Revita masih sedih! Tak ada kesedihan yang paling menyayat kecuali di tinggalkan oleh orang-orang yang terdekat. Apalagi seorang Papa. Meski dahulu ia sempat konfrontasi dan berontak terhadap segala kemauannya, kini setelah sang Papa tiada, ia merasa semua itu tiada guna. Perjuangan yang ingin ia tunjukkan pada sang Papa seakan musnah. Sia-sia.
Apa artinya semua trophy dan penghargaan jika ia harus kehilangan seorang Papa tersayang. Oh, Revita tak habis mengerti, mengapa Tuhan memberikan cobaan yang begitu berat, justru pada saat ia membutuhkan seorang papa yang bisa diajak bermitra dalam perjuangannya.
Akh, Revita mendesah dalam-dalam.
Dibiarkannya Mitty yang sedari tadi duduk di sisinya tanpa buka suara. Juga anjing pudelnya yang mengendus-endus kakinya, dibiarkannya pula. Tatap mata Mitty sayu. Seperti mata Revita yang juga sendu. Menatap hamparan langit yang dihiasi jelaga warna biru. Biru pucat. Seakan ikut berduka atas musibah yang mereka derita. Musibah yang telah menenggelamkan mereka dalam kedukaan yang teramat dalam.
“Selamat sore.”
Tiba-tiba seseorang sudah berada di antara mereka. Serentak keduanya menoleh. Tak terkecuali anjing pudelnya Revita. Mereka langsung tersenyum melihat siapa yang datang. Senyum yang dipaksakan dari balik kesedihan.
“Oh, Om Pur, sore juga,” sahut Mitty lemah.
“Ada apa Om?” tanya Revita lirih pula.
“Ada sedikit kepentingan dengan kalian.”
“Tapi kami sedang berduka Om,” ujar Mitty.
“Saya tahu. Saya juga ikut sedih dan turut berduka cita atas musibah ini.”
“Terima kasih, Om.” Tetap Mitty yang bicara.
“Tapi kalian jangan terlalu tenggelam dan larut dalam kesedihan. Dalam setiap perjuangan, cobaan dan pengorbanan itu memang selalu ada. Tapi kita jangan sampai jatuh ke dalamnya. Apalagi sampai lupa pada tugas dan kewajiban yang ada. Itu tidak boleh. Yang telah pergi biarlah pergi, kita doakan saja semoga damai di alam sana.”
“Aminn! Terima kasih,” sahut Mitty tetap lemah.
“Sedang kita yang ditinggalkan musti tabah dan tawakal. Kita harus ingat bahwa perjuangan belum usai. Masih banyak yang harus kita kerjakan di hari mendatang.”
“Ya, saya mengerti Om.”
“Bagus. Dan sekarang ada satu hal yang harus kalian kerjakan.”
“Apa Om?” Revita dan Mitty bertanya berbarengan. Keduanya saling pandang.
“Kalian akan tetap mempertahankan citra generasi muda, bukan?”
“Ya.” Mitty mengangguk pelan tapi pasti. Diikuti pula oleh Revita.
“Sekarang saatnya kalian buktikan.”
“Maksud Om?”
“Kalian harus menjadi saksi atas ketiga orang pengedar obat terlarang yang telah tertangkap di sini dan akan disidangkan dalam bulan ini.”
“Jadi …”
“Jadi kalian harus datang ke Jakarta. Ini surat panggilannya.”
“Tapi Om ….” Ragu Mitty berkata sambil menerima surat panggilan yang di sodorkan oleh Om Purwanto, lantas dibacanya.
“Jangan kuatir, soal biaya kami yang jamin.”
“Bukan itu Om, masalahnya.”
“Lalu?”
“Kami nggak berani datang sendiri.” Baru kali ini Revita bicara.
“Saya akan temani kalian.”
“Benar?”
“Ya. Sekarang tinggal keputusan kalian bagaimana?”
Revita dan Mitty saling pandang. Revita menatap Mitty tajam-tajam. Sorot matanya seakan minta satu jawaban. Tapi Mitty masih bungkam. Baru setelah beberapa saat kemudian Mitty mengangguk pelan.
“Ya,” desis Mitty lirih sekali. Hampir-hampir tak terdengar.
“Nah Om sudah dengar sendiri, kami berdua setuju.”
“Bagus, itu pertanda kalian memang generasi muda yang berjiwa besar. Semangat pengabdian kalian luar biasa. Saya bangga dapat mengenal kalian.”
“Terima kasih Om. Lalu kapan sidang itu dilaksanakan?”
“Kalian tenang saja dulu. Nanti kuhubungi lagi.”
