Loading...
Logo TinLit
Read Story - Lenna in Chaos
MENU
About Us  

Karena rumahku terlalu dingin untuk dijadikan tujuan pulang, akhirnya aku memutuskan untuk pergi menyusuri jalanan Ir. H. Djuanda – dari bawah hingga atas – hingga tiba di sebuah tempat kehangatan.

Sepanjang perjalanan, aku kembali teringat saat pertama kali kamu membawaku pergi menyusuri jalanan Ir. H. Djuanda yang menanjak sembari berbincang soal lirik lagu The Cure yang menyedihkan tapi dibalut dengan nada-nada yang terdengar ceria. Waktu itu kita belum berpacaran.

“Itu hanyalah paradoks,” komentarmu tentang lagu The Cure.

“Atau memang sungguh-sungguh bertentangan,” kilahku. “Tapi, kira-kira siapa yang tega menyakiti hati Robert Smith sampai-sampai dia menulis lirik Boys Don’t Cry?”

“Entahlah. Mungkin cintanya ditolak cewek rambut blonde.”

Motor yang dikendaraimu saat itu berbelok melalui jalan menanjak menuju Bukit Pakar Utara. Tidak sampai dua menit, kamu menghentikan motormu di depan sebuah rumah yang didominasi dari kayu. Rumah itu terletak di kiri jalan. Bahkan aku tak menyadari bangunan ini telah ada sedari dulu. Kamu menyuruhku turun dan segera bergegas masuk. Aku menolak dan membiarkanmu untuk masuk lebih dulu. Kamu memarkirkan motornya di antara motor-motor lain yang berjajar di sisi jalan. Dari luar, kita bisa mendengar suara ramai dari dalam dengan jelas.

Kali ini rumah itu sepi. Hanya ada sisa-sisa asbak yang dipenuhi puntung rokok dan abu.

Namun bayangan itu kembali muncul di sertai gema tawa anggota Partha kala itu.

Pertama kali aku menginjakkan kaki di rumah ini bersamamu, kami langsung disambut oleh tatapan-tatapan hangat. Ada beberapa orang di dalam yang tengah melakukan berbagai aktivitas yang berbeda. Ada yang sedang mencacah daging, ada yang meracik bumbu sate, ada yang membaca buku Tan Malaka, ada grup kecil yang tengah bermain karambol, serta dua orang lagi tengah memasukkan barang-barang naik gunung ke dalam carrier berukuran sedang. Semua orang yang berada di ruangan itu menghentikan aktivitasnya dan menatapku dengan tatapan heran. Sepertinya tak lazim orang asing sepertiku tiba-tiba datang ke tempat ini.

“Bang Aksara bawa siapa, nih?” tanya seorang perempuan berpakaian terusan biru dengan corak polkadot yang duduk di depan tungku tanah liat dengan bara api yang menyala di bawahnya.

Aku bahkan baru menyadari keberadaannya saat ia tengah berbicara. Rambut coklat gelapnya memakai bandana warna merah marun. Hidungnya mancung dan berkulit sawo matang. Saat ia menatapku, aku bisa melihat pantulan cahaya remang jatuh di bola matanya dan menjadikan iris matanya terlihat berwarna coklat.

“Teman,” balasmu lalu duduk di sebuah bangku kayu panjang. Kemudian kamu menyuruhku duduk di sampingmu.

Aku segera menyikut lenganmu. “Memangnya tidak apa-apa aku di sini? Aku kan bukan anak Partha?”

“Tidak apa-apa, kok,” jawabmu.

Aku mengitari pandangan ke sekitar rumah semi outdoor yang tak begitu besar namun hangat ini. Tempat ini tidak luas dan tidak juga sempit. Hangat. Seperti pandangan pertamaku di awal, rumah ini didominasi oleh kayu. Tak ada celah dinding yang dibiarkan kosong. Lukisan-lukisan antik dipajang dengan rapi. Ada wayang-wayangan yang dipajang di dalam lemari kaca yang lusuh serta berdebu. Aku melihat si Cepot dan Partha alias Arjuna di sana. Dua lagi aku tak yakin siapa, mungkin Hanoman dan Krisna. Aku tak hafal betul tokoh wayang.

