Read More >>"> Lenna in Chaos (Narasumber) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Lenna in Chaos
MENU 0
About Us  

Aku menjumpai Pak Shaheer langsung di rumahnya yang terletak di Dago Giri, seperti yang beliau minta. Rumah itu terlihat diciptakan untuk pria penyendiri sepertinya: tak terlalu besar, bernuansa kayu, serta di bangian dindingnya dipenuhi daun rambat dolar yang memberikan kesan sunyi bahkan sekaligus angker. Di halamannya yang cukup luas, terparkir Rubicon hitam yang gagah perkasa serta motor Benelli edisi lama. Pohon-pohon palem kipas yang memagar di dinding pembatas dengan rumah tetangga sebelah seperti melambai-lambai, menyambutku.

Pria paruh baya itu tidak seperti yang kubayangkan sebelumnya: profesor sejarah tua, berkacamata, perut buncit, serta kepala yang dipenuh uban. Saat ia muncul, beliau mengingatkanku pada setelan pria-pria 80-an: kaos hitam dengan sablon The Beatles besar di bagian depannya serta celana jins tua gombrang berwarna biru pudar. Ikat pinggangnya terbuat dari kulit dan terlihat sangat mahal. Rambutnya sudah banyak beruban, namun perawakannya masih terlihat sangat segar.

Ada sesuatu yang tidak asing dengan senyumnya. Sepertinya aku pernah berjumpa dengan pria ini sebelumnya. Jika kau beharap ia adalah Aldric, itu salah besar. Pria ini adalah pria ahli sejarah kotaku. Pria yang sudah kenal dengan seluruh seluk beluk Bandung dan sering diundang di berbagai acara diskusi sejarah dan budaya.

Lantas Pak Shaheer memintaku untuk duduk di kursi kayu beranda rumah. Dia menatapku dengan hangat, “Teh atau kopi?”

Aku menggeleng. “Ah, tidak usah repot-repot, Pak,” tolakku halus.

“Sepertinya wajahmu yang mengantuk itu membutuhkan kopi,” dia terkekeh. “Saya buatkan dulu, ya.”

“Merepotkan, Pak. Terima kasih.”

Pak Shaheer berlalu masuk ke dalam sementara aku mulai menyiapkan segala kebutuhan wawancara: buku catatan kecilku yang lusuh, sederet daftar pertanyaan, pulpen, dan ponselku untuk merekam percakapan.

Sejujurnya, aku menyukai sejarah. Tapi, jika sudah berbincang secara privat seperti ini sudah bisa dipastikan akan menyita waktuku cukup lama. Maia sudah memperingatkanku tempo hari bahwa Pak Shaheer senang mendongengi siapa saja soal sejarah. Tapi, pembawaannya benar-benar akan memeras isi otak dan membuat orang-orang hanyut.

Tak lama, Pak Shaheer kembali datang sembari membawa nampan berisi dua cangkir kopi. Dengan sigap aku membantunya menaruh cangkir tersebut ke atas meja. Beliau kemudian duduk di sampingku dan bertanya, “Jadi, Nak Lenna ini rekannya Maia?”

Aku tersenyum sopan dan menyahut, “Iya, Pak. Betul. Tapi kebetulan Maia tidak bisa hadir kemari karena pekerjaan yang lain. Jadi saya yang diminta untuk menggantikannya.”

“Oh, begitu. Selagi masih muda, kalian pasti masih enerjik.”

Aku hanya nyengir kuda saja, “Ngomong-ngomong, rumahnya sepi sekali, Pak. Pasti nyaman tinggal di sini, ya? Bandung utara memang idaman siapa saja untuk dijadikan tempat tinggal.”

Dia menggeleng tak setuju, “Ah, nggak juga. Tiap weekend, orang dari Jakarta banyak yang ke Lembang ambil jalur sini. Saya paling hanya diam di rumah, membaca buku, bikin kopi, menulis buku, ya, saya lakukan apa sajalah untuk mengusir sepi. Lagi pula, kamu tau kan rumor tentang sesar Lembang. Ngeri, lho.”

