Mungkin kisahku dan kamu sangat klasik: kamu adalah panitia ospek yang galak tapi tampan yang digandrungi seluruh cewek-cewek komunikasi angkatanku namun kamu malah ditakdirkan untukku. Kudengar desas-desus, beberapa cewek bahkan rela dilecehkan pria setampan kamu. Anjrit. Mendengar khalayan mereka soal kamu membuatku sangat ingin muntah.
Meski kamu beberapa kali sempat mempermalukanku di depan umum saat kegiatan ospek berlangsung, akhirnya kamu sendiri yang menyelamatkanku dan meminta maaf kepadaku. Jujur, itu konyol banget. Saat itu, aku bisa lihat wajahkamu yang terpahat dengan sangat baik. Alis tebalmu, hidung mancungmu, dan mata belonya. Belum lagi rahangmu, setiap detail pori-pori wajahmu, dan puncak hidungmu. Saat kita bersalaman, aku bisa merasakan tanganmu berkeringat. Katamu, kamu tidak bermaksud untuk menyakiti perasaanku dan kegiatan ospek hanya sekadar praktik dramaturgi panitia saja. Setelahnya, kita sempat kehilangan kontak untuk beberapa bulan. Aku hanya melihatmu sesekali di kampus.
Menjelang pemilihan konsentrasi di semester tiga, beberapa kakak tingkat humas menyeretku untuk masuk konsentrasi yang sama dengan mereka. Mereka membujukku dengan kata-kata manis dan menjanjikanku berbagai prospek yang cerah. Aku sendiri masih ragu-ragu meskipun banyak dari teman-temanku yang sudah lebih mantap untuk masuk humas. Entah bagaimana, di lorong kampus yang sepi, aku tidak sengaja berpapasan denganmu. Meski aku sempat yakin bahwa kamu telah melupakanku, namun nyatanya kamu segera memanggil namaku dan memintaku untuk masuk konsentrasi jurnalistik.
Aku masih ingat wangi parfummu kala itu: aroma cokelat bercampur kelapa yang memikat.
Akhirnya aku memutuskan bergabung pada acara jambore jurnalistik. Meski terdengar agak mustahil untuk anak ingusan macam diriku, tapi tetap saja, setitik keluarbiasaan itu akan selalu menjadi momen yang diingat. Di saat kabut malam Gambung mulai turun serta pendar api unggun yang mulai redup itu, mata kami berdua beradu di antara sebentang jarak.
Selama beberapa minggu, setelah ospek yang melelahkan, aku lebih dikenal sebagai Lenna si anak bawang. Beberapa orang menilai bahwa aku adalah cewek paling imut yang salah masuk jurusan. Beberapa orang lagi menilai bahwa aku adalah kutukan. Semua pria menyukaiku, dan tentu saja pemenangnya adalah kamu.
Selama beberapa bulan menjadi pacarmu, aku semakin mencoba untuk mengenalmu. Kamu itu batu. Aku juga batu. Gesekan batu dapat menjadikannya api, bukan?
Kamu berwatak dingin, keras kepala, mengintimidasi, namun pada beberapa kesempatan yang sangat jarang, kamu bertingkah sangat manis. Hal itu yang sangat kutunggu-tunggu darimu. Kamu sangat senang menulis. Semenjak kuliah, kamu aktif mengirimkan artikel dan resensi buku yang kamu baca ke berbagai media cetak dan online. Hasil fotonya pun mumpuni, sering menjadikanmu sebagai juara lomba fotografi jurnalistik tingkat kota, provinsi, bahkan nasional mengalahkan pewarta foto lain. Tidak salah kalau di kelas kamu menjadi sahabat dosen macam Pak Fikar dan Bu Sinta, padahal perawakanmu sangat urakan.
Di berbagai macam kesempatan, kita banyak menyusuri sudut kota berdua, menikmati santapan roti bakar Ambu, pergi ke pameran lukisan, dan membeli buku-buku bekas di Palasari atau Asia Afrika. Kita sering mendengarkan jangkrik di daratan utara dan kami sering meratapi lampu jalanan kota sepanjang kami menyusuri Jalanan Dago.
Kamu juga mengetahui masalah keluargaku dan menghiburku dengan cara yang manis. Beberapa kali kamu menemaniku mabuk dan entahlah apa yang kulontarkan kepadamu saat itu. Tapi, aku bisa merasakan rasa kasihan yang muncul darimu kepadaku. Perasaan kasihan yang diliputi khawatir.
Aku mengerti jenis perasaan itu: perasaan ingin selalu melindungiku.
*
Namun meski begitu, pria dewasa seperti kamu akan selamanya dipenuhi idealisme dan dikuasai adrenalin. Kamu ingin bebas, pergi jauh, berkelana, dan melakukan hal-hal yang kamu inginkan, meskipun hal itu tidak sepadan dengan risikonya yang teramat besar.
Waktu itu, aku mendengar kabar proyek pembuatan film dokumenter yang akan kamu garap bersama tim yang kamu kenal dari seorang kawan. Katamu, kamu akan pergi menyusuri hutan Kalimantan untuk waktu yang lama. Aku sendiri kaget karena kamu tidak pernah meninggalkanku lebih dari satu minggu. Untuk berapa lama? Mengapa kamu tidak mendiskusikan proyek ini terlebih dahulu denganku?
“Saya takut kamu nggak ingin saya pergi. Makanya saya belum ingin bilang,” ujarmu suatu hari, di sebuah sudut kedai kopi di pinggir jalan Dago yang dipenuhi bising kendaraan – dan sesekali adalah bunyi knalpot Harley yang berat. “Bukannya saya nggak ingin mendiskusikan ini denganmu. Saya pasti akan bilang, tapi saya menunggu waktu yang tepat.”