Di sisi yang lain, aku melihat sebuah potret seorang wanita berukuran sedang tergantung di dinding. Wanita dalam potret itu mengenakan sampur berwarna ungu yang menutupi sebagian rambutnya. Wajahnya tersenyum berseri seperti berakting menjadi wanita terbahagia di dunia. Waktu itu, aku tak tahu siapa dia. Ada pula sebuah sepeda ontel tua yang telah renta dimakan usia yang digantung menghiasi satu sisi khusus dan dikelilingi oleh bunga-bungaan berwarna-warni namun warna kelopaknya terlihat pudar.

Di pojok ruangan, aku bisa lihat sebuah kompor tungku sederhana tempat perempuan itu memasak air. Di dekatnya, terdapat lemari kaca dengan parabot jadul seperti gelas kaca bercorak bunga, tumpukan piring anyam, dan teko yang sudah usang kecoklatan. Dari seluruh desain interior yang unik itu, aku mendapati sebuah jam dinding tua yang berukuran sangat besar tergantung dengan penuh debu di permukaannya. Di sekeliling jam itu terdapat bingkai kayu ukiran Jepara, mungkin. Permukaan kacanya cembung membuat jam itu terlihat sangat renta.

Aku menatapmu, “Bagus tempatnya.”

Kemudian aku kembali mengamati dua orang laki-laki yang tengah memasukan barang-barang ke dalam carrier. Posisi mereka berdua tak jauh dari kami duduk sekarang. Dengar-dengar dari perbincangan mereka, mereka akan berangkat nge-camp di Tegal Panjang Garut. Tidak lama, keluarlah perempuan berbaju terusan biru tadi dari pintu di sudut sembari menyerahkan topi rimba pada salah satu orang yang tengah mengepak barang bawaan itu. 

Bagiku, perempuan itu tampak sangat lembut dan aura keibuannya memancar sangat kuat. Padahal usianya mungkin lebih muda daripada aku. Lihatlah bagaimana caranya dia mengibas baju terusannya atau sesekali merapikan letak barang yang tak semestinya berada di tempat itu. Lihatlah bagaimana caranya menyapu pandangan dan betapa berbinar matanya.

“Wulan, ibumu mana?” tanyamu kala itu pada gadis yang ternyata bernama Wulan.

Dan ketika ia menoleh, terlihatlah parasnya yang anggun, setengah manja, beralis tebal, serta bermata telur. Di pipi dekat dengan sudut bibir kanannya terdapat tahi lalat kecil yang membuatnya terlihat semakin manis. Ah, aku tidak pernah merasa sekagum itu dengan kecantikan seorang perempuan. “Ambu sedang istirahat di dalam. Kayaknya masuk angin. Kemarin baru pulang touring dari Purwekerto,” sahutnya. Wulan kemudian tersenyum padaku dan duduk tak jauh dariku. “Siapa namamu?”

“Lenna,” jawabku.

“Terakhir Bang Aksara membawa perempuan ke sini itu tahun lalu,” sahutnya sambil terkekeh. Matanya kemudian melirikmu dengan mimik wajah yang geli.

“Oh, iya?” aku menatapmu yang duduk di sebelahku. Dia sedang menyalakan rokoknya dan tak menggubris.

Tapi itu dulu.

Sekarang rumah ini terlampau sunyi.

Saat aku menginjakkan kaki ke dalam rumah dan memanggil nama Wulan, perempuan itu menyembul dari balik tirai dan langsung berlarian memelukku. Ia menangis tersedu-sedu. Sudah cukup lama kami kembali berjuma setelah terlalu larut dalam kesibukan pekerjaan. Saat aku merasakan getaran tubuhnya, aku pun turut menangis untuknya dan untukku sendiri.