“Ya.”
“Satu hal lagi. Di Jakarta nanti, sidang ini akan diliput oleh seluruh media di tanah air. Jadi ini kesempatan kalian. Tunjukkan siapa diri kalian yang sebenarnya. Tunjukkan jiwa patriot kalian sebagai generasi muda yang tangguh. Biar seluruh negeri tahu bahwa kaum muda tidaklah sebiru tuduhan seperti yang mereka dengar selama ini. Biar mereka sadar dan mau memberikan wadah tempat bagi kalian untuk mengembangkan potensi yang kalian miliki selama ini.”
“Ya, Om,” sahut Revita,”saya akan perhatikan nasehat Om.”
“Bagus, itu Om suka mendengarnya.”
“Terima kasih.”
“Nah, kaum muda, saya permisi dulu. Sukses selalu buat kalian. Selamat sore.”
“Sore.”
Om Purwanto, polisi yang sangat ramah itu sudah berlalu. Dan entah apa yang menyebabkan Revita dan Mitty lantas berpelukan.
“Revita …”
“Hmm.”
“Benar apa kata Om Pur. Kita musti bangkit. Kita tidak boleh terlalu larut dalam kesedihan. Jika kita tidak ingin apa yang kita rintis selama ini berantakan.”
“Ya, aku tahu itu.”
“Kita harus buktikan bahwa selaku tonggak bangsa kita belum tenggelam. Masih berdiri kokoh, siap menghadapi segala rintangan dengan semangat Sumpah Pemuda yang masih membara.”
“Ya.”
“Biarlah serentetan peristiwa terus bergulir. Kita jadikan sebagai kerikil yang tak kan menyandung jatuhkan langkah kita.”
“Ya.”
“Tapi kenapa kau masih berduka begitu?”
“Aku masih merasa sangat kehilangan Papa.”
“Aku juga merasa kehilangan Vita, tapi haruskah semua itu membuat kita lupa dan membiarkan cita-cita perjuangan kita terbuang sia-sia?”
“Tentu tidak Mitty.”
“Lalu?”
“Berilah aku waktu.”
“Sampai kapan?”
“Setidak-tidaknya sampai sidang itu datang.”
“Kau yakin siap pada saat itu?”
“Bukan hanya siap. Tapi aku akan lebih mencurahkan perhatian pada perjuangan kita ini.”
“Sungguh?”
“Ya. Agar arwah Papaku dapat tersenyum melihat aku mampu menyumbangkan sesuatu yang berguna bagi negeri ini.”
“Itu bagus Vita. Aku yakin arwah Papamu akan senang mendengarnya.”
“Semoga saja begitu.”
Sejenak keduanya diam. Masing-masing berpikir tentang nasib generasi muda yang akan datang. Langkah mana yang tepat diambil untuk menyelamatkan nama kaum muda. Agar tak tercemar dengan segala tingkah dan perilaku yang berbau onar.
“Mitty,” desis Revita kemudian.
“Ya.”
“Bagaimana kalau kita beritahukan hal ini pada teman-teman?”
“Maksudmu tentang kesaksian ini?” Mitty balik bertanya.
“Ya.”
“Siapa tahu mereka mau memberi dukungan.”
“Itu pasti Vita.”
“Dan yang lebih penting, menjaga kesan kekompakan.”
“Ide yang bagus Vita, aku yakin mereka akan mau ikut meski tidak semuanya. Toh semua ini juga demi generasi muda. Bukan misi pribadi. Seperti kata Om Pur tadi, inilah kesempatan buat kita. Bukankah dengan menjadi saksi berarti kita ikut menegakkan keadilan dan kebenaran. Sekaligus memberantas kejahatan.”
“Kau benar Mitty, ini memang sesuai dengan misi perjuangan kita.”
“Kalau begitu jangan buang waktu, ayo kita persiapkan apa-apa yang hendak di jadikan kesaksian. Selagi masih ada waktu.”
“Ayo!”
Keduanya melangkah bergandengan, meninggalkan semua beban duka dan derita yang ada. Mengubur semua kesedihan. Biar hanya tersimpan dalam hati saja. Langkah-langkah mereka tegap penuh semangat dan rasa bangga. Bukan hanya bangga atas predikat Remaja Teladan yang disandangnya. Tidak pula bangga atas piagam dan penghargaan yang telah diterimanya.
Tapi bangga atas diri mereka yang telah mampu berbuat banyak untuk menyelamatkan nama generasi muda. Yang nyaris tenggelam oleh banyaknya noktah-noktah biru yang selama ini melilit kaum muda.