“Jadi kamu anggap aku penghalang kamu? Begitu?”
Kamu hanya menyeringai, merokok.
“Ayo, katakan sesuatu,” desakku lagi.
“Seratus hari,” kamu kemudian menatapku dengan tatapan intens. “Saya akan pergi selama seratus hari. Kalau saya bilang seperti itu, kamu mau bicara apa, Len?”
Mataku menyipit. “Apa? Seratus hari?”
“Ini proyek yang penting untuk saya. Ini adalah ajang pembuktian saya sebelum kelak saya akan bekerja di media yang jauh lebih besar. Ini adalah pembelajaran penting untuk saya. Jadi tolong, Len, jangan katakan apa pun yang membuat saya berat untuk pergi meninggalkanmu selama seharus hari. Jangan.”
“Serius? Itu yang benar-benar ingin kamu katakan?”
Kamu terdiam.
“Aku nggak akan ngelarang kamu…,” tiba-tiba lidahku kelu. Aku ingin melarangmu pergi dan membujukmu untuk menghabiskan hari-hari itu bersamaku saja. Tapi saat melihat raut wajahmu yang berbeda hari ini, entah mengapa tiba-tiba aku kehilangan kata-kata. Aku merasa tidak berhak ikut andil dalam keputusanmu kali ini.
Aku berusaha menyembunyikan kedua bola mataku yang mulai basah. Tanpa disangka-sangka, kamu menggeser duduknya semakin mendekat padaku. Kamu membiarkanku untuk merebahkan kepalaku di pundaknya. Lalu dia berbisik, “Kamu nggak usah khawatir, Len.”
“Hmm?”
“Saya sudah siapkan segalanya untuk kamu. Seratus lagu yang akan kamu dengar setiap hari, perintah-perintah yang harus kamu lakukan untuk saya – meeting new people – kamu akan segera berjumpa dengan kawan-kawan lama saya dan menjadi dekat dengan mereka, daftar tempat yang harus kamu kunjungi, dan daftar hal-hal yang kamu harus lakukan selama saya pergi. Jadi, ingat, ya. Saya mencoba meraih mimpi, kamu di sini menunggu saya.”
“Kamu beneran bakalan pulang, kan? Nggak akan macem-macem?”
Kamu mencium keningku. “Saya pasti pulang. Percaya, deh.”
*
Singkat cerita, kamu benar-benar pergi di pagi buta dan menyisipkan secarik surat yang diselipkan di antara tanaman perdu halaman rumahku.
Aku tidak pernah lupa mencatat seluruh kegiatan yang aku lakukan setiap harinya pada sebuah buku catatan. Hal itu kulakukan agar kelak aku dapat menceritakan secara detail kepadamu tentang semua hal yang berhasil kulakukan tanpamu. Aku juga mendengarkan semua daftar putar lagu yang kamu persiapkan untukku dengan senang hati.
Di hari kedelapan, keempat belas, keduapuluh tujuh, serta keempat puluh dua, aku masih mendapatkan email darimu. Di surat-surat itu, kamu menjelaskan betapa semangat dan bergairahnya kamu saat menyusuri hutan tropis yang indah dan berkunjung ke pusat konservasi orangutan. Kamu juga menceritakan kunjungannya menuju desa suku Dayak dan menelusuri ulang konflik Sampit. Surat terakhir yang kudapatkan di hari keempat puluh dua, kamu menuliskan sebuah puisi.
Hutan hijau, Lennaku malang. Menatap cahaya terbenam seperti menatapmu bisu. Di manakah aku berada?
*
Hari ke-100, 102, 110, 203, 304, kamu tidak kunjung pulang.
*
Hari-hari selanjutnya setelah aku menyadari bahwa aku sangat menyukai letak kantorku yang terletak di antara bangunan tua, aku mulai bersahabat dengan kantorku yang kelabu dan dingin, rak-rak dipenuhi berkas, dan suara tak-tuk-tak-tuk keyboard laptop. Aku sudah mulai enggan mengomentari suara dengkuran Kang Cepot si penjaga kantor yang kerasnya minta ampun ataupun menanggapi ocehan Maia soal produk skincare asal Korea yang digandrungi olehnya. Aku juga sudah kurang memedulikan penampilan, seperti yang Yuka sering katakan kepadaku, bahwa aku terlalu berantakan untuk seorang gadis lajang berusia matang untuk menikah.
“Len, Len. Menurutmu, lebih baik saya habiskan gaji bulan ini untuk membeli rangkaian perawatan wajah merek A atau B?” tanya Maia dengan wajah tanpa berdosa.
“Len, dekil banget, Kaosnya nggak dicuci, ya? Nanti kan mau ke balkot, wawancara Pak Wali!” komentar Yuka.
“Apa pedulimu? Biarkan saja Lenna dekil. Biar dia jomblo seumur hidup,” sahut Ian menyebalkan. Oh, rupanya, dia sudah menganggapku gadis single alih-alih punya kekasih tapi LDR.
Saat Mas Sultan mampir dan menghampiri kami di jam-jam kritis alias lapar dan ngantuk, aku sudah mulai menatap Mas Sultan dengan biasa saja – meskipun masih banyak hal tentangmu yang ingin kuketahui darinya. Aku juga bisa merasakan Mas Sultan memandangku dengan kelu. Diam-diam aku mampu membaca pikirannya. Dia juga seakan merasa kehilangan yang aku rasakan.
Segalanya menjadi sedikit lebih terang – karena semenjak kamu pergi, aku lebih banyak memulai hari dengan kegelapan.
***