 

*

 

Cahaya lampu yang digantung di langit-langit kamar kemudian merobek wajah wanita paruh baya yang kepayahan itu. Kemudian beliau menatapku nanar (aku tahu beliau akan selalu merindukanku namun kali ini tidak mampu terungakapkan). Sorot matanya mengisyaratkanku agar mendekat kepadanya. Aku menurut dan menggenggam tangannya yang kaku namun hangat. Salah satu sisi wajahnya terlihat menurun dan matanya memandangku dengan tatapan yang kosong. Dia adalah Ambu, wanita bersampur ungu dalam lukisan yang pertama kali aku jumpai saat datang ke rumah ini.

Ambu jatuh stroke semenjak dua bulan lalu. Wanita yang dulunya kuat mendaki gunung, susur hutan, susur pantai, dan hobi panjat tebing itu akhirnya tumbang dan hanya mampu terbaring di atas ranjangnya. Wulan sering membacakannya buku-buku dan memutar lagu kesukaannya, Blur. Dan Blur akan selalu mengingatkanku kepada Aksara.

Ambu sudah kuanggap sebagai ibuku sendiri sejak awal kami berjumpa. Beliau merupakan orang pertama yang secara terang-terangan merestui hubunganku dengan Aksara. Aksara adalah salah satu anak Partha kecintaannya. Beliau menjadi satu-satunya alasan yang membuatku cukup kuat untuk berdiri kembali ketika Aksara tidak pernah pulang setelah seratus hari dia pergi dan dunia melenyapkannya. Wanita itu membuatku perlahan-lahan menerima kenyataan bahwa kehidupan ini adalah fana dan aku harus menikmatinya sebaik-baiknya.

“Jangan bersedih, Sayang,” lerai Ambu kala itu, di saat badannya masih sehat bugar dan wajahnya masih sungguh berwarna. “Aksara akan selalu hidup. Maka lanjutkanlah hidupmu sendiri. Di kota ini, beberapa orang masih sungguh menyayangimu, Lenna.”

“Ambu…,”

“Ambu sayang kamu, Len. Ambu tidak kuat melihatmu hancur begitu.”

“Apa kelak aku bisa mencintai yang lain, Mbu?”

Ambu mengangguk dengan penuh semangat. “Kamu masih muda, Lenna. Jangan menyesali apa pun. Waktu terlalu singkat untuk terpaku pada hal-hal yang telah hilang,” nasihat beliau. Ucapannya itu seolah kembali memperingatiku bukan hanya perkara hilangnya pacarku, namun juga Mama, Papa, dan kakakku, Luna.

Tanpa sadar air mataku turun membasahi punggung tangan Ambu. Sepertinya Ambu terkesiap namun beliau hanya sanggup terdiam dan menatap langit-langit yang hampa. Dengan benak yang bergetar-getar, aku mencium punggung tangannya. “Terima kasih, Ambu. Untuk semuanya,” gumamku.

Wulan kemudian menepuk pundakku. “Kita ngeteh, yuk?”

Dengan terpaksa aku meninggalkan Ambu sejenak. Kami berdiam diri di beranda depan rumah yang biasa dipakai anak-anak Partha bermain karambol, catur, atau sekadar berbincang. Wulan menuangkan teh panas dari ceret dan membawa dua cangkir ke hadapan kami. Asapnya mengepul-ngepul, menggoda. Namun, dia tidak langsung duduk. Dia pergi sejenak ke balik tirai pembatas ruangan dan kembali seraya menyerahkanku selembar foto.

Aku melihat foto itu. Foto Ambu sewaktu muda berdiri di samping seorang wanita muda yang sangat cantik. Mereka memakai syal hijau yang sama. Di belakangnya, tenda berwarna-warni berjajar. “Perempuan di sebelah Ambu itu Tante Ezme. Orang yang Kak Lenna maksud. Si pelukis itu.”

“Jadi dia benar-benar sahabat ibumu?” sergahku tak percaya.