“Iya saya sering baca cerita soal itu.”

“Rumahmu di mana, Len?”

“Daerah Cigadung, Pak. Dekat, kok.”

“Enak. Adem, ya.”

“Tapi tetap saja ramai, Pak.”

“Ya, gimana lagi. Namanya juga Bandung Utara. Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir banyak perumahan baru. Pasti makin ramai dan macet.”

Aku mengangguk-angguk. “Sepi ya, Pak. Istri dan anak Bapak ke mana?” tanyaku spontan dan pertanyaan ini akan segera kusesali sepanjang malam nanti.

“Oh,” dia menatapku tanpa aku pernah tau apa arti tatapan itu. “Saya sudah berpisah dengan istri saya sejak tujuh tahun yang lalu. Kamu tau Ezme Barkenbosch? Pelukis itu?” tanyanya. Tanpa sadar mataku membulat. Aku tidak menyangka dia akan membahas ini kepada orang asing sepertiku. Tapi aku segera menyembunyikannya. “Anakku, Nirvana, sudah dewasa sekarang. Mungkin dia seusiamu, ya? Dia lebih pilih tinggal bersama ibunya. Ah, rupanya dia senang hidup di jalanan. Membangun relasi dengan banyak orang. Hidupnya sudah jauh berbeda dengan semasa kecil. Bahagianya sudah nggak sederhana lagi.”

“…,”

Dari raut wajahnya, aku bisa mengenali rasa tenang itu. Rasa tenang karena telah banyak melampaui hal-hal yang berat. Sekarang lihatlah garis-garis di permukaan punggung tangannya yang mulai terlihat beserta urat nadi hijaunya yang menonjol di permukaannya. Pak Shaheer kemudian menatapku, “Jadi, kamu mau bertanya soal apa, Lenna?”

Aku tersenyum palsu, “Baik, Pak Shaheer. Um, bisakah Bapak ceritakan kepada saya soal Bandoeng Tempo Doeloe? Dan perubahan-perubahan apa saja yang terjadi seiring berjalannya waktu?”

Pak Shaheer pun mulai bercerita dengan mata yang berbinar-binar. Aku tidak ingin menghentikannya atau bahkan memotongnya. Biarkan dongeng tentang kotaku ini membanjiri otakku hari ini. Bahkan hingga malam telah tiba.

 

*

 

Tak terasa sudah pukul setengah sembilan malam, sementara kami memulainya sejak pukul empat. Dua cangkir kopi sudah habis ludes dan bahkan aku tidak merasakan kantuk sama sekali. Ini adalah sesi wawancara terlamaku sepanjang hidup. Pak Shaheer minta izin padaku untuk mengambil baju hangatnya ke dalam sementara aku membereskan barang-barangku.

Cerita soal Bandung tadi sudah kuserap habis-habisan sampai-sampai aku tidak sabar menuangkannya kembali ke dalam tulisan. Dimulai dari suhu terdingin yang pernah ada di Bandung, peristiwa-peristiwa bersejarah, foto-foto arsip Bandung di masa lampau, serta bangunan-bangunan bersejarah yang luput dari perhatianku. Maia pasti akan bangga padaku karena berhasil mendapat berbagai macam sudut pandang yang bagus. Aku tidak benar-benar menyesal jauh-jauh ke Dago Giri dan mendengarkan seorang Pak Shaheer mendongeng. Hal terpenting adalah aku akan selalu mengingat raut wajahnya yang berubah-ubah. Tak hanya itu, bahkan nadanya, intonasinya, serta mimik wajahnya. Pandangannya seperti memancarkan serbuk-serbuk bintang asing yang indah. Pak Shaheer adalah pria yang kesepian. Mengapa Ezme tega berpisah dengan seorang pria yang piawai bercerita? Bukankah seseorang mencari pasangan untuk berbincang sampai hari tua?

