.
“Apa katanya?”
“Ayah saya sangat mencintai Ezme. I just want him to be happy.”
“Apa itu artinya kamu nggak benar-benar mencintai Nirvana?” tanyaku lagi. Dalam hati aku berpikir bahwa ini karma untuk Nirvana. Ternyata ibunya, Ezme, tidak sungguh-sungguh mencintai Pak Shaheer.
Dia menghela nafas dalam-dalam. “Saya nggak tahu apa yang telah Nirvana katakan padamu soal saya atau yang kamu dapatkan dari orang lain. Tapi, yang jelas, dibandingkan dengan kebahagiaan saya sendiri, kebahagiaan bagi ayah saya jauh lebih penting sekarang. Hidup saya masih panjang. Saya juga masih harus melakukan banyak hal untuk diri saya sendiri maupun untuk orang lain. Saya hanya nggak mau menjadi manusia yang egois di mata orang lain. Dan kehidupan ini dipenuhi oleh konsekuensi, bukan? Bisa jadi untuk mendapatkan satu kebahagiaan, saya harus melepaskan kebahagiaan saya yang lain.”
“Bagaimana jika nggak ada bahagia yang benar-benar kamu dapatkan?”
Dia terdiam, enggan menjawab.
“Terus, apa maksudnya kamu mendengarkan keluhan-keluhanku tentang keluargaku, bersikap manis, mengantarku ke Pangalengan untuk bertemu ibuku?”
“Len, memangnya apa yang kamu rasakan?” tanyanya balik.
Aku mendengus kesal dengan keadaan. “Oke-oke,” ujarku kemudian dengan penuh kesabaran. “Apapun prinsip yang kamu anut, aku cuma harap itu dapat membuatmu merasa jauh lebih baik.”
Kami kembali menatap jajaran payung hitam itu. Seseorang berkata di seberang sana dengan menggunakan toa: Saya bukan seorang pembebas. Pembebas itu tidak ada. Orang-oranglah yang membebaskan diri mereka sendiri.
“Che Guevara,” gumamku. Aslan tampak terkejut. “I am not a liberator. Liberators do not exist. The people liberate themselves.”
Aku terkekeh sinis. “Terkadang hidup nggak masuk akal, ya? Hidupku juga rumit, sama sepertimu. Tapi, ilham itu akan datang dari mana saja. Kamu akan terkejut dan merasa luar biasa jika menyadari betapa hebatnya dunia bekerja. Dunia bekerja dengan caranya sendiri,” celotehku. “Just sayin’,”
Hening sejenak.
“Ngomong-ngomong saya merasa bersalah padamu. Saya – ,”
Aku segera menyela agar percakapan ini tidak berubah halauan. Pokoknya hari ini adalah tentang dirinya. Bukan tentangku, ataupun tentang kita berdua. “Hei, hei. Kamu tahu kan, itu semua bukan salahmu,” leraiku. “Apa pun yang terjadi, itulah kenyataan yang harus kita terima. Bukankah begitu? Ya, sama saja denganku. Tidak mudah untuk menerima segala kenyataan yang memberatkan kita.”
“Apa kamu masih membenci saya, Lenna?” tanyanya dengan sabar.
Benci? Tidak juga, sih. Aku marah karena aku tidak sanggup berbuat apa-apa selain mengucapkan kata-kata yang menenangkan. Aku juga tahu betul bahwa kata-kata tidak akan pernah cukup dan belum tentu dapat merubah keadaan. Tapi, satu hal yang tidak kupahami adalah perasaanku sendiri. Dunia ini begitu luas dan aku tidak dapat mendefinisikan perasaan ini. Perasaan yang tidak pernah kutahu maksudnya. Untuk memiliki tekad yang kuat atas perasaan yang membingungkan ini pun, aku tidak berani.
Jujur, aku bahkan terlalu takut pada konsekuensinya yang bisa menjerumuskanku pada kesialan dan kesedihan kapan pun. Aku tidak tahu apakah aku harus senang ataukah sedih karena kami berjumpa kembali di waktu-waktu yang tidak kurencanakan. Yang jelas, hari ini selain tentang pelajaran mencari kebenaran di kantor, aku mendapatkan sesuatu yang berani kusebut sebagai sesuatu yang berharga.
“Saya percaya seseorang bertemu dengan seseorang lainnya untuk sebuah alasan. Saya ingin terus mencari alasan mengapa kita bertemu, oke?” ujarnya.
*
Dalam hati aku ngotot bahwa tak ada alasan spesifik mengapa aku dan Aslan dipertemukan. Ya, kami hanya tak sengaja bertemu, berkenalan, dan sudah. People meet people. Perbincangan kami selama ini hanyalah bagian kecil dari kehidupan yang membentang luas. Aku tidak tahu apakah ini sebuah penyangkalan atau sebuah penolakan. Sebelum aku ingin bertindak lebih jauh, tentu saja aku harus memperbaiki kekacauan dalam diriku. Kekacauan yang sudah mengendap begitu lama dan menyebabkan hatiku terlampau abu-abu.
***