Wulan menggangguk. “Iya. Ambu nggak bercanda. Mereka pernah menjadi kawan yang sangat dekat. Mereka itu satu angkatan di Partha, tahun 80-an kalau nggak salah. Ambu juga yang menjadi saksi saat Tante Ezme jatuh waktu sedang panjat tebing.”

Aku menatapnya hening.

“Kalau saja Ambu diberi kesempatan untuk berjumpa dengan teman-temannya dulu. Mungkin Ambu akan jauh lebih bahagia.”

“Maksudmu Ezme?”

“Ya, Tante Ezme dan beberapa kawan lain Ambu di Partha.”

“Kamu yakin hubungan Ambu dan Ezme dulu pernah sedekat itu? Bukankah kalau begitu Ezme pasti tidak akan melupakan Ambu?” tanyaku lagi.

Wulan hanya mengangkat bahu. “Aku nggak tahu Tante Ezme tinggal di mana. Dia sudah tidak pernah datang kembali di acara ulang tahun Partha. Pasti Ambu akan senang kalau dia masih bisa berjumpa dengan Tante Ezme.”

Aku terpekur untuk sesaat sembari meratapi jam tua yang sudah berhenti berdetak sejak bertahun-tahun lalu. Beberapa kali Wulan harus memperingatiku untuk menyeruput tehnya selagi hangat. Aku hanya mengangguk-angguk. Kini memori itu bercampur padu menjadi satu. Perutku menjadi mual dan tanpa kusadari nafasku menderu-deru.

Ezme adalah ibu dari musuhku, Nirvana.

 

*

 

Malam itu, aku dan Wulan menghabiskan waktu dengan meratapi kehidupan kami.  Saat kantuk menyerang, aku meminta izin pada Wulan untuk tidur di samping Ambu. Wulan mengangguk setuju.

“Mbu, apa yang harus kulakukan sekarang?” bisikku. Tentu saja wanita itu tidak menjawab.

Malam itu, aku bermimpi. Aku bermimpi bahwa kesunyian telah menggulungku. Mereka – kesunyian itu seperti orang-orangan dengan jumlah yang sangat banyak – mengelilingiku dan menyanyikan serenade yang asing. Begitu hampa dan begitu sunyi. Di antara mereka, wajahmu semakin kabur. Lama-lama, kamu menghilang ditelan oleh mereka. Aku merindukanmu dan itu terasa begitu menyiksa.

Kesunyian itu membuat badanku berkeringat, padahal udara Bandung sedang dingin-dinginnya.

 