“Lihatlah,” tahu-tahu dia datang padaku sambil membawa pigura kecil yang berisi potret keluarga kecilnya. Dia menyerahkannya padaku agar aku dapat memandangnya dengan jelas. Hanya ada beliau, Ezme, dan Nirvana. “Ini potret keluarga mungil saya. Saya sangat merindukan saat-saat kami masih bersama.”

Aku mengamatinya yang duduk kembali di tempat semula sembari meninggikan resleting baju hangatnya yang berwarna cream. Kemudian pandanganku kembali beralih pada potret itu. Pria itu kembali terkekeh, “Entah mengapa saya ingin bercerita saja padamu. Kamu nggak keberatan, kan?”

Aku menggeleng tidak keberatan. “Apa istri Bapak mimiliki darah Perancis? Namanya seperti gadis-gadis blonde di Prancis,” komentarku dengan hati-hati.

“Oh, nggak. Nggak punya. Tapi Bapaknya orang Belanda. Sudah meninggal tiga dekade yang lalu karena penyakit ganas,” sahutnya.

Tiba-tiba mengalirlah cerita itu tanpa kuminta. Cerita tentang awal mula pertemuan Shaheer muda dan Ezme muda di sebuah pameran buku musiman di Landmark Braga. Mereka bertemu di bagian majalah bekas dan mereka tak sengaja hendak mengambil majalah Manglé yang sama. Klise sekaligus dramatis. Saat pertama kali memandang Ezme, dia pikir wanita itu adalah turis. Rambutnya hitam kecoklatan, tubuhnya tinggi ramping, hidungnya yang mancung, bibir dan pipinya yang kemerahan. Waktu itu, Ezme memakai baju terusan merah ati dengan bandana warna senada. Hal itu sangat mendukung tone kulitnya yang putih pucat. Menurut beliau, laki-laki mana yang tidak tertarik dengan perempuan berparas setengah bule dengan lekukan yang memikat? Rupanya, Ezme menyapanya dengan bahasa Indonesia. Setelahnya, mereka sering berjumpa. Setiap kali tulisan Shaheer dimuat di surat kabar lokal, Ezme akan mengajaknya bertemu di kafe dan berbincang soal sejarah.

“Dia adalah perempuan baik. Itu terlihat dari gaya bicaranya, perilakunya, bahkan penampilannya. Beberapa pria yang jauh lebih kaya raya dan jauh lebih keren bahkan hendak merebut Ezme dari saya secara terang-terangan.”

Lalu berlanjut soal masa muda Ezme yang merupakan salah satu Partha, komunitas pecinta alam seperti Ambu dan Aksara. Mereka satu almamater SMA. Kesukaannya itu sangat kontras dengan penampilannya sehari-hari yang feminin. Wanita itu paling senang naik gunung dan panjat tebing. Pak Shaheer kemudian bilang bahwa beliau tidak pernah mencoba untuk mengekang wanita itu karena ia sudah bersusah payah untuk membebaskan dirinya sendiri. Lantas ia menceritakan prosesi pernikahan mereka yang dipenuhi kebahagiaan.

Ternyata kebahagiaan itu pupus dengan begitu cepat. Seketika raut wajahnya berubah saat menceritakan proses kelahiran anak semata wayang mereka. Nadanya mulai melambat sekaligus merendah. Nafasnya agak tersengal. Saat Nirvana berumur tiga tahun, petaka terjadi. Ezme panjat tebing ke Citatah bersama kawan-kawan satu angkatannya. Saat memanjat, alat pengamannya tidak berfungsi dengan baik. Ezme jatuh dari ketinggian kurang lebih seputuh meter dan itu menyebabkan patah kaki sekaligus kerusakan syaraf. Wanita itu cacat seumur hidup.

Semenjak itu, Ezme tak ingin bicara pada suaminya itu. Dia banyak menyendiri di ruangannya. Dia mengabaikan suami dan anak gadisnya, Nirvana. Anak tunggal keduanya itu tumbuh dengan pengabaian. Waktu itu pula, Shaheer sedang sibuk menyelesaikan disertasi di Banyuwangi yang memakan waktu bertahun-tahun.

“Suatu hari, Ezme memintaku untuk membelikan peralatan melukis. Itu adalah permintaan pertama darinya semenjak dia jatuh. Lalu saya belikan peralatan melukis yang terbaik. Saya mulai menunjukkan padanya katalog-katalog pelukis terkenal. Saya ingat betul, mantan istri saya sangat menyukai S. Sudjojono dan Barli Sasmitawinata.”

Pria itu juga mengungkapkan fakta lain yang menarik soal mantan istrinya. Sewaktu Ezme kecil, dia sering melukis. Bapaknya, Mayor Jenderal Barkenbosch adalah orang Indo-Belanda yang sempat menjadi pentolan KNIL di Bandung. Selain berjiwa baja, bapaknya itu ternyata menyukai seni.

“Saya pikir, dengan saya membelikannya alat lukis, dia akan kembali bercerita dan berbagi perasaan dengan saya seperti sedia kala. Ternyata tidak. Dugaan dan pemikiran saya salah semua dan itu adalah kenyataan yang tidak saya inginkan.”

“Lalu apa yang Bapak lakukan?”

“Saya tidak ingin menyerah, Len. Saya terus memperkenalkan Ezme kepada para agen lukis di Jakarta dan Singapura. Sementara itu lukisannya mulai dikenal dan laris terjual dengan harga terbaik. Para kolektor dari dalam dan luar negeri semakin memburunya. Lantas pada 2017 lalu, dia berkenalan dengan kawan lamanya. Kemudian, tiba-tiba dia ingin bercerai dengan saya.”

“Kenapa begitu?”

Beliau hanya terdiam memandangi potret itu.

Ada duka yang memancar samar-samar dari bola matanya yang sayu. Suara jangkrik dan serangga-serangga malam lainnya semakin menambah keheningan yang menyelimuti kami. Tapi, dengan pura-pura tegar, Pak Shaheer masih bisa senyam-senyum sendiri. Mungkin saja ingatan-ingatan manisnya bersama mantan istri semasa mudanya itu kembali terlintas dan menjadi hiburan di kala sesi mengenang ini.

“Jika kamu merasa rendah diri karena kekuranganmu atau kesedihanmu, please you don’t have to push people away. Itu akan terasa semakin menyakitkan,” nasihatnya kemudian.

“…,”

Rasanya aku ingin meminta maaf padanya telah mengatakan cerita yang tak harusnya diperdengarkan kepadaku. Kalau sudah begini, aku kembali terngiang-ngiang jeritanku sangat Langit jatuh dari ayunan dan suara tangis Nirvana sesaat setelah mendorong Langit. Jika begitu, apa yang menggerakkan tangan gadis itu untuk mendorong Langit dari ayunan adalah emosinya yang terpendam. Aku sendiri sebagai manusia paling membenci dua hal: diabaikan dan ditolak. Apakah kebahagiaanku bersama sahabat masa kecilku, Langit, benar-benar dihancurkan oleh gadis itu ataukah ini hanyalah sebagian kecil dari takdir?

Lantas aku kembali teringat soal sikap Aslan terhadap Nirvana saat di depan PTUN itu.

Pada akhirnya, aku jadi mengerti, ini semua bukanlah tentangku. Tapi, melainkan tentang gadis itu. Gadis surga.

 

*

 

Kami terbungkus hening yang cukup lama. Hening yang kental. Hening yang membuatku memilih untuk mengambil jeda sekadar untuk menghirup nafas dalam-dalam.

“Mantan istri saya semakin sukses sekarang,” celotehnya kemudian. “Saya tetap bangga padanya dan saya berterima kasih padanya. Bukankah cinta itu tidak harus memiliki, Lenna?”