***

Tags: twm23

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Salon & Me
4365      1339     11     
Humor
Salon adalah rumah kedua bagi gue. Ya bukan berarti gue biasa ngemper depan salon yah. Tapi karena dari kecil jaman ingus naek turun kaya harga saham sampe sekarang ketika tau bedanya ngutang pinjol sama paylater, nyalon tuh udah kaya rutinitas dan mirip rukun iman buat gue. Yang mana kalo gue gak nyalon tiap minggu rasanya mirip kaya gue gak ikut salat jumat eh salat ied. Dalam buku ini, udah...
The Last Blooming Flower
9166      2609     1     
Romance
Di ambang putus asa mencari kakaknya yang 20 tahun hilang, Sora bertemu Darren, seorang doktor psikologi yang memiliki liontin hati milik Ian—kakak Sora yang hilang. Sora pun mulai menerka bahwa Darren ada kunci untuk menemukan Ian. Namun sayangnya Darren memiliki kondisi yang membuatnya tidak bisa merasakan emosi. Sehingga Sora meragukan segala hal tentangnya. Terlebih, lelaki itu seperti beru...
Kungfu boy
3187      1207     2     
Action
Kepalanya sudah pusing penglihatannya sudah kabur, keringat sudah bercampur dengan merahnya darah. Dirinya tetap bertahan, dia harus menyelamatkan Kamalia, seniornya di tempat kungfu sekaligus teman sekelasnya di sekolah. "Lemah !" Musuh sudah mulai menyoraki Lee sembari melipat tangannya di dada dengan sombong. Lee sudah sampai di sini, apabila dirinya tidak bisa bertahan maka, dirinya a...
Konspirasi Asa
2861      995     3     
Romance
"Ketika aku ingin mengubah dunia." Abaya Elaksi Lakhsya. Seorang gadis yang memiliki sorot mata tajam ini memiliki tujuan untuk mengubah dunia, yang diawali dengan mengubah orang terdekat. Ia selalu melakukan analisa terhadap orang-orang yang di ada sekitarnya. Mencoba untuk membuat peradaban baru dan menegakkan keadilan dengan sahabatnya, Minara Rajita. Tetapi, dalam mencapai ambisinya itu...
Dapit Bacem and the Untold Story of MU
8629      2303     0     
Humor
David Bastion remaja blasteran bule Betawi siswa SMK di Jakarta pinggiran David pengin ikut turnamen sepak bola U18 Dia masuk SSB Marunda United MU Pemain MU antara lain ada Christiano Michiels dari Kp Tugu To Ming Se yang berjiwa bisnis Zidan yang anak seorang Habib Strikernya adalah Maryadi alias May pencetak gol terbanyak dalam turnamen sepak bola antar waria Pelatih Tim MU adalah Coach ...
Story of April
2610      926     0     
Romance
Aku pernah merasakan rindu pada seseorang hanya dengan mendengar sebait lirik lagu. Mungkin bagi sebagian orang itu biasa. Bagi sebagian orang masa lalu itu harus dilupakan. Namun, bagi ku, hingga detik di mana aku bahagia pun, aku ingin kau tetap hadir walau hanya sebagai kenangan…
Hello, Kapten!
1542      759     1     
Romance
Desa Yambe adalah desa terpencil di lereng Gunung Yambe yang merupakan zona merah di daerah perbatasan negara. Di Desa Yambe, Edel pada akhirnya bertemu dengan pria yang sejak lama ia incar, yang tidak lain adalah Komandan Pos Yambe, Kapten Adit. Perjuangan Edel dalam penugasan ini tidak hanya soal melindungi masyarakat dari kelompok separatis bersenjata, tetapi juga menarik hati Kapten Adit yan...
The Legend of the Primrose Maiden
1032      549     1     
Fantasy
Cinta dan kasih sayang, dua hal yang diinginkan makhluk hidup. Takdir memiliki jalannya masing-masing sehingga semua orang belum tentu bisa merasakannya. Ailenn Graciousxard, salah satu gadis yang tidak beruntung. Ia memiliki ambisi untuk bisa mendapatkan perhatian keluarganya, tetapi selalu gagal dan berakhir menyedihkan. Semua orang mengatakan ia tidak pantas menjadi Putri dari Duke Gra...
Bus dan Bekal
3338      1527     6     
Romance
Posisi Satria sebagai seorang siswa sudah berkali-kali berada di ambang batas. Cowok itu sudah hampir dikeluarkan beberapa kali karena sering bolos kelas dan lain-lain. Mentari selalu mencegah hal itu terjadi. Berusaha untuk membuat Satria tetap berada di kelas, mendorongnya untuk tetap belajar, dan melakukan hal lain yang sudah sepatutnya seorang siswa lakukan. Namun, Mentari lebih sering ga...
Seutas Benang Merah Pada Rajut Putih
1662      814     1     
Mystery
Kakak beradik Anna dan Andi akhirnya hidup bebas setelah lepas dari harapan semu pada Ayah mereka Namun kehidupan yang damai itu tidak berlangsung lama Seseorang dari masa lalu datang menculik Anna dan berniat memisahkan mereka Siapa dalang dibalik penculikan Anna Dapatkah Anna membebaskan diri dan kembali menjalani kehidupannya yang semula dengan adiknya Dalam usahanya Anna akan menghadap...