Aku tersenyum pahit, antara setuju dan tidak setuju. Sesuatu mendorongku untuk mengatakan sesuatu padanya. Tapi, aku berusaha menahannya. Kemudian aku berpikir ulang berkali-kali. Keinginanku mengalahkan logikaku. “Saya kenal Nirvana, Pak,” ucapku pelan.

“Benarkah?” kali ini beliau yang tampak kaget.

Aku tersenyum kecil dan menatapnya. “Kami teman satu TK. Tapi kami tidak begitu akrab,” jawabku.

“Bagaimana anakku itu? Pasti dia sosok teman yang menyebalkan, ya?” Pak Shaheer tertawa geli. Aku tak kuasa menjawab dan hanya tersenyum simpul. “Sejak kecil, Nirvana memang temperamental, Nak. Dia sulit diatur, agresif, sulit bersikap ramah dengan orang lain, bahkan memiliki kecenderungan psikopat.”

“Ah, begitu…,”

Kemudian ia melepaskan kacamata dan memandangku. “Kapan kalian terakhir bertemu?”

“Beberapa hari yang lalu.”

 “Apakah dia sudah menjadi perempuan yang berani?”

Aku tersenyum kelu. “Ya, tentu saja dia berani. Dia menjadi aktivis yang membantu mengawal kasus penggusuran warga Candramaya, Pak. Dia sangat mulia.”

“Baguslah. Semoga kamu bisa berteman baik dengan dia. Saya nggak merasa dia punya teman perempuan. Setahu saya, dia lebih cinta kehidupannya di Italia daripada di sini,” pintanya.

Apa berarti menurutnya aku layak menjadi seorang teman untuk Nirvana? Tidak mungkin.

Pak Shaheer kemudian memperingatiku dengan halus untuk pulang karena hari sudah sangat gelap. Kilat-kilat tanpa bunyi petir terlihat menyambar dari arah utara. Mungkin sebentar lagi hujan akan turun dan jalanan akan menjadi sangat licin.

Pukul sembilan lewat beberapa menit, aku benar-benar pamit meninggalkan rumah itu. Pak Shaheer menemaniku hingga pagar.

“Jangan sungkan-sungkan untuk berjumpa lagi ya, Lenna.”

“Terima kasih, Pak. Jika ada waktu, saya pasti akan menghubungi Bapak lagi. Sampai jumpa, Pak.”

           

*

 

Malam itu aku memergoki pemandangan yang tak biasa. Papa yang tertidur di sofa dan masih mengenakan kemejanya, vas bunga yang pecah di atas lantai, botol whiskey yang tersisa seperempatnya lagi, kaos kaki dan sepatu yang tergeletak di atas lantai dengan sembarang, serta samar-samar suara Mama yang sedang menangis.

Mama pulang ke rumah?

 

***

Tags: twm23

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Memento Merapi
5359      1963     1     
Mystery
Siapa bilang kawanan remaja alim itu nggak seru? Jangan salah, Pandu dan gengnya pecinta jejepangan punya agenda asyik buat liburan pasca Ujian Nasional 2013: uji nyali di lereng Merapi, salah satu gunung terangker se-Jawa Tengah! Misteri akan dikuak ala detektif oleh geng remaja alim-rajin-kuper-koplak, AGRIPA: Angga, Gita, Reni, dan Pandu, yang tanpa sadar mengulik sejarah kelam Indonesia denga...
Kungfu boy
2641      1022     2     
Action
Kepalanya sudah pusing penglihatannya sudah kabur, keringat sudah bercampur dengan merahnya darah. Dirinya tetap bertahan, dia harus menyelamatkan Kamalia, seniornya di tempat kungfu sekaligus teman sekelasnya di sekolah. "Lemah !" Musuh sudah mulai menyoraki Lee sembari melipat tangannya di dada dengan sombong. Lee sudah sampai di sini, apabila dirinya tidak bisa bertahan maka, dirinya a...
Seutas Benang Merah Pada Rajut Putih
1207      638     1     
Mystery
Kakak beradik Anna dan Andi akhirnya hidup bebas setelah lepas dari harapan semu pada Ayah mereka Namun kehidupan yang damai itu tidak berlangsung lama Seseorang dari masa lalu datang menculik Anna dan berniat memisahkan mereka Siapa dalang dibalik penculikan Anna Dapatkah Anna membebaskan diri dan kembali menjalani kehidupannya yang semula dengan adiknya Dalam usahanya Anna akan menghadap...
Metamorf
115      95     0     
Romance
Menjadi anak tunggal dari seorang chef terkenal, tidak lantas membuat Indra hidup bahagia. Hal tersebut justru membuat orang-orang membandingkan kemampuannya dengan sang ayah. Apalagi dengan adanya seorang sepupu yang kemampuan memasaknya di atas Indra, pemuda berusia 18 tahun itu dituntut harus sempurna. Pada kesempatan terakhir sebelum lulus sekolah, Indra dan kelompoknya mengikuti lomba mas...
Sweet Equivalent [18+]
3594      1022     0     
Romance
When a 19 years old girl adopts a 10 years old boy Its was hard in beginning but no matter how Veronica insist that boy must be in her side cause she thought he deserve a chance for a better live Time flies and the boy turn into a man Fact about his truly indentitiy bring another confilct New path of their life change before they realize it Reading Guide This novel does not follow the rule o...
Cinta Semi
1904      844     2     
Romance
Ketika sahabat baik Deon menyarankannya berpacaran, Deon menolak mentah-mentah. Ada hal yang lebih penting daripada pacaran. Karena itulah dia belajar terus-menerus tanpa kenal lelah mengejar impiannya untuk menjadi seorang dokter. Sebuah ambisi yang tidak banyak orang tahu. Namun takdir berkata lain. Seorang gadis yang selalu tidur di perpustakaan menarik perhatiannya. Gadis misterius serta peny...
LUKA TANPA ASA
6970      1997     11     
Romance
Hana Asuka mengalami kekerasan dan pembulian yang dilakukan oleh ayah serta teman-temannya di sekolah. Memiliki kehidupan baru di Indonesia membuatnya memiliki mimpi yang baru juga disana. Apalagi kini ia memiliki ayah baru dan kakak tiri yang membuatnya semakin bahagia. Namun kehadirannya tidak dianggap oleh Haru Einstein, saudara tirinya. Untuk mewujudkan mimpinya, Hana berusaha beradaptasi di ...
KataKu Dalam Hati Season 1
4589      1280     0     
Romance
Terkadang dalam hidup memang tidak dapat di prediksi, bahkan perasaan yang begitu nyata. Bagaikan permainan yang hanya dilakukan untuk kesenangan sesaat dan berakhir dengan tidak bisa melupakan semua itu pada satu pihak. Namun entah mengapa dalam hal permainan ini aku merasa benar-benar kalah telak dengan keadaan, bahkan aku menyimpannya secara diam-diam dan berakhir dengan aku sendirian, berjuan...
Unexpected You
405      292     0     
Romance
Pindah ke Indonesia dari Korea, Abimanyu hanya bertekad untuk belajar, tanpa memedulikan apapun. tapi kehidupan tidak selalu berjalan seperti yang diinginkannya. kehidupan SMA terlalu membosankan jika hanya dihabiskan untuk belajar saja. sedangkan Renata, belajar rasanya hanya menjadi nomor dua setelah kegemarannya menulis. entah apa yang ia inginkan, menulis adalah pelariannya dari kondisi ke...
RUMIT
4873      1579     53     
Romance
Sebuah Novel yang menceritakan perjalanan seorang remaja bernama Azfar. Kisahnya dimulai saat bencana gempa bumi, tsunami, dan likuifaksi yang menimpa kota Palu, Sigi, dan Donggala pada 28 September 2018. Dari bencana itu, Azfar berkenalan dengan seorang relawan berparas cantik bernama Aya Sofia, yang kemudian akan menjadi sahabat baiknya. Namun, persahabatan mereka justru menimbulkan rasa